Menilai
dan Menakar Kualitas Capres
Adjie Suradji ; Alumnus
Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan
|
KOMPAS,
29 April 2014
”Politik adalah seni untuk mewujudkan sesuatu yang
tidak mungkin menjadi mungkin”.
Apa yang
dikatakan Hillary Rodham Clinton dalam pidato singkatnya ketika terpilih
menjadi senator Negara Bagian New York (2000) sejatinya diadopsi dari Otto
von Bismarck (1815-1898). Pernyataan aslinya berbunyi: ”politik merupakan sebuah seni untuk mengolah kemungkinan”.
Salah
satu instrumen untuk mengolah kemungkinan—korelasinya dengan hasil hitung
cepat Pileg 2014 di Indonesia di mana tak ada satu pun parpol mencapai ambang
batas pencalonan presiden—adalah adanya reka-reka skenario koalisi. Namun,
Indonesia bukan AS yang institusi politiknya sudah sangat mapan. Di AS,
setiap pesta demokrasi, khususnya dalam sesi pemilihan presiden, selalu
menjadi tontonan menarik untuk diikuti. Sebab, dalam momentum seperti inilah
kandidat diuji dari segala aspek dan syarat kelayakan untuk menjadi pemimpin
negara.
Di
Indonesia, sejak kampanye politik caleg, rakyat hanya dijadikan obyek
penderita. Digiring dan dikumpulkan hanya untuk menjadi pendengar, penonton,
dan penyetuju yang baik. Orasi politik para juru kampanye bersifat
manipulatif. Yang disampaikan hanya idealisasi demi pencitraan tokoh yang
diusungnya sehingga apa yang diserap rakyat melalui kampanye—terutama lewat
media—hanya kenyataan imajiner semata.
Namun,
politik adalah seni untuk mengolah kemungkinan. Tiga bakal capres—Joko Widodo
alias Jokowi, Aburizal Bakrie, dan Prabowo Subianto—harus menyadari hal ini.
Lantas bagaimana cara rakyat untuk bisa mengetahui kualitas agar bisa memberi
nilai pada ketiga capres ini?
Instrumen penilaian
Ada
instrumen jitu yang bisa digunakan untuk menilai dan menakar kualitas capres.
Salah satunya kesadaran bahwa kualitas capres tidak serta-merta bisa dilihat
dari penampilan dan sisi ketokohannya saja. Ada yang lebih utama, yaitu kemampuan
memberikan pertimbangan dan kemampuan mengambil keputusan. Sebab, inti
kepemimpinan ada tiga, yakni karakter, komitmen, dan kemampuan komunikasi (John C Maxwell).
Pertama,
karakter. Seorang capres dapat dilihat dari perkataan dan perbuatan. Saat yang
sama dapat dilihat juga dengan perkataan dan perbuatan pengikut atau anggota
parpolnya.
Kedua,
komitmen dapat ditandai dengan konsistensi yang bisa dilihat juga dari
perkataan dan tindakannya. Michelangelo mulai melukis langit-langit Kapel
Sistine di Vatikan ketika umur 21 tahun. Lukisan tersebut baru selesai ketika
usianya 47 tahun. Michelangelo konsisten melaksanakan tugas melukis setelah
berjanji dan menerima amanah dari Paus Julius II meski untuk itu ia harus
kehilangan penglihatan permanen akibat terlalu lama berbaring menatap
langit-langit ketika melukis.
Ketiga,
komunikasi dapat dilihat ketika si capres berada ditengah rakyat. Tampil apa
adanya, tidak kaku, tidak dibuat-buat, dan mampu berkomunikasi dengan
berbagai lapisan rakyat. Presiden dengan predikat komunikator ulung adalah
Ronald Reagan yang memulai kariernya dari penyiar radio hingga aktor film.
Ronald Reagan adalah pemimpin dunia yang dapat menyederhanakan
persoalan-persoalan rumit dalam bahasa yang mudah dan sederhana.
Dari
tiga hal di atas, instrumen apa yang dapat digunakan untuk menilai dan
selanjutnya memilih seorang presiden?
Kelayakan
adalah hal paling utama. Dalam melihat kelayakan terdapat dua variabel yang
bisa digunakan sebagai pertimbangan. Pertama, apabila capres adalah ketua
umum parpol, yang sepatutnya dinilai adalah keberhasilan apa yang telah
dicapai oleh partai politiknya. Kedua, jika capres bukan ketua umum parpol,
yang sepatutnya dinilai adalah rekam jejaknya. Rekam jejak tervisualisasikan
dari kualitas dalam berorganisasi. Apakah capres tersebut memiliki kualitas
kepemimpinan yang meliputi karakter, komitmen, dan komunikasi?
Kini
rakyat memiliki hak sepenuhnya dalam memberikan penilaian secara cerdas untuk
bisa mengetahui kualitas para bakal capres tersebut. Tentunya dalam
memberikan penilaian harus didasari pula dengan kesadaran bahwa politik
adalah seni mengolah kemungkinan.
Hati-hati
adalah sikap yang bijak. Terlepas dari tujuan mulia, bukan tidak mungkin ada
capres yang ingin jadi presiden hanya mengejar prestise dan kekuasaan. Ini
tampak dari kata-kata dan tindakan ambisius—mengejar ambisi yang tidak
mempertimbangkan lingkungan, nilai-nilai moral, norma etika, kondisi parpol,
dan diri sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar