Kredit
Perbankan di Persimpangan
Sabaruddin Siagian ; Dosen Institut Perbanas Jakarta
|
KORAN
JAKARTA, 25 April 2014
Untuk meningkatkan
stabilitas rupiah dan ekonomi dari tekanan domestik dan global, Bank
Indonesia (BI) bersama pemerintah mengelola dollar AS agar sehat sebagaimana
tecermin dari surplusnya transaksi
tahun berjalan (current account) yang berkelanjutan. Pada kuartal
II-2013,
defisit transaksi tahun berjalan tinggi, sampai 9,9 miliar dollar AS atau 4,4
persen dari produk domestik bruto (PDB). Dalam periode ini, rupiah
sangat tertekan hingga mencapai 13.000-an per dollar AS.
Untuk mengurangi defisit
transaksi tahun berjalan sehingga rupiah tidak tertekan, pemerintah menormalkan atau
menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ini akan membuat impor menurun dan otomatis
permintaan dollar AS juga direm. Untuk mengurangi tingginya defisit
transaksi, BI mengoreksi pertumbuhan ekonomi 2014 menjadi 5,5–5,9 persen,
dari 5,8–6,2 persen. Koreksi diperkuat prediksi Bank Dunia yang 5,3
persen.
Dengan pertumbuhan
ekonomi sebesar itu, BI meminta perbankan menurunkan laju kredit tahun 2014
hanya 15–17 persen. Antara lain bank diminta mengurangi pembiayaan impor
bahan mentah, bahan perantara, barang modal, dan konsumsi. Dengan demikian,
permintaan terhadap dollar AS menurun.
Akan tetapi, pertumbuhan
kredit perbankan pada kuartal
I-2014
masih tinggi (20–21 persen). Ini masih jauh lebih tinggi dari permintaan BI
(15–17 persen). Hal itu berarti perbankan
kurang memaknai permintaan BI untuk stabilisasi rupiah dan ekonomi. Padahal,
dalam kurun satu dekade terakhir, rata-rata pertumbuhan kredit perbankan
sangat besar, 23 persen. Normalnya 15 persen.
Target penurunan kredit
yang diminta BI sebenarnya baik untuk perbankan sendiri. Sebab pertumbuhan
kredit tinggi terus-menerus dapat meningkatkan risiko krisis perbankan,
khususnya terkait membesarnya kredit bermasalah dan likuiditas.
Strategi
stabilisasi atau pertumbuhan normal kadang juga perlu diambil perusahaan
supaya tetap sehat, berdaya saing, dan bertumbuh berkelanjutan.
Strategi stabilisasi
tersebut dapat diaplikasikan pada kondisi lingkungan eksternal yang sangat
tertekan, sedangkan internal atau sumber daya dimiliki perusahaan tidak cukup
guna mengakomodasi tekanan luar. Maka, jika dipaksakan bertumbuh tetap
tinggi, perusahaan dapat bangkrut.
Strategi stabilisasi
bukan berarti tidak banyak berbuat. Perusahaan dapat menerapkan manajemen
efisien, mengadakan pengembangan pasar, reorganisasi agar adaptif terhadap
lingkungan eksternal. Dalam hubungannya terhadap perbankan, strategi
stabilisasi untuk mengurangi kesenjangan antara kemampuan menyalurkan kredit
dan keterbatasan perbankan dalam meningkatkan pertumbuhan dana.
Dalam satu dekade ini,
kemampuan perbankan mengucurkan kredit sangat tinggi, rata-rata 23 persen,
sedangkan kemampuan menghimpun dana hanya 14–17 persen. Maka, tahun 2001,
rasio penyaluran kredit terhadap dana (loan to deposite ratio/LDR)
masih 31 persen. Pada Desember 2013, LDR perbankan sudah mencapai 90 persen.
Hal itu mencerminkan
besarnya saluran kredit, tetapi tidak diimbangi kemampuan menghimpun dana.
Dengan strategi
stabilisasi, perbankan
juga dapat mengaji efisiensi beban operasionalnya, mengurangi marjin
bunga bersih (net interest margin/NIM) supaya berdaya saing tinggi.
Ini utamanya terkait suku bunga, perkuatan operasional, dan inovasi produk.
Dengan LDR perbankan sedikit di atas 90 persen saat ini serta dengan reserve giro
wajib minimum (GWM), atau surat-surat berharga yang likuid 10 persen,
kapasitas perbankan untuk menyalurkan kredit sudah terbatas.
Supaya terjaga LDR tetap
90 persen, perbankan menyalurkan kredit terbatas, hanya sebesar pertumbuhan
penghimpunan dana. Kalau tahun 2013 perbankan hanya dapat meningkatkan pertumbuhan
dana 14 persen, sebesar itu pula kucuran kreditnya. LDR perbankan yang sehat
sebesar 90 persen. Dengan LDR sebesar itu, perbankan kuat dan sehat dalam
menyalurkan kredit. Bank juga memiliki likuiditas cukup besar guna menghadapi
risiko likuiditas.
Permintaan Lembaga
Penjamin Simpan (LPS) kepada perbankan baru-baru ini agar meningkatkan
pertumbuhan kredit tidak lebih dari 15 persen sangat tepat dalam
mendukung perbankan yang sehat. Ini sekaligus mendukung upaya BI menurunkan
defisit transaksi tahun berjalan untuk 2014 setidaknya 2,5 persen.
Untuk menguatkan
permintaan LPS bahwa permintaan itu rasional dan wajar terkait adanya
kesenjangan antara penyaluran kredit dan dana perbankan membuat suku bunga
sebagian simpanan masyarakat di atas bunga penjaminan. Suku bunga deposito
saat ini ada yang diberikan 10 persen, padahal suku bunga
penjaminan 7,5 persen.
Urgensinya sekarang cara
memperbesar penyaluran kredit ketika transaksi tahun berjalan sehat. Padahal
rasio kredit perbankan nasional terhadap PDB masih rendah, hanya 40 persen.
Di sisi lain, rasio kredit perbankan terhadap PDB di negara ASEAN saja sudah
mencapai minimal di atas 60 persen.
Hal itu menjadi
agenda penting bagi pelaku perbankan, Otoritas Jasa Keuangan, BI, dan
pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya untuk mendorong masyarakat
domestik memperbesar simpanannya di perbankan dan mendorong investor
global menempatkan dana mereka di perbankan.
Bila kita memelihara
pengucuran kredit lebih besar dari dana perbankan atau LDR perbankan
di atas 100 persen, kita memberi ruang besar terjadinya krisis likuiditas
di perbankan. Pada akhirnya akan mendorong perbankan itu menjadi rentan
terhadap krisis perbankan dan ekonomi.
Pada kasus krisis ekonomi
1997, bermulai dari krisis likuiditas manakala waktu itu LDR perbankan di
atas 110 persen. Saat itu juga sangat mudah menemukan bank-bank
yang mengalami kekeringan likuiditas. Keringnya likuiditas itu membuat
perbankan menaikkan suku bunga simpanannya dan menyalurkan kreditnya dengan
suku bunga tinggi dan sekaligus tidak hati-hati dalam menyalurkan
kreditnya. Akhirnya mendorong peningkatan secara masif kredit masalah.
Sejujur-jujurnya, kita
sangat mengapresiasi kerja keras pelaku industri perbankan dan BI selaku
otoritas pengawas perbankan saat ituyang membuat perbankan
nasional menjadi sangat sehat. Pemeliharaan kesehatan perbankan ini
memberikan kontribusi besar dalam menciptakan stabilitas perbankan dan
ekonomi dalam menghadapi tekanan global sejak 15 tahun terakhir ini.
Untuk mencegah supaya
jangan terjadi lagi seperti krisis perbankan 1997 yang biaya krisisnya
ditanggung oleh rakyat dan biaya krisis itu sangat besar, terbesar dalam
sejarah krisis perbankan dan ekonomi di dunia bila dibandingkan dengan PDB
negara itu,
dan sampai hari iniAPBN masih mendanai biaya krisis itu
berupa pembayaran dana rekap penyelamatan perbankan, perbankan seharusnya
mengelola industri ini dengan mengikuti rambu-rambu penyaluran kredit
perbankan yang wajar terkait dengan LDR perbankan sehat dan terkait transaksi
tahun berjalan saat ini, yang saat ini BI meminta perbankan untuk
meningkatkan pertumbuhan kredit hanya 15–17 persen.
Bila transaksi tahun
berjalan masih di atas 3 persen dan pertumbuhan kredit perbankan masih
tinggi, mau tidak mau, BI menaikkan suku bunga acuan atau BI
Rate. Tentu hal ini merugikan kita bersama, penurunan pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan kredit bermasalah perbankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar