Pesan
buat Kandidat Presiden
Bambang Satriya ; Guru Besar Stiekma, Dosen Luar Biasa
Universitas
Merdeka Malang
|
KORAN
JAKARTA, 28 April 2014
Saat
ini, Komisi Pemilihan Umum baru berusaha keras menyelesaikan penghitungan
secara manual hasil pemilu legislatif 2014. Meski begitu, publik sudah bisa
membaca secara general hasilnya. Calon presiden yang diajukan partai politik
(parpol) harus dikonstruksi melalui koalisi dengan partai lain.
Mao Tze
Tung pernah mengingatkan bahwa perang itu pertarungan politik yang berdarah,
sedangkan politik adalah perang yang tidak berdarah. Artinya, pileg 2014
merupakan ranah pintu gerbang politik untuk mendapat sosok kandidat presiden
yang ditempuh melalui jalan pertarungan yang tidak boleh berdarah.
Jabatan
presiden memang menggiurkan. Bayangkan, dia ke mana-mana harus dikawal dengan
pelayanan prima. Berbagai kebutuhan istimewa lainnya terpenuhi. Ia layaknya
manusia paling sempurna di muka Bumi. Dia bisa menikmati yang tak bisa
dirasakan orang lain.
Logis
saja kalau kemudian jabatan presiden diperebutkan banyak orang karena bisa
tertulis dalam sejarah Indonesia sebagai manusia utama. Dari sudut pembiayaan
untuk menemukan presiden ini, puluhan triliun rupiah uang rakyat dikeluarkan
guna menyukseskan pilpres juli nanti.
Masalahnya,
apakah dengan menjadi presiden, seseorang menyadari makna perikatan tanggung
jawabannya secara moral spiritual untuk menjadi sosok pelaku perubahan di
segala lini bangsa? Bangsa ini sedang sakit keras di sana-sini. Kompilasi
penyakit sedang merasuki masyarakat. Rakyat tetap tidak berdaya, baik di lini
hukum, ekonomi, pendidikan, maupun sektor strategis lainnya. Dalam banyak
hal, rakyat menjalani kehidupan tanpa kehadiran pemimpin.
John C
Maxwell mengatakan, “Kepemimpinan
adalah perjalanan seumur hidup, bukan perjalanan singkat.” Pernyataan
tersebut tentu mengundang tanda tanya, apa yang dimaksud kepemimpinan sebagai
perjalanan seumur hidup.
Apakah
kalau seseorang jadi pemimpin atau presiden berarti harus menduduki kursi
kepemimpinannya seumur hidup? Atau apakah kalau seseorang jadi pemimpin
berarti ada tuntutan moral yang harus dijalani dan dipertanggungjawabkan
seumur hidupnya? Atau apakah ketika menjabat sebagai presiden, seseorang
berarti memasuki wilayah akuntabilitas moral sepanjang hayat?
Yang
jelas, perjalanan seumur hidup bagi seseorang yang sedang memimpin negara
bukanlah bermakna keabadian dalam menduduki kursi atau jabatan yang
dipercayakan padanya. Ini bermaknakan pertanggungjawaban yang harus dijalani
sepanjang hidupnya meski sudah tidak lagi menempati kursi formalitas. Mungkin
dia sudah tidak lagi menjabat atau tidak memimpin institusi yang sebelumnya
dipercayakan padanya.
Amanat
Seseorang
yang menjadi presiden berarti mendapatkan amanat untuk mendesain perjalanan
panjang atau memperkaya kinerja moral. Dia harus berada di garis paling depan
dalam menghadapi ketidakadilan, penindasan, dan korupsi.
Tidak
ada seorang pemimpin di dunia ini yang bebas dari tuntutan peradilan
keilahihan. Bisa saja di dunia ini, seorang presiden mengobral janji manis
atau memproduk program-program yang membahasakan kepentingan rakyat, namun
kelak, di hadapan peradilan abadi, presiden harus mempertanggungjawabkan-nya.
Dia harus bisa menjawab apakah mandat kekuasaan dijalankan dengan benar atau
sebatas “alat membius rakyat”.
Apa yang
disebut Maxwell hanya menguatkan sisi pertanggungjawaban seorang pemimpin. Di
hari setelah manusia mati, ada peradilan yang bermuatan akuntabilitas moral
tentang perjalanan kepemimpinan.
Tuhan
tidak membiarkan seseorang yang sudah dipercaya rakyat, manusia atau rakyat
untuk menduduki suatu jabatan, yang sekadar digunakan untuk foya-foya.
Kekuasaan tidak boleh dijadikan hanys sebagai peluang memanfaatkan kesempatan
dalam kesempitan, aji mumpung. Mereka tidak boleh melakukan abuse of power.
Presiden
harus benar-benar adil dalam memimpin. Segala jerih payahnya harus
sungguh-sungguh demi kesejahteraan rakyat. Presiden tidak boleh menggunakan
kekuasaan sebagai kesempatan memuaskan ambisi-ambisi pribadi, keluarga, dan
golongan.
Sering
dianggap menjadi presiden itu enak dan nikmat. Pernyataan itu merendahkan
makna moral kepemimpinan. Seeolah-olah kepemimpinan hanya dijadikan jembatan
memburu dan mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Itulah
virus yang sering menggoda setiap presiden atau orang-orang di dekatnya untuk
berlama-lama menduduki jabatan. Mereka tidak mau meninggalkan kursi yang
didudukinya karena banyak keistimewaan. Presiden demikian sulit diharapkan
dapat memberi perubahan demi perbaikan nasib rakyat.
Kekhawatiran
itu beralasan mengingat penyakit korupsi di negeri ini sudah menjangkiti
berbagai elemen strategis bangsa. Sosok tertentu, misalnya, sekarang terlihat
bersih atau tidak terkena virus korupsi, tetapi tidak menjadi jaminan kalau
di kemudian hari bisa ditemukan di dalam diri, anak, atau istrinya tersangkut
beragam dana siluman atau sumber-sumber keuangan secara ilegal. Mahkamah
Konstitusi (MK), misalnya, yang semula dikenal sebagai lembaga kredibel,
dalam waktu singkat terkena degradasi kredibilitas.
Memimpin
negeri berat, tapi mulia. Dia harus bisa memberi manfaat besar bagi
kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Presiden menjadi beban
berat secara moral bilamana dalam memimpin hanya mementingkan diri dan
golongan, apalagi melupakan tugas mengangkat kesejaheraan rakyat.
Selain
itu, memimpin mengandung riesiko yang bisa jadi efeknya akan ditanggung
seumur hidup, terutama jika berbagai bentuk penyakit seperti fitnah, praduga
bersalah (presumption of guilt),
dan keserakahan orang lain, kolega, atau orang-orang di sekitar yang
mengorbankan orang banyak.
Kondisi
tersebut berpotensi menjadi beban sejarah dalam perjalanan hidup dan
keluarga. Presiden yang melupakan perjuangan untuk rakyat banyak juga bakal
dilupakan sejarah.
Apalagi
jika memang nyata-nyata presiden terbukti banyak terlibat dalam berbagai
bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan pembodohan kepada rakyat. Untuk itu, para kandidat presiden harus mengutamakan perjuangan
demi meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak. Presiden adalah jabatan mulia,
hendaknya tidak dikotori dengan perbuatan penyalahgunaan kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar