Mendorong
Perdamaian Israel-Palestina
Dinna Wisnu ;
Co-Founder &
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas
Paramadina
|
KORAN
SINDO, 30 April 2014
Kesepakatan
tersebut dinyatakan kepada masyarakat umum pekan lalu setelah dua hari
konferensi yang diselenggarakan bersama di Jalur Gaza. Beberapa hari
sebelumnya memang sudah beredar kabar bahwa diplomat Fatah telah mengatakan
kepada Hamas bahwa mereka tidak mau datang ke Jalur Gaza apabila Hamas tidak
menerima kesepakatan rekonsiliasi. Kesepakatan antara Hamas dan Fatah
menimbulkan dampak politik internasional yang besar terutama terkait dengan
pembicaraan damai antara Palestina dan Israel.
Hamas
bagi Israel, Amerika, dan Eropa dikategorikan sebagai sebuah organisasi
teroris. Maklum, Hamas pernah menyatakan tidak mengakui Israel sebagai sebuah
negara. Karena itu pula Israel segera bereaksi dengan menyatakan mundur dari
proses perundingan damai karena menuduh Fatah lebih mau berdamai dengan
organisasi teroris ketimbang menjalani pembicaraan damai dengan Israel.
Sebenarnya
kubu Fatah, yakni Mahmud Abbas, mencoba memberikan pernyataan yang
menenangkan. Misalnya, pemerintahan bersama Hamas-Fatah tetap akan dikelola
Fatah. Mereka tetap akan mengakui Israel sebagai sebuah negara dan menyatakan
Holocaust adalah kejahatan kemanusiaan yang terburuk di dunia. Namun,
tampaknya Israel dan sekutunya tetap tidak menyambut baik hasil kesepakatan
damai antara Fatah dan Hamas.
Padahal
dengan pernyataan yang dilontarkan Abbas sebetulnya ada sebuah pesan penting,
yakni rekonsiliasi yang terjadi akan cenderung berdasarkan platform dan
ideologi Fatah yang menolak penggunaan kekerasan, mengakui keberadaan Israel,
dan mengutamakan caracara diplomatik untuk menyelesaikan persoalan yang
terjadi di Palestina dan Israel.
Di sisi
lain, rekonsiliasi ini juga menjadi tanda Hamas semakin tersudut akibat
isolasi internasional dan salah perhitungan dalam melibatkan krisis yang
terjadi di Timur Tengah khususnya di Suriah dan Mesir. Di sisi lain, Fatah
juga perlu mengakui bahwa ”hilangnya” kelompok radikal dalam gerakan
Palestina juga mengurangi daya gentar mereka dalam negosiasi dengan Israel.
Itu sebabnya Israel dan AS justru kelihatan makin kaku.
Seperti
telah diketahui bahwa Hamas adalah kekuatan politik di Palestina yang
mendapat popularitas tinggi di Jalur Gaza. Popularitas yang tinggi itu antara
lain disebabkan slogan kampanye yang radikal terhadap Israel ditambah dengan
merosotnya popularitas kelompok Fatah akibat korupsi dan skandal politik
lain. Hal itulah yang menyebabkan kemenangan Hamas dalam pemilihan umum di
tahun 2006.
Hamas
bergeming dengan ideologinya dan menolak mengakui Israel sehingga menyebabkan
The Quartet (Israel, Amerika, PBB, dan Uni-Eropa) mengurangi dukungan secara
politik dan keuangan terhadap Otoritas Palestina. Hal ini memuncak ketika
Hamas mengambil alih pemerintahan di Jalur Gaza sehingga menyebabkan
Palestina menjadi dua wilayah kekuasaan.
Kelompok
Hamas di Jalur Gaza dan Kelompok Fatah di Tepi Barat. Walaupun Israel segera
menutup erat komunikasi dan transportasi ke wilayah Gaza yang dikuasai Hamas,
bantuan dari Mesir lewat terowongan bawah tanah masih diandalkan terutama
ketika Muhammad Mursi yang menjabat sebagai presiden Mesir memberi dukungan
penuh terhadap Hamas. Masalah mulai muncul ketika konflik di Suriah terjadi
di tahun 2009.
Hamas
melibatkan diri ke dalam konflik untuk menentang rezim Bashar al- Assad.
Langkah ini menjadi tamparan politik yang keras bagi Suriah dan Iran yang
sejak 2000 menerima dan melindungi para pemimpin Hamas yang menjadi target
operasi Israel. Iran dan Suriah sebetulnya telah menjadi rumah perlawanan
politik bagi pemimpin Hamas karena jauhnya mereka dari pengaruh dan tekanan
politik Barat dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya.
Keputusan
untuk berpisah secara politik dengan Suriah dan Iran juga tidak lepas dari
bantuan Qatar yang menggantikan peran Suriah dan Iran. Namun, sayangnya,
situasi politik di Timur Tengah bergerak begitu cepat dan di luar perhitungan
politik banyak pihak. Kekuatan militer di Mesir menjatuhkan Mursi dan menyapu
bersih kekuatan politik Moslem Brotherhood. Hal ini dilanjutkan dengan
penghancuran saluran transportasi dan distribusi dari Mesir ke wilayah Gaza.
Di
Suriah, Amerika dan kekuatan Barat lain ternyata urung memberikan bantuan
militer terhadap kelompok pemberontak sehingga kekuatan Bashar al-Assad tetap
kokoh hingga saat ini. Bantuan dari Qatar pun ternyata tidak sebesar yang
diharapkan Hamas. Adnan Abu Amer dari Al
Ummah University Open Education menyatakan bahwa bantuan Qatar terhadap
Hamas kurang dari 10% bantuan yang pernah diberikan Suriah terhadap gerakan
Hamas sejak tahun 2000 hingga 2011.
Qatar
juga tidak memberikan bantuan militer dan uang tunai seperti yang diharapkan
kecuali bantuan berupa proyek-proyek pembangunan. Qatar memang bukan aliansi
Barat di Timur Tengah yang erat, tetapi mereka juga tidak ingin mengundang
tekanan dari Barat. Faktor-faktor yang melemahkan Hamas, buntunya perundingan
damai antara Otoritas Palestina pimpinan kelompok Fatah dengan Israel dan
perubahan kekuatan politik di Timur Tengah adalah dasar yang mendukung
terjadinya rekonsiliasi Hamas dan Fatah.
Ini
adalah sebuah modal politik yang besar bagi masa depan Palestina, tetapi juga
menjadi tantangan bagi pemerintahan teknokratik yang akan segera dibentuk.
Pihak AS melalui Menteri Luar Negeri John Kerry mengatakan bahwa AS tetap
akan berupaya melanjutkan perundingan damai terlepas dari apa yang terjadi.
Karena mereka memandang sudah banyak waktu yang dihabiskan untuk menjalankan
perundingan.
Ini
pekerjaan berat juga bagi AS karena John Kerry pernah sesumbar bahwa tahapan
perjanjian damai Israel-Palestina akan mencapai titik terang pada 29
April2014. Kenyataannya justru jalan masih gelap. Bagi Indonesia, kerja sama
Fatah dengan Hamas merupakan peluang diplomatik untuk mendesakkan konsistensi
dari pihak Barat dan sekutu-sekutunya untuk serius menjalankan janji-janji
yang pernah mereka sampaikan berupa pemajuan upaya perdamaian Israel-
Palestina.
Kebuntuan
dialog yang pernah ada mengenai masalah perbatasan, pengungsi, dan tahanan
Palestina, bahkan status Yerusalem, seharusnya bisa dibuka lagi dalam suasana
baru di Palestina. Harus diyakini bahwa Hamas yang dalam posisi terjepit
karena gagal dengan rencana-rencana besarnya di Timur Tengah bisa diharapkan
kerja samanya dalam menciptakan Palestina yang utuh dan lebih bisa diajak
berdialog.
Setidaknya
itulah taruhan yang disodorkan Mahmud Abbas. Justru semakin kaku pihak Barat,
semakin lemah pula kredibilitas pihak Fatah sebagai Palestinian Authority karena sekarang pun mereka mulai merasa
sekadar menjadi ”boneka” yang bisa diterima oleh Barat, tetapi sama sekali
tidak bisa berkutik di hadapan peluang pemajuan agenda perdamaian bagi
bangsanya. Kondisi seperti itu justru akan makin tidak menguntungkan untuk
perdamaian Israel-Palestina. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar