Islam
Yes, Partai Islam No?
M Dawam Rahardjo ; Rektor Universitas Proklamasi '45, Yogyakarta
|
TEMPO.CO,
24 April 2014
Pada awal 1970, dalam pidato halalbihalal
bersama Gerakan Pemuda Islam (GPI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan
Pelajar Islam Indonesia (PII) berjudul "Keharusan
Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat", Ketua PB HMI ketika itu Nurcholish Madjid
mengobservasi gejala yang mencerminkan sikap "Islam Yes, Partai Islam No".
Latar
belakangnya adalah bahwa pada masa Orde Baru, partai Islam Masyumi ditolak
rehabilitasinya setelah dibubarkan pada 1960, yang diinterpretasikan sebagai
pembendungan gerakan politik yang mencita-citakan terbentuknya negara Islam
di Indonesia. Sebagai dampak dari politik Islam Orde Baru itu, umat Islam
merasa takut terlibat dalam gerakan Islam politik. Situasi Islam politik itu
digeneralisasi sebagai gejala penolakan terhadap partai politik Islam.
Pada waktu itu, observasi itu mendapat penolakan langsung dari dua
tokoh mantan Ketua PB HMI, yaitu Ismail Hasan Metareum dan Sulastomo,
keduanya aktivis PPP yang menggantikan kesimpulan Cak Nur dengan pandangan "Islam Yes, Partai Islam (juga)
Yes". Bagi kedua tokoh itu, partai Islam dibutuhkan
sebagai alat perjuangan dan media dakwah yang disebut oleh tokoh NU dan
mantan Menteri Agama RI, KH Saefuddin Zuhri sebagai "dakwah politik". Pada masa Reformasi, Cak Nur tidak
menentang berdirinya partai-partai Islam baru, walaupun ia tidak terlibat di
dalam salah satu partai itu.
Dengan
demikian, persepsi penolakan terhadap partai
Islam itu berkaitan dengan tujuan gerakan Islam politik, yaitu pembentukan
negara Islam, melalui penerapan syariat Islam dalam kehidupan pribadi,
keluarga, masyarakat, dan kenegaraan, sebagaimana tercantum dalam Anggaran
Dasar Partai Masyumi yang juga diperjuangkan oleh semua partai-partai Islam
sebagaimana tampak dalam Sidang Konstituante 1958-1959. Pada masa
Demokrasi Liberal itu, partai-partai Islam sesungguhnya telah berjuang
melalui mekanisme demokrasi.
Kenyataannya,
baik pemerintah Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Sukarno maupun
pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto tidak melarang partai Islam.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, tampil dua partai besar Islam, yaitu Nahdhatul
Ulama (NU) dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Tapi keduanya
mendukung pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Pada masa Orde Baru, yang tampil
adalah Partai NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Partai Tarbiyatul
Islam (Perti). Tapi pada 1973 ketiga partai itu digabung ke dalam Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) yang didukung oleh dua organisasi besar, yaitu NU
dan Muhammadiyah. Tapi PPP ini pun diarahkan untuk mendukung pemerintahan
Orde Baru, terutama dalam penciptaan stabilitas politik. Dengan demikian, salah satu kebutuhan terhadap partai Islam adalah guna
memperoleh dukungan politik umat Islam.
Observasi Cak Nur itu disalahpahami sebagai mencerminkan pandangannya
yang menolak partai Islam. Padahal, dalam Pemilu 1977, ia
terjun langsung dalam kampanye mendukung PPP dengan agenda "Memompa Ban
Gembes". Tapi dalam pidato kebudayaan di TIM 1972
yang berjudul "Menyegarkan Pemahaman Pemikiran Islam", ia memang
menolak wacana "negara Islam" dan sebagai gantinya menganjurkan
wacana mengenai "keadilan sosial".
Sukarno,
dalam tulisan polemiknya dengan Mohammad Natsir, tidak menolak Islamisme
sebagai ideologi kebangsaan. Tapi ia menolak cita
negara Islam, dan di lain pihak menganjurkan perjuangan pemberlakuan syariat
Islam secara demokratis melalui partai Islam yang memperbanyak wakil-wakilnya
di parlemen agar bisa melakukan legislasi syariat Islam. Dengan
perkataan lain, ia menerima Islam yang demokratis. Sikap Sukarno itu dapat
dirumuskan sebagai "Negara Islam
No, Partai Islam Yes".
Tapi kini, penolakan terhadap partai Islam justru datang
dari gerakan sosial Islam sendiri, sebagaimana tampak dalam sikap mereka
terhadap penyelamatan partai-partai Islam dalam pemilihan legislatif 2014. Dari seruan MUI yang menganjurkan kepada umat
Islam untuk memilih caleg-caleg yang seiman, tersembunyi sikap mereka yang
tidak mendukung partai-partai Islam. Dengan demikian, kesan observasi Cak Nur
pada awal Orde Baru mengenai gejala sikap "Islam Yes, Partai Islam
No" tampak lagi sekarang.
Gejala itu tampak pula dari pernyataan Ketua PB NU yang menolak gagasan
poros tengah Islam, karena menurut dia sikap itu menunjukkan primordialisme
yang berarti kemunduran dari paham pluralisme yang sudah diikuti oleh NU
sejak Gus Dur. Sikap yang sama juga dinyatakan oleh mantan Ketua PP
Muhammadiyah dan pendiri PAN, M. Amien Rais, yang menolak gagasan poros
tengah partai-partai Islam yang dianggap telah kedaluwarsa dan menganjurkan
"koalisi Indonesia Raya" yang merangkul partai-partai kebangsaan.
Sebagai
kesimpulan, kini di kalangan Islam pun telah
berkembang wacana yang tidak saja meninggalkan cita-cita negara Islam, tapi
juga membiarkan hilangnya partai Islam dari bumi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar