Mungkinkah
Koalisi Tak Bagi-Bagi Kursi?
Amril Jambak ;
Wartawan di Pekanbaru,
Riau;
Peneliti
Forum Dialog Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia
|
OKEZONENEWS,
25 April 2014
AKHIR-akhir
ini seluruh partai politik (Parpol) peserta pemilu legislatif (Pileg) sontak
membahas pernyataan calon presiden (Capres) dari Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi. Tentu ada pro
dan kontra.
Dalam
suatu kesempatan menegaskan bahwa dia tidak akan mentoleransi adanya politik
transaksional dalam koalisi yang akan dibangun partainya. Jika terpilih
menjadi presiden, menyatakan tidak akan memperdagangkan kursi menteri demi
alasan koalisi.
"Saya tidak akan berkoalisi karena
hitung-hitungan. Tanpa hitung-hitungan kursi, hitung-hitungan menteri atau
uang. Saya pastikan itu tidak terjadi," kata
dia, seusai mengunjungi Dewan Perwakilan Cabang Kabupaten Sukabumi, Kamis, 27
Maret 2014 tengah malam.
Menurut
dia, PDI-Perjuangan masih membuka diri untuk koalisi dengan partai lain,
tetapi hanya dengan partai yang memiliki ideologi dan platform yang sama.
Detail
mengenai koalisi, kata dia, baru akan dibicarakan setelah pemilihan umum
legislatif. Jokowi mengatakan koalisi yang akan dibangun bisa dengan satu,
dua, tiga, bahkan empat partai. "Tapi
koalisi tersebut bukan karena bagi-bagi kursi, bagi-bagi menteri. Tapi
dasarnya koalisi untuk perbaikan bangsa, negara, dan memperbaiki
kesejahteraan rakyat," kata dia.
Sekjen
NasDem Patrice Rio Capella membeberkan pertemuan 'delapan mata' yang diikuti
dirinya, Ketum NasDem Surya Paloh, capres PDIP Jokowi, dan Sekjen PDIP Tjahjo
Kumolo, Sabtu (12/4/2014) lalu. Dalam pertemuan yang berujung kesepakatan
koalisi kedua partai itu, Rio menuturkan tak ada pembahasan soal janji jatah
kursi menteri ataupun posisi cawapres.
"Kita
sama-sama sepakat untuk memperkuat sistem presidensiil, memang tidak
bagi-bagi kekuasaan, tapi juga tidak mengharamkan power sharing," papar Rio
saat berbincang dengan detikcom, Senin (14/4/2014) malam.
Jokowi
dalam pertemuan itu, kata Rio, sama sekali tak mengiming-imingi janji kursi
menteri ataupun cawapres ke NasDem. Merapatnya partainya, dia menambahkan,
karena ideologi yang ditawarkan Jokowi memiliki kesamaan dengan visi NasDem.
Meski
demikian, dia yakin pada saatnya Jokowi akan mengajak NasDem bicara soal
pemerintahan. Bukan soal bagi-bagi kekuasaan, tapi soal pandangan
menyelesaikan masalah bangsa.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti
Zuhro yakin kesepakatan antara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
dan Partai Nasdem untuk berkoalisi berkaitan dengan kursi di lembaga
eksekutif.
Siti
mengatakan politik adalah tentang siapa mendapatkan apa. "Pasti membicarakan kursi. Karena politik itu tentang who gets
what, how, and when. Itu kata Harold Laswell (ilmuwan politik, red),"
katanya di Jakarta, Minggu (13/4/2014).
Meski
pembicaraan soal kursi tidak bisa dielakkan, Siti mengatakan, hal itu
sebaiknya tidak menjadi pertimbangan utama dalam memutuskan koalisi.
Dia pun
berpendapat partai politik harus tetap mengedepankan kecocokan ideologi atau
visi misi sebagai basis untuk berkoalisi, dia juga menambahkan PDI-P
sebaiknya tidak membangun koalisi yang gemuk, melainkan koalisi yang ramping
tetapi solid. Yang penting, kata Siti, parpol yang akan menjadi mitra koalisi
PDI-P memiliki komitmen dan dapat dipegang perkataannya.
"Kalau sama Nasdem itu jelas satu ideologi.
Mungkin PDI-P butuh tiga partai," tandasnya.
Direktur Eksekutif dari Pol-Track Institute Hanta Yudha AR mengatakan,
bentuk koalisi ideal berdasarkan ideologi atau platform hampir mustahil
dibentuk. Dengan pragmatisme dan perilaku politisi yang ada, Hanta meyakini
koalisi yang dibentuk nantinya akan tetap transaksional.
"Perjalanan
koalisi di Indonesia yang ada selama ini, dengan sistem yang ada serta
perilaku partai dan elite, sulit sekali melakukan itu. Akan tetap ada koalisi
transaksional. Power sharing dan barter kursi di kabinet, akan sulit
dihindari," ujar Hanta saat dihubungi, Senin (14/4/2014).
Apalagi,
lanjut Hanta, partai-partai menengah yang mendekati PDI-P seperti Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) pasti akan
memikirkan kursi calon wakil Presiden, atau setidaknya berharap meminta jatah
menteri. Di PKB, misalnya, sudah mulai memunculkan wacana Ketua Umum PKB
Muhaimin Iskandar untuk menjadi calon Wakil Presiden dan PAN yang sudah sejak
dulu mengusung nama Hatta Rajasa.
Untuk
membentuk koalisi, Hanta mengingatkan koalisi kecil atau besar tak lagi
relevan. Dia mencontohkan, koalisi besar yang dibentuk Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono saat ini nyatanya tetap gaduh.
Sehingga,
banyak atau sedikitnya partai yang diajak berkoalisi tak berpengaruh
membentuk koalisi solid seperti yang kini digaungkan Partai Gerindra. "Yang
harus diperhatikan adalah kualitas bukan kuantitas. Membentuk koalisi saat
ini harus memperhatikan soliditas, kohesivitas, dan kerekatan antar-partai.
Kalau mencari partai sebanyak-banyaknya, tak menjamin akan solid seperti PKS
dan Golkar saat ini," kata Hanta.
Terkait
calon wakil Presiden Jokowi, Hanta mengakui posisi itu akan menjadi rebutan
mitra koalisi PDI-P. Namun, PDI-P bisa saja menentukan cawapres non-partai
yang memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi.
"Kalau
ada sosok yang punya elektabilitas tinggi dan berpeluang menang, bisa saja
disepakati bersama. Tapi, partai-partai lain akan berharap jatah
menteri," ucapnya.
Dengan
berbagai hal di atas, penulis mencatatkan, bahwa selama perjalanan bangsa dan
negara ini, bagi-bagi kursi menteri ini merupakan hal yang lumrah. Lihat
dekade selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Selama 10 tahun menjadi
presiden, bagi-bagi kursi tetap terjadi, kecuali yang tidak memperoleh kursi
menteri, adalah parpol yang benar-benar oposisi terhadap pemerintah.
Jangan
sampai hal ini menjadi bumerang, seandainya bagi-bagi kursi menteri terjadi
jika Jokowi dipercaya rakyat menjadi presiden. Semua orang mencatat apa yang
diucapkannya. Kita tunggu saja ending-nya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar