Richard
Goenawan Mohamad ; Sastrawan, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
28 April 2014
Kini kita hidup dengan politik
yang berubah: politik sebagai show
business. Telah datang para pesohor yang cantik, tampan, wangi, merdu,
bertubuh bagus, dan tak berkeringat. Mereka dipasang, atau memasang diri,
sebagai orang-orang yang diharapkan dipilih dalam sebuah persaingan
kekuasaan.
Televisi, di sebuah negeri di
mana hampir tiap rumah punya pesawat penyebar informasi itu, mempertegas seni
panggung ini. TV telah jadi medium yang menggantikan peran pesan; isi yang
hendak disampaikannya tak penting lagi. The
medium is the message, kalimat Marshall McLuhan setengah abad yang lalu
itu kini punya gema baru. Tak penting agenda apa yang hendak diperjuangkan
politikus/bintang dan bintang/politikus itu. Yang penting: nun di sana ada
sosok audiovisual yang menarik.
Nun di sana. Televisi telah
membangun pentas politik dari jarak jauh; kata tele (dari kata Yunani Kuno,
tèle) sangat penting diingat. Dalam kejauhan itu, yang tampil adalah
"citra" sebuah kata yang maknanya dideskripsikan dalam sajak Usmar
Ismail (dan diberi melodi oleh komponis Cornel Simanjuntak) sebagai
"bayangan". Dan tak cuma "bayangan"; citra selalu terkait
dengan "kabut". Di kejauhan, yang gemerlap sama saja dengan yang
tak jelas.
Sebab itu siapa yang melihat
gerak-gerik seorang politikus sebagai "pencitraan" (artinya palsu)
akan salah. Dalam kabut yang meliputi citra, kita tak akan pernah tahu mana
yang asli. Pada akhirnya, orang harus percaya penuh atau orang harus curiga
penuh. Kata "pencitraan" akhirnya jadi sebuah umpatan yang latah
dan sia-sia.
Sebenarnya semua ini terjadi
bukan dari titik nol. Hubungan politik dengan teater ”dengan permainan peran dan penampilan diri” punya sejarah yang
panjang. Dari panggungnya di The Globe, di tepi Sungai Thames di akhir abad
ke-16, Shakespeare telah mengungkapkan itu. Permainan kekuasaan ditentukan
oleh kiat mengelabui dan pura-pura. Dalam Hamlet, sang pangeran menyiapkan
pembalasan kematian ayahnya dan tak seorang pun tahu pasti, juga ia sendiri,
apakah ia telah setengah sinting. Dalam Macbeth, sang panglima perang
mengundang rajanya menginap di kastilnya untuk kemudian dibunuh di waktu
tidur.
Dan tentu saja Richard III: di
sini ambiguitas dalam agenda untuk berkuasa begitu jelas. Penampilan adalah
pencitraan. Adik raja, Duke of
Gloucester, yang kemudian bertakhta sebagai Richard III, berterus terang
kepada penonton bagaimana ia tak berterus terang: dalam menjalankan perannya,
"kedurjanaannya yang
telanjang" ia tutupi dengan anjuran-anjuran lama yang ia curi dari
sabda Tuhan. Ia mengakui bahwa ia menampakkan diri sebagai seorang suci
ketika ia "memainkan peran
iblis".
And thus
I clothe my naked villainy
With odd
old ends, stol'n out of holy writ;
And seem
a saint, when most I play the devil.
Richard adalah aktor yang
berlapis-lapis. Ia memainkan sebuah identitas di atas panggung, tapi ia juga
memainkannya dengan kesadaran bahwa ia berperan di hadapan penonton. Dengan
kata lain: ia "bersandiwara" untuk "tak bersandiwara".
Dalam
lakon ini, ia berpura-pura kepada para musuh dan korban-korbannya untuk
memperdaya mereka, tapi sementara itu ia bersikap jujur kepada hadirin yang duduk
dan berdiri di The Globe seakan-akan
hendak meminta dukungan di dalam sebuah persekongkolan.
Ia muncul pertama kali dengan
sebuah kabar yang optimistis: masa baru kerajaan telah datang, negeri
memasuki akhir "musim dingin ketidakpuasan", the winter of our discontent. Matahari dinasti York mulai
bersinar, setelah perang panjang, zaman damai terwujud, cinta dan persahabatan
kembali. Tapi segera kabar gembira itu punya warna lain: di masa seperti itu,
ia, seorang bangsawan tinggi yang seharusnya merayakan kemenangan, justru
menyadari tubuhnya yang bungkuk dan buruk dan ia mengeluh tak bisa ikut
bergembira. Di bawah sinar matahari sehabis winter, yang ia lihat hanya bayangan tubuhnya, dan ia menyadari
cacatnya sendiri.
Why, I
in this weak piping time of peace,
Have no
delight to pass away the time,
Unless
to see my shadow in the sun
And
descant on mine own deformity.
Tuluskah ia dalam keluhan itu?
Tulus ataupun tidak, dengan itu ia memproyeksikan diri sebagai oknum di luar
semuanya: di luar nasib baik, di luar tata krama, di luar ukuran moral
sesama. Ia bertekad jadi jahat dan membenci hari-hari yang nyaman
berleha-leha: I am determined to prove
a villain/And hate the idle pleasures of these days.
Dan ia pun membunuh; ia merayu;
ia menipu. Dengan darah dingin. Licin, julig, penuh khianat. "I am subtle, false, and
treacherous" demikian pengakuannya. Ia kawini putri seorang bangsawan
yang suami dan ayahnya ia habisi. Setapak demi setapak ia naik sampai ke
takhta, setelah membersihkan musuh-musuh politiknya.
Pencitraan Richard praktis dan
cerdik. Ia tak tampan dan tak bisa tampil tampan karena ia bersua dengan
orang lain bukan melalui televisi. Maka ia justru mengandalkan buruk
tubuhnya. Protesnya kepada nasib memberinya alasan untuk bengis. Ia seorang
korban takdir, dan sebagaimana umumnya orang yang merasa jadi korban, ia
merasa berhak untuk membenci.
Bisa juga dikatakan: ia mengelabui
orang yang hendak dimusuhinya. Ketika sosoknya yang "deformed, unfinish'd" dianggap tak berbahaya, ia
membuktikan diri bisa mematuk seperti ular yang melata.
Richard III adalah sebuah tesis
politik: pencitraan adalah ambiguitas terus-menerus. Orang membentuk
identitasnya bersama kehadiran orang lain. Dengan beberapa lapis kabut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar