Sikap
Indonesia Terhadap Aneksasi Rusia di Ukraina
Ahmad Bhumi Nalaputra ;
Alumnus Program
Pascasarjana
Ilmu
Hubungan Internasional UGM Yogyakarta
|
OKEZONENEWS,
24 April 2014
Tindakan
unilateral Rusia dalam menduduki daerah Crimea yang merupakan bagian dari
negara Ukraina, merupakan preseden buruk bagi kedaulatan negara dan penegakan
hukum internasional. Pendudukan militer yang dilakukan Rusia di Crimea sejak
28 Februari 2014 hingga saat ini mengingatkan kita pada kasus serupa yang
dilakukan Rusia di Georgia pada tahun 2008. Pendudukan Crimea oleh Rusia juga
mengingatkan kita pada sikap negara adidaya lainnya yakni Amerika Serikat,
yang bersama negara sekutunya, menduduki Irak tanpa adanya mandat PBB selama tahun 2003 hingga 2011.
Tak
hanya melakukan pendudukan militer, pada tanggal 16 Maret 2014 pemerintah
Rusia mengadakan referendum di Crimea secara sepihak. Hasil dari referendum
itupun menyatakan bahwa Crimea menjadi bagian dari Rusia. Kecaman terhadap
tindakan Rusia ini pun datang silih berganti dari pemimpin–pemimpin dunia,
dan juga dari Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-Moon. Sementara China sebagai sekutu utama Rusia, sejauh ini tidak menunjukkan sikap mendukung ataupun
mengecam tindakan Rusia di Crimea. Dewan Keamanan PBB pun gagal meloloskan
resolusi mengecam pendudukan Rusia di Crimea karena resolusi tersebut diveto
oleh Rusia itu sendiri. Ancaman akan dijatuhkannya sanksi ekonomi oleh
negara-negara Barat pun seolah tidak dihiraukan oleh Rusia.
Majelis Umum PBB
Sejauh
ini sikap pemerintah Indonesia terhadap aneksasi Crimea oleh Rusia, sudah
sangat tegas dan sesuai konstitusi negara Indonesia. Hal ini setidaknya dapat
dilihat dari dua peristiwa, yakni pernyataan Menteri Luar Negeri Marty
Natalegawa pada tanggal 20 Maret dan posisi Indonesia dalam pemungutan suara
Resolusi Majelis Umum PBB no 68/39 yang dilakukan pada tanggal 27 Maret.
Marty
menyatakan bahwa pemerintah Indonesia menghargai kedaulatan Ukraina dan menolak
referendum sepihak di Crimea. Lebih lanjut, Marty menyatakan bahwa berdirinya
sebuah negara baru atau perpindahan kedaulatan akan dihormati oleh Indonesia,
jika didasarkan atas saling kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat.
Selanjutnya,
pada tanggal 27 Maret 2014, Indonesia bersama 99 negara anggota PBB lainnya
meloloskan resolusi Majelis Umum PBB nomor 68/39. Resolusi ini menyatakan
bahwa referendum di Crimea adalah illegal dan bahwa kedaulatan wilayah dan
kebebasan politik Ukraina harus dihormati.
Menlu
Marty Natalegawa dalam pernyataannya di atas juga sempat memberikan contoh
kasus yakni kasus berdirinya negara Sudan Selatan tahun 2012 silam.
Pemerintah Sudan dan Sudan Selatan sebelumnya telah saling sepakat mengadakan
referendum menentukan masa depan kedaulatan Sudan dan Sudan Selatan, dengan
PBB sebagai pihak mediasi.
Indonesia
sendiri pun telah mengalami peristiwa yang sama dengan referendum di Timor
Timur, yang berujung pada berdirinya negara Timor Leste. Kata kuncinya di
sini adalah adanya kesepakatan antara semua aktor internasional yang
terlibat, dalam menentukan masa depan sebuah wilayah. Namun di Crimea, di
samping didahului dengan pendudukan militer secara sepihak oleh Rusia adalah
tidak adanya persetujuan dari pemerintahan Ukraina dan PBB bagi pihak manapun
untuk menyelenggarakan referendum di sana.
Tindakan
negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Rusia dalam melanggar
kedaulatan negara-negara dunia, telah menimbulkan kekacauan dalam hukum
internasional yang diusung PBB. Alhasil legitimasi PBB pun kian terkikis dan
semakin menunjukkan kekuatiran negara-negara lain, terutama negara-negara
berkembang seperti Indonesia, bahwa hukum internasional hanya memihak yang
kuat. Bahwasanya, mengandalkan hukum dan organisasi internasional untuk
melindungi kedaulatan sebuah negara tetaplah sebuah fatamorgana sekalipun
dalam era globalisasi seperti saat ini.
Kekuatan
militer ternyata tetap menjadi kekuatan utama dalam melindungi kedaulatan dan
negara harus meningkatkan kapabilitas militernya. Namun hal ini kedepannya
akan menimbulkan security dilemma, di mana kepercayaan antarnegara untuk
menghormati kedaulatannya masing-masing berkurang akibat adanya peningkatan
kapabilitas militer oleh negara lain. Selanjutnya akan tercipta sebuah
perlombaan senjata dan bahaya akan konflik global semakin mencuat.
Selain
bahaya akan perlombaan senjata, muncul kekuatiran bahwa tindakan Rusia yang
melakukan aneksasi pada Crimea akan ditiru oleh negara lain. Israel sebagai
contoh, berulangkali menginginkan adanya referendum di wilayah pendudukannya
di Tepi Barat, Palestina, yang akan menentukan apakah wilayah tersebut akan
bergabung dengan Israel atau Palestina. Ini tentu sebuah pelanggaran hukum
internasional yang terang benderang mengingat di Tepi Barat sendiri terdapat
ratusan ribu penduduk Israel yang secara illegal menetap di sana. Tentu akan
sangat mengherankan jika penduduk illegal Israel tersebut dibolehkan ikut
memilih dalam sebuah referendum yang tidak disetujui oleh otoritas Palestina.
Bergeser
ke Asia, tindakan sepihak Rusia juga dapat memancing ketegangan baru di
kawasan Asia Tenggara. Sengketa Laut China Selatan, antara China dengan
beberapa negara Asia Tenggara masih berlanjut. Militer China berpatroli dan
menduduki beberapa bagian wilayah lain yang diklaim Philipina, Vietnam dan
Malaysia. Secara historis, peperangan di wilayah Laut China Selatan pernah
terjadi. Pada 14 Maret 1988, sempat terjadi baku tembak antara Angkatan Laut
China dan Vietnam yang menewaskan 70 orang pasukan Vietnam dan berlanjut
dengan pendudukan militer China di beberapa wilayah di Kepulauan Spratly yang
diklaim Vietnam. Tahun 1994, China juga menduduki wilayah Karang Mischief
yang diklaim oleh Philipina, namun ketika itu peperangan dapat dihindarkan.
Upaya penyelesaian konflik melalui institusi ASEAN, telah dimulai salah
satunya dengan ditandatanganinya Deklarasi Tata Perilaku Laut China Selatan
pada tahun 2002 silam.
Menyambung
dengan pernyataan Menteri Luar Indonesia di atas, Indonesia pada pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono telah menunjukkan perubahan kebijakan luar dengan
mengkolaborasikan kepentingan nasional dengan kepentingan domestik, regional
dan global. Dan ini dapat dicapai secara sinergi dengan prinsip dasar
konstitusi Indonesia terkait hubungan internasionalnya yakni politik luar
negeri bebas aktif.
Pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono menginginkan Indonesia menjadi negara dengan
kekuatan regional melalui jalinan kerja sama dengan negara di sekitarnya. Hal
ini dapat diwujudkan salah satunya dengan mengarahkan ASEAN menjadi
organisasi regional Asia Tenggara yang kuat, bersatu sehingga memiliki daya
tawar dalam menghadapi tekanan dari negara besar seperti China atau Amerika
Serikat. Bahwasanya kepentingan ASEAN juga menjadi kepentingan Indonesia,
terutama dengan semakin terintegasinya ASEAN pada tahun 2015 kelak.
Dalam
mewujudkan perdamaian di Asia Tenggara, Indonesia telah menerapkan ASEAN Way
atau norma-norma diplomatik ASEAN yang mengedepankan musyawarah dan mufakat
dalam menghadapi permasalahan keamanan. Sepanjang sejarah Laut China Selatan,
Indonesia telah berperan aktif menjadi penengah antara negara-negara yang
bersengketa dalam banyak pertemuan multilateral. Bentuk peran Indonesia yang
terkini adalah dipercayanya pemerintah Indonesia untuk menyusun draf
perjanjian multilateral mengenai sengketa Laut China Selatan, sebagaimana
dilansir kantor berita Reuters pada 24 Februari 2014. Salah satunya isi dari
draf tersebut adalah pelarangan latihan militer di Laut China Selatan sebagai
upaya penurunanan ketegangan.
Namun
bayang-bayang akan meledaknya konflik di Asia Tenggara akan mencuat kembali
jika militer China memutuskan untuk menduduki wilayah sengketa laut China
Selatan lainnya yang masih diklaim oleh Philipina atau Vietnam. Bagi
Indonesia, ini berarti kepemimpinannya di Asia Tenggara dalam organisasi
ASEAN akan tergerus. Laut Natuna yang juga diklaim China dalam peta yang
dikeluarkanya, pun suatu saat bisa mengakibatkan perseteruan lebih dalam
antar-Indonesia dan China. Di sini Indonesia tentu bisa berkata bahwa hukum
internasional mengatakan Laut Natuna adalah wilayah Indonesia. Namun berkaca
dari kasus Crimea, penegakan hukum internasional masih sangatlah lemah.
Ukraina yang bukan merupakan anggota Uni Eropa ataupun Pakta Atlantik Utara,
tidak banyak mendapatkan bantuan berarti dari komunitas dunia Internasional
dalam melindungi kedaulatan wilayahnya.
Jadi
sini dapat terlihat efektif atau tidaknya hukum internasional tetap
bergantung terhadap kehendak dan kekuatan sebuah negara atau kekuatan aliansi
dari banyak negara. Selaras dengan meningkatnya kapabilitas militernya,
Indonesia harus terus melanjutkan komitmennya akan integrasi ke dalam ASEAN
dan menunjukkan kemampuannya sebagai penengah dalam konflik di Asia Tenggara.
Indonesia juga harus dapat meningkatkan pengaruhnya di kancah politik
internasional agar sengketa yang dibawa ke mahkamah internasional, seperti
Sipadan dan Ligitan, tidak terulang kembali. Kegagalan dalam mencapai
kepentingan nasional baik pada lingkup domestik ataupun kawasan, akan semakin
menjauhkan mimpi Indonesia sebagai pemimpin kawasan Asia Tenggara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar