Raskin
dan Pangan untuk Indonesia
Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Unika Santo
Thomas, Sumatera Utara;
Ketua
Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Cabang Sumatera Utara
|
KORAN
SINDO, 26 April 2014
Tajuk
KORAN SINDO edisi Selasa, 15 April 2014 mengambil judul ”Raskin Dibalut Masalah”. Tajuk ini mengulas karut marut
penyelenggaraan program raskin (bantuan beras untuk masyarakat berpendapatan
rendah) seiring dengan hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
tentang ketidakefektifan penyelenggaraan program raskin selama ini.
Program
subsidi pangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang telah berusia 15
tahun ini tidak memenuhi ”6 T”, yakni Tepat
Sasaran, Tepat Jumlah, Tepat Mutu, Tepat Waktu, Tepat Harga dan Tepat
Administrasi, yang dijadikan sebagai indikator efektivitas program.
Pemicu ketidakefektifan program salah satunya data rumah tangga sasaran
penerima manfaat (RTS-PM, warga miskin) yang tidak akurat. Penerima raskin
bukan hanya orang miskin, tetapi juga yang mampu secara ekonomi. Volume
raskin yang diterima RTS-PM kurang dari 15 kilogram per bulan dan
penyalurannya acap dirapel, empat bulan sekali, dengan mutu beras yang sudah
berkutu.
Bagi
pengamat raskin, kutu ini diplesetkan menjadi fortifikasi protein hewani,
karena raskin sendiri sudah dihabisi proteinnya sejak di penggilingan. Harga
tebus raskin yang bermutu gizi rendah ini kerap di-mark up di atas banderol pemerintah, Rp1.600 per kg. Pemerintah
daerah yang merasa kurang dilibatkan, sering tutup mata untuk tidak
menganggarkan biaya distribusi raskin sehingga terjadi ketidaksesuaian
program dengan kondisi nyata di lapangan.
Evaluasi
Dari
kajian KPK yang menemukan penyelewengan dalam penyaluran raskin, pemerintah
diminta mendesain ulang program ini untuk tidak membuka ruang permainan
korupsi. Evaluasinya dilakukan secara komprehensif dan selaras dengan
pembangunan kedaulatan pangan. Kebijakan subsidi pangan untuk masyarakat
berpendapatan rendah patut disinergikan juga dengan program Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan yang sudah digelar pemerintah lewat Perpres
No 22 tahun 2009. Banyak pihak yang meragukan program raskin bisa berlanjut.
Selain
khawatir akan data RTS-PM yang kerap kurang pemutakhiran, biaya yang muncul
lebih banyak untuk pengadaan beras. Mata rantainya membuka kran impor dan
diduga kerap dimainkan dalam irama kartel pangan. Perjalanan penyediaan beras
untuk raskin yang demikian panjang tentunya menetaskan bisnis ikutan yang
tidak patuh pada prosedur standar operasi (SOP). Pertanyaan yang kemudian
muncul, bagaimana masa depan raskin? Apakah tidak lebih baik menyubsidi
keluarga miskin memperoleh produk pangan lokal yang mutunya lebih baik dari
raskin?
Pertanyaan
ini semakin menarik didiskusikan terkait dengan ketidakjelasan politik pangan
nasional untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Selama sepuluh tahun belakangan
ini, dinamika politik pangan untuk membawa bangsa agraris ini berdaulat atas
pangan semakin tak jelas. Reformasi agraria dibuat semakin abu-abu dan pasar
domestik dibanjiri pangan impor karena kebijakan pengelolaan pangan yang kian
liberal dan kapitalistik. Ketidakpahaman pemerintah provinsi, kabupaten dan
kota tentang kebijakan ketahanan pangan mendorong kian cepatnya laju konversi
lahan pertanian, kini seluas 100.000 hektare per tahun.
Kondisi
ini diperburuk dengan pola konsumsi pangan di tengah masyarakat yang kian
berpusat pada beras. Data terkini menyebutkan rata-rata penduduk Indonesia
mengonsumsi beras kurang lebih 139,15 kg per tahun. Indonesia semakin lambat
dalam kegiatan diversifikasi pangan karena pemerintah mengeluarkan kebijakan
raskin yang sarat penyelewengan dan harga beras berlabel raskin sengaja
dimurahkan, hanya Rp1.600 per kg. Hal itu semakin memudahkan masyarakat untuk
tidak tertarik melakukan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber
daya lokal. Program raskin bukanlah solusi mengatasi kemiskinan sehingga
patut dievaluasi.
Program
ini pada akhirnya akan kian menjebak rakyat untuk terus mengonsumsi beras
murah secara berlebihan. Pemerintah seharusnya meningkatkan daya beli
masyarakat dengan membuka lapangan kerja baru sehingga mampu membeli beras
dengan kualitas premium. Jumlah penerima raskin setiap tahunnya sepatutnya
berkurang secara signifikan sebagai buah dari program pengentasan rakyat dari
kemiskinan yang sudah lama digulirkan.
Tiga Alasan
Pemerintah
pun patut membuat kebijakan baru untuk menetaskan program ”Pangan untuk Indonesia” (Pangkin).
Produk program Pangkin harus berbasis sumber daya lokal. Dari perspektif
kedaulatan pangan, program Pangkin berimplikasi meningkatkan percepatan
penganekaragaman konsumsi pangan seperti kontrak politik Menteri Pertanian
dengan Presiden SBY tahun 2010. Yakni mewujudkan penganekaragaman konsumsi
pangan berbasis sumber daya lokal yang beragam, bergizi seimbang dan aman
(B2SA) untuk mengurangi laju konsumsi beras sebesar 1,5% tiap tahun.
Ada tiga
alasan mengapa Pangkin efektif menggantikan Raskin. Pertama, masyarakat
Indonesia memiliki budaya dan pola konsumsi karbohidrat yang berbeda antara
satu daerah dengan daerah lainnya. Meski beras menjadi makanan pokok
mayoritas masyarakat, kebutuhan karbohidrat masyarakat di sejumlah daerah
berasal dari jagung, ubi, sagu, dan pisang. Keberagaman konsumsi ini patut
direspons dengan baik agar penyediaan dana untuk pembelian pangan lokal
menjadi tepat sasaran. Kedua, pangan untuk Indonesia akan mendorong
terciptanya captive demand di
perdesaan.
Melalui
program Pangkin, dengan sendirinya ada kepastian permintaan pangan lokal
nonberas di setiap daerah dan membuat warga bergairah untuk melakukan
aktivitas pertanian berbasis umbi-umbian dan pangan nonberas lainnya. Ketiga,
memudahkan logistik. Program pangan untuk Indonesia membutuhkan kelembagaan
yang lebih sederhana. Tempat penyimpanan dan pengangkutannya tidak lagi
berbelit-belit karena bahan baku Pangkin tersedia secara lokal.
Ketiga
alasan itu diharapkan dapat menetaskan gagasan berkelanjutan yang menjadi
mesin pendorong untuk pengembangan industri beras analog berbahan baku pangan
lokal nonberas yang sudah diinisiasi di sejumlah perguruan tinggi. Penyediaan
beras analog sebagai amunisi pangan untuk Indonesia akan menjadi pilar yang
menopang kekuatan nilai budaya dan kearifan lokal yang sudah berakar selama
ini. Kekuatan ini akan mengakhiri penjajahan kartel beras yang berjiwa
kapitalistik, sekaligus menumbuhkan industri kreatif guna menopang
terwujudnya kedaulatan pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar