Motivasi
Menjadi Polisi
Herie Purwanto ; Kasat Binmas Polres Pekalongan Kota,
Dosen Fakultas
Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
|
SUARA
MERDEKA, 28 April 2014
Lebih dari 200 ribu orang
mendaftar menjadi brigadir polisi pada tahun ini. Pendaftaran yang dibuka
sejak awal April hingga tanggal 19 lalu menjaring pemuda usia 17-22 tahun,
dan nantinya dididik selama 7 bulan. Khusus polwan, untuk memenuhi kebutuhan
satu polsek dua polwan, Polri akan merekrut lebih dari 7.000 personel. Polda
Jateng akan mendidik 761 polwan.
Animo yang begitu besar dalam
penerimaan anggota polisi tersebut memunculkan pertanyaan apa sebenarnya
motivasi pendaftar? Apakah memang sudah menjadi cita-cita, panggilan hati
untuk menjadi polisi, atau sekadar mengadu nasib untuk bisa mendapatkan
pekerjaan tetap.
Apa pun motivasinya, sah-sah
saja mendaftar.
Lowongan menjadi polisi
golongan II dengan gaji lebih dari Rp 3 juta per bulan, memang merupakan
daya tarik tersendiri. Namun animo yang besar itu hendaknya menjadi
perhatian Polri untuk benar-benar menyeleksi. Jangan sampai nantinya yang
lolos seleksi adalah anak muda yang sekadar ingin mendapatkan pekerjaan.
Andai hal itu yang terjadi maka
output yang dihasilkan, lebih banyak pada pemenuhan secara kuantitas. Kapolri
telah menggariskan kebijakan bahwa semua tahapan dalam pola penerimaan itu
menganut prinsip bersih, transparan, akuntabel, dan humanis.
Aplikasi dari prinsip ini,
panitia menggandeng elemen masyarakat untuk ikut mengawasi secara langsung
tiap tahapan. Tagline dalam spanduk penerimaan bertuliskan ’’selama proses
penerimaan, gratis, tidak dipungut biaya’’ semoga menjadi kenyataan, bukan
hanya lips service.
Kemungkinan masih ada prasangka
buruk yang menyelimuti publik atas keseriusan yang hendak dibangun Polri
dalam menerapkan prinsip tersebut. Hal itu disebabkan oleh stigma yang
masih mengakar pada masyarakat, bahwa supaya bisa menjadi polisi dibutuhkan
uang untuk menyogok oknum yang berkompeten dengan proses seleksi.
Pakta Integritas
Atas hal itu, Kapolri
mengeluarkan kebijakan berupa kewajiban menandatangani pakta integritas bagi
orang tua atau wali pelamar, supaya tidak mencoba KKN. Panitia pun diperintah
untuk tidak main matadengan pelamar. Bila hal itu dilanggar dan bisa
dibuktikan maka sanksinya jelas, baik bagi oknum panitia itu maupun
pencabutan status kelulusan bagi calon polisi tadi.
Menyemai Kualitas
Tekad Kapolri menerapkan
prinsip bersih, transparan, akuntabel, dan humanis dalam perekrutan polisi
sesungguhnya bisa menjadi momentum untuk menyemaikan benih polisi
berkualitas. Bukan rahasia lagi bahwa polisi produk lama, yang memberi warna
institusi Polri sekarang ini masih terbalut dengan rendahnya kepercayaan dari
masyarakat.
Keterpilihan anggota polisi
yang benar-benar memenuhi persyaratan berdampak positif terhadap institusi.
Sebaliknya, andai ternyata masih ditemukan indikasi KKN dalam proses
perekrutan, hal itu kontraproduktif bagi citra Polri. Akankah itu bisa jadi
kesadaran kolektif bagi panitia seleksi, ataupun orang tua/wali pelamar?
Pasalnya kondisi ini akan dihadapkan pada persoalan animo dan kebutuhan.
Dalam posisi itu, Kapolri harus
benar-benar memberdayakan fungsi pengawasan. Peran dari eksternal, tak boleh
hanya sebatas pengawasan terhadap hasil ujian yang bersifat namun juga
terhadap hasil ujian yang tidak terukur dan cenderung bisa bersifat
subjektif. Inilah celah yang acap tidak terpantau oleh pengawasan eksternal.
Perubahan mindset dan budaya
dalam sistem perekrutan anggota polisi, menjadi salah satu parameter
signifikan bagi tumbuh kembangnya kecintaan masyarakat terhadap polisi.
Karena itu, momentum perekrutan melalui pola itu bisa menjadi salah
satu media untuk menunjukkan bahwa Polri era sekarang ingin menyemaikan aspek
kualitas.
Jangan sampai terus berulang,
anggapan publik bahwa menjadi polisi harus dengan uang. Andai itu yang
terjadi, polisi baru tersebut akan hadir di tengah masyarakat dengan tangan
yang siap menerima atau memeras uang rakyat. Pasalnya ia harus mengembalikan modal
awalnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar