Setop
Stigma!
Reza Indragiri Amriel ; Anggota
Asosiasi Psikologi Islami
|
SINAR
HARAPAN, 28 April 2014
Artikel ini juga dimuat di JAWA POS 28 April 2014
Sah sudah! Tepat dugaan saya! Kalau
boleh mengutarakan rekomendasi paling ekstrem, saya ingin sekali menyarankan
bocah hebat—yang menjadi sasaran kebiadaban petugas kebersihan di Jakarta International School (JIS)—dan
keluarganya sesegera mungkin angkat kaki dari negeri ini.
Bukan
karena saya tidak menaruh hati, apalagi benci kepada si bocah hebat tersebut.
Justru karena saya tidak yakin, betapa pun ia telah sedemikian perkasa
menaklukkan rasa takutnya dengan berani mengutarakan tragedi yang dialami,
cepat atau lambat akan lalu-lalang ungkapan-ungkapan bermuatan stigma ke
bocah hebat tersebut.
Simak
saja anggapan negatif bahwa ibunda si bocah hebat tersebut berelasi buruk
dengan darah dagingnya sendiri. Itu karena si bocah hebat ternyata memilih
bercerita ke Captain America, tokoh yang tidak nyata, ketimbang ke figur yang
melahirkannya. Jelas, itu anggapan ngawur. Lazimnya, orang-orang yang
terpapar trauma perilaku mereka cenderung mengunci mulut rapat-rapat dan
mengisolasi diri.
Demikian
pula dengan si bocah hebat. Butuh waktu baginya untuk sedikit memulihkan
kondisi psikisnya hingga yakin, tetap ada satu dua orang yang sudi
menyodorkan telinga dan hatinya guna menyimak penuturan si bocah hebat itu.
Strategi
menghadirkan Captain America guna memancing anak bercerita merupakan langkah
tepat. Dunia anak identik dengan bermain, imajinasi. Kedekatan yang si bocah
hebat rasakan dengan tokoh Captain America di satu sisi, tidak sepatutnya
disimpulkan sebagai kegagalan ibu si bocah hebat di sisi lain dalam menjalankan
peran orang tua secara efektif.
Baca
pula posting di sebuah akun
Facebook milik seseorang yang menjejerkan namanya dengan foto Bung Karno.
Mengawali posting-nya dengan satu
kata serapah, ia lalu mengkritik biaya pendidikan di JIS yang mencapai puluhan
juta rupiah. Sampai di situ semua masih bisa diterima akal.
Anggap
saja si pemilik akun adalah anak muda, kritikus sosial yang punya impian
memutar orbit Bumi ke arah kebalikannya. Tapi selanjutnya, zig-zag nalar politisnya menjadi
urakan. Si empunya akun menyatakan dukungannya terhadap para pelaku kekerasan
seksual di JIS, bahkan menggelari mereka sebagai “pahlawan bangsa”.
Logika
yang kacau-balau? Lidah (jemari) yang meracau? Apa pun itu, saya tidak
menemukan pembenaran barang sedikit pun terhadap orang yang melontarkan
kritik—tepatnya hujatan—sosial, lalu menutupnya dengan sanjungan bagi
manusia-manusia laknat yang telah menjadikan anak-anak sebagai sasaran
kekejian mereka.
Dua
contoh di atas sesunggunya bukti kebenaran pernyataan Albert Bandura. Tokoh
psikologi itu pada suatu masa berteori, mana kala
hukum pidana kehilangan tajinya memunculkan efek jera, adalah sanksi sosial
yang kemudian bisa diharapkan lebih sakti melumpuhkan para penjahat agar
tidak mengulangi perbuatan mereka. Stigmatisasi adalah salah satu bentuk
sanksi sosial itu.
Persoalannya,
mengapa “sanksi sosial” sedemikian munkar justru ditujukan kepada si bocah
hebat di JIS? Memang luka di tubuhnya kelak menutup kembali, tapi tidak
demikian dengan cedera batin. Trauma itu bisa jadi mengendap selamanya.
Kini,
ketika ia bersama orang-orang yang peduli padanya tengah bersusah payah
mencoba membangun ketangguhan psikis menghadapi kenangan traumatis itu,
tiba-tiba muncul “manusia-manusia” yang seakan tidak lagi mempunyai
kemanusiaan mereka. Mereka, dalam ingatan saya yang mengacu pada hadis Nabi,
laksana makhluk yang menampakkan tanduknya di pengujung petang menjelang
magrib.
Mereka
yang melontarkan stigma kepada si bocah hebat sudah sepantasnya tahu, tidak
sedikit korban kekerasan seksual yang setelah dewasa menjelma sebagai pelaku
kekerasan seksual terhadap anak. Ada amarah, kebencian, kesedihan, dan
sebutan-sebutan lainnya yang identik dengan sakit hati yang bermukim dalam
diri, menunggu waktu bisa dilampiaskan kembali. Memang, hanya sebagian yang
bernasib sedemikian buruk. Sebagian lagi, kendati telah melalui episode hidup
yang begitu buruk, mampu tumbuh dewasa menjadi individu penyintas yang hidup
produktif.
Salah
satu faktor pembeda antara kedua kelompok individu tersebut adalah dukungan
sosial. Anak-anak yang tetap memperoleh dukungan sosial terbukti
gilang-gemilang melewati fase berat dan kelak menjadi petarung yang aktif
menangkal jatuhnya anak-anak lain ke penderitaan serupa.
Jika penghakiman-penghakiman sosial berupa stigmatisasi terus
berkeliaran, jelas ini tidak bermanfaat bagi pemulihan si bocah hebat. Ia
terus-menerus diposisikan sebagai korban, sebutan untuk manusia yang berada
di bawah. Ia tak putus-putus dipandang sosok yang kehilangan keberdayaannya.
Ia, yang darahnya masih mengalir dan napasnya masih berembus, dipaksa mati
dengan palu godam verbal yang dihantamkan berulang kali ke kepalanya.
Itu
semua yang membuat saya, sekali lagi, ingin sekali menyarankan si bocah hebat
dan orang tuanya segera berkemas dan meninggalkan negeri yang banyak warganya
merupakan titisan kaum jahiliyah ini, kaum yang menyikapi aksi mengubur bayi
hidup-hidup sebagai kebiasaan lumrah!
Pasti
ada rahasia yang Tuhan kirim dengan menguji si bocah hebat itu. Ujian yang
apabila—saya yakin—berhasil diatasi, akan melontarkannya ke kedudukan mulia.
Sayangnya,
selalu ada pihak yang tidak menghendaki terealisasinya janji Zat yang
mahakasih dan mahacinta itu. Pihak itu menghampiri dengan menimpakan beban
tambahan ke diri bocah hebat. Ia, pihak itu, tanpa sadar barangkali tengah
memamerkan kelemahan, sekaligus keburukan dirinya pribadi. Ia, yang karena
tidak berpengharapan menjadi penghuni Firdaus, akhirnya memilih menyabotase
orang lain agar masuk ke lembah kehinaan.
Untuk
itu, “jika tidak mampu mengucapkan
kebaikan, setidaknya jangan berbicara”! Tidak ada pepatah lain yang lebih
relevan ditujukan kepada para “hakim” yang mengayun-ayunkan palu stigmanya ke
si bocah hebat dan anak-anak lain yang juga berjuang menjadi penyintas.
Bait
“Ben” yang dinyanyikan mendiang
Michael Jackson ini sesuai benar dengan suasana hati saya. Kini, dengan
seutuh jiwa, saya bisikkan lirik lagu itu ke si bocah hebat dan ribuan bahkan
mungkin jutaan anak lainnya yang juga harus terlebih dahulu menapaki cerita
kelam sebelum menjadi pemenang.
“Most people would turn you away I
don't listen to a word they say… If you ever look behind and don't like what
you find there's something you should know, you've got a place to go...” Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar