Aceh
Didikte, Aceh Bangkit
Aboeprijadi Santoso ; Wartawan
|
TEMPO.CO,
26 April 2014
Agustus
2008: Tgk Muhammad Usman Lampoh Awe (alm.), tokoh kepercayaan Hasan Tiro,
menggambarkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah Perdamaian Helsinki (2005)
bagai "kapal oleng: ada ombak dari
depan, ada angin dari samping, ada ribut di belakang. GAM seperti kapal yang
harus tetap menuju tujuan ..." Seputar pemilihan legislatif 2014, kiasan
itu bak dejavu. Partai Aceh (PA),
partai bekas GAM, merosot, tapi masih dominan. Golkar, Demokrat, NasDem
menyusul dan parlok (parpol lokal) eks GAM yang bersitegang dengan PA, Partai
Nasional Aceh (PNA), berada di peringkat rendah. Di basisnya, Pidie, Aceh
Besar, dan Aceh Timur, PA kokoh, tapi PNA tidak.
Hampir
satu dasawarsa setelah perdamaian, kedua kubu eks-GAM bersaing untuk
membangun Aceh. Gubernur Tgk Zaini Abdullah menunjuk tak kurang sembilan
pasal Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) untuk melaksanakan MoU Helsinki
yang lama dinanti, tapi tak dituntaskan pusat. Padahal ini seputar kewenangan
dan sumber daya migas, antara lain soal batas laut 200 mil untuk eksplorasi
minyak lepas pantai Simeuleu.
Ada apa
di balik kealotan Jakarta? Apa yang dirujuk sebagai kealotan dan kecurigaan
itu kentara dalam keamanan. Setiap letupan kekerasan sejak 2009, tersangkanya
boleh jadi pihak lokal, tapi orang mafhum: ada aparat "bermain".
Itu sebabnya anggaran dan jumlah tentara serta polisi bertambah. Aceh menjadi
"Serambi Kekerasan" yang tak pernah absen dalam daftar provinsi
dengan perhatian khusus. Pada 2009 hingga Pilkada 2012, serangan organisasi
tanpa bentuk (OTB) meningkat.
"Operasi
Soenarko" itu bersamaan dengan menajamnya perpecahan eks-GAM tadi.
Pangdam asal Kopassus tersebut menjelang Pilkada 2012 membidani tampilnya
Partai Gerindra di Aceh dan menggalang suara tambun bagi PA dari Aceh Tengah
yang sarat milisi anti-GAM. Ini menjamin kemenangan besar PA menggusur
Irwandi Yusuf dari kursi gubernur. Di lain pihak, perkongsian Gerindra-PA
dinilai perlu karena melindungi PA dari kecurigaan terus-menerus dari Jakarta
tentang "agenda kemerdekaan". Gerindra juga memasok dana miliaran
rupiah. Pada gilirannya, perkongsian strategis itu menjamin suara Aceh bagi
Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014. Strange bedfellows mengingat cacat HAM
pada Prabowo pada 1980-an. Bagi Aceh, perkongsian ini sama pentingnya dengan
perkongsian PA dengan Partai Demokrat lima tahun sebelumnya yang menyumbang
bagi kemenangan besar Susilo Bambang Yudhoyono pada Pilpres 2009. Pola
aliansi ini menjamin stabilitas hubungan pusat dan Aceh.
"Ombak dari depan, angin dari samping, ribut
di belakang" terus mengguncang Aceh. "Ombak" datang dari Jakarta, "angin" dari persaingan lokal, tapi "ribut di belakang" itu
berkisar mantan kombatan. "Janganlah
melepas harimau liar," seorang aktivis menghardik Wiranto ketika
jenderal ini mencabut DOM. Seusai perang, petani dan gerilyawan menjadi warga
sipil, tapi itu memerlukan infrastruktur penghidupan. MoU Helsinki
menyepakati perlengkapan hidup bagi 3.000 mantan kombatan, padahal jumlah
mereka jauh lebih besar.
Para
peneliti menilai ada transisi "kombatan
menjadi kontraktor", tapi ini hanya separuh kenyataan. Sejumlah eks
panglima GAM pada masa Gubernur Irwandi menjadi kontraktor ketika BRR (Badan
Rekonstruksi dan Rehabilitasi) menopang Aceh dengan proyek-proyek. Sebagian
hidup dari fee, tapi ini tak
menjangkau ribuan anak buah para panglima tersebut. Mereka menjadi reservoir bagi penguasa yang menguasai
sumber daya. Walhasil, bila semula kontraktor menjamur, kini pada masa
Gubernur Zaini, sejak para mantan panglima wilayah GAM "dipecat"
dan anak buahnya "lepas" dari struktur, mereka menjadi potensi
rawan.
Bila
"ombak" Jakarta dan perkongsian tadi memenangkan PA dalam Pilkada
2012, pembubaran struktur kombatan bukan hanya mengguncang loyalitas, tapi
juga mengalihkan relasi klientelisme ke penguasa baru: PA. Di bawah PA, Aceh
disebut nyaris jadi one party-state.
Seorang petinggi PA menuai onar ketika mengancam warga agar "keluar dari Aceh bila tak suka
PA". Maka pemilihan legislatif 2014 dapat mengukur seberapa jauh
suara elektorat menjadi pembelajaran ataukah hukuman atas tendensi otokratik.
Layaknya demokrasi yang sehat, Aceh perlu oposisi yang mampu mengimbangi
penguasa. Selama dua kubu eks GAM dalam imbangan yang timpang, ruang akan
terpelihara bagi pihak ketiga untuk bermain: mendikte atau berkongsi.
Aceh juga
sebuah kisah kebangkitan. Di daerah dengan UMP tertinggi ini lapisan menengah
bertumbuh-kembang. Ada mantan kombatan yang sukses berbisnis--semacam Tgku
Jamaica dan Tgku Batee--dan bakal siap jadi politikus. Unsur-unsur civil society mengisi kader parpol.
Walhasil,
Aceh bukan cerita kegagalan. Momok Leviathan
silih berganti sosok di Aceh: Hindia Belanda memeranginya, Sukarno memasukkan
Aceh dalam provinsi Sumatera Utara, lalu Orde Baru beringas. Perdamaian
Helsinki telah menjadi berkah milik rakyat Aceh. Mencurigai Aceh sama dengan
memusuhi berkah tersebut. Yang perlu, saran Tgk Rafli, "mewakafkan keikhlasan" agar
"Aceh dapat tampil dinamis dengan
roh ke-Aceh-an dan roh peradaban". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar