Trah
Politik : Soekarno dan Soeharto
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad
Solo
|
SUARA
MERDEKA, 09 April 2014
“Soekarno dan Soeharto berharap ada penguatan
kekuasaan berdasar ”golongan fungsional” atau ”golongan karya” “
PADA
pelbagai spanduk, kaus, stiker terpampang dua foto mantan presiden: Soekarno
dan Soeharto. Mereka tampil ekspresif. Foto Soekarno sering berkacamata,
berpakaian necis, berpeci, gagah, dan berwibawa. Adapun Soeharto
memperlihatkan wajah semringah, tangan melambai, dan berbaju rapi. Ingatan
kita tentang dua tokoh itu sulit sirna, meski Indonesia bakal terus mengalami
pergantian presiden.
Foto
mereka selalu hadir, dipakai untuk penghormatan atau siasat ”menjajakan”
politik. Foto-Soekarno dan Soeharto dengan pelbagai ekspresi dianggap oleh
partai politik dan elite politik sanggup memberi sihir, membujuk orang
membuka memori demi memberi suara dalam pemilu legislatif, 9 April 2014. Foto
hampir sakral, pikat politik bernuansa ”mistik” pada abad XXI.
Publik
beranggapan ada persaingan trah antara Soekarno dan Soeharto. Gelagat
persaingan makin tampak dengan keberadaan para caleg dari para keturunan
Soekarno dan Soeharto. Mereka ingin mendapat suara publik, menghuni gedung
parlemen. Gapaian ambisi kekuasaan disokong penampilan para ahli waris dalam
membujuk publik di panggung politik atau iklan politik.
Urusan
trah muncul lagi dalam agenda demokrasi mutakhir. Trah berasal dari Bahasa
Jawa Kuno (Kawi), berarti keturunan. Sekarang, keturunan Soekarno dan
Soeharto bersaing dalam pemilu. Publik mendapat keterangan klise mengenai
perbedaan kubu politik antara keturunan Soekarno dan Soeharto. Anggapan
publik: Soekarno identik dengan PDI Perjuangan dan Soeharto identik dengan
Partai Golkar.
Anggapan
makin menguat saat publik melihat iklan politik, spanduk, poster, kaus,
stiker: menampilkan logo partai, nama caleg atau capres, foto Soekarno dan
Soeharto. Permainan tanda (semiotika) merangsang imajinasi politik publik,
berpihak ke pesan-pesan politik mengacu ke Soekarno atau Soeharto. Pelbagai
siasat politik dengan foto berpamrih memenangkan para caleg dari keturunan
Soekarno dan Soeharto.
Imajinasi
Soekarno dan Soeharto juga digunakan memenangkan capres dari PDIP (Joko
Widodo) dan Partai Golkar (Aburizal Bakrie). Mereka sah menggunakan imajinasi
politik melalui foto dan perkataan dari Soekarno dan Soeharto meski harus
mempertimbangkan ”rasionalitas politik”. Politik imajinatif dan simbolik
memang diperlukan meski tak mesti berlebihan.
Apakah
Soekarno dan Soeharto selalu berbeda, tak memiliki persamaan dalam konteks
politik? Kita bisa mengingat sejarah politik masa silam. Soekarno dan
Soeharto memiliki persamaan, mengacu sejarah Golkar. Mereka adalah perintis pembentukan
”golongan fungsional” dan ”golongan karya”, berkembang menjadi Golkar,
berubah menjadi Partai Golkar.
David
Reeve dalam buku Golkar, Sejarah yang
Hilang: Akar Pemikiran dan Dinamika (2013) mengurai pelbagai fakta dan
kesinambungan gagasan Soekarno saat Orde Lama, ”disempurnakan” dan
”diambilalih” oleh Soeharto demi pemenuhan pamrih kekuasaan. Sejarah memang
sering bermisteri dan membuka pelbagai episode dramatis.
Tahun
1957, Soekarno menginginkan keberadaan ”golongan fungsional”, bersaing atau menggantikan
peran puluhan partai politik. Pemilu 1955 dan adu kekuatan pelbagai partai
politik berbeda ideologi mengakibatkan demokrasi di Indonesia mengalami
guncangan. Indonesia rawan konflik, demokrasi bisa merapuhkan ambisi
revolusi. Keberadaan ”golongan fungsional” dimaksudkan mewujudkan cita-cita ”kolektivisme” dan
”asas kekeluargaan”.
Udar
gagasan Soekarno perlahan berlanjut ke Soeharto dengan taktik mengurangi
jejak dan dominasi penjelasan dari Soekarno. Keruntuhan rezim Orde Lama makin
menguatkan kehendak Soeharto membuat ”repertoar politik” bereferensi diri: membesarkan peran dan pesona dalam
kekuasaan. Sejak masa Soekarno, ”golongan fungsional” berganti ”golongan
karya”. Soeharto memilih istilah ”golongan karya” untuk menguatkan posisi dan
pengaruh.
Mendapat Opini
Soeharto
besar dengan sokongan Sekretariat Bersama Golongan Karya. Pembuktian terjadi
dalam Pemilu 1971: Sekber Golkar menang, mempecundangi pelbagai partai.
Keberadaan Golongan Karya makin ada dalam dominasi Soeharto. Sejarah mulai memunculkan nama Soeharto sebagai
ikon Golkar. Kita pun mendapat opini, Golkar identik dengan birokrat dan militer.
Golkar mengisahkan Orde Baru.
Sikap
jemawa Soeharto saat bisa mengendalikan Golkar untuk memenangi Pemilu 1971
tersaji di buku Soeharto: Pikiran,
Ucapan, dan Tindakan Saya (1989). Soeharto berkata,’’... marilah kita laksanakan pemilu itu dengan kesungguhan hati,
dengan penuh rasa tanggung jawab kita semuanya, terutama untuk keselamatan
bangsa dan negara’’.
Lanjutnya,
’’Kepada semua partai politik dan
organisasi karya, saya serukan agar usaha-usaha dalam mengumpulkan dana,
dalam kampanye, dan dalam pelaksanaan pemilu itu berjalan dengan bersih dan
jujur. Sekali lagi, bersih dan jujur!’’ Seruan Soeharto idealistis tapi
mengandung muslihat.
Semula,
Soekarno dan Soeharto berharapan ada penguatan kekuasaan berdasar ”golongan
fungsional” atau ”golongan karya”. Soekarno tak berhasil mewujudkan. Soeharto
tampil sebagai ”pemenang” untuk membesarkan Golkar. Persamaan berubah ke
perbedaan saat rezim Orde Baru memberlakukan keberadaan dua partai dan
Golkar.
Imajinasi
Soekarno di PDI dan ingatan tentang PNI berhadapan dengan Soeharto sebagai
ikon Golkar. Perbedaan berlanjut ke pemilu-pemilu, usai keruntuhan rezim Orde
Baru.
Sekarang,
publik melihat ada adu imajinasi politik, bereferensi Soekarno dan Soeharto
memunculkan perbedaan kubu politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar