Kamis, 10 April 2014

Trah Politik : Soekarno dan Soeharto

Trah Politik : Soekarno dan Soeharto

Bandung Mawardi  ;   Pengelola Jagat Abjad Solo
SUARA MERDEKA, 09 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
“Soekarno dan Soeharto berharap ada penguatan kekuasaan berdasar ”golongan fungsional” atau ”golongan karya”

PADA pelbagai spanduk, kaus, stiker terpampang dua foto mantan presiden: Soekarno dan Soeharto. Mereka tampil ekspresif. Foto Soekarno sering berkacamata, berpakaian necis, berpeci, gagah, dan berwibawa. Adapun Soeharto memperlihatkan wajah semringah, tangan melambai, dan berbaju rapi. Ingatan kita tentang dua tokoh itu sulit sirna, meski Indonesia bakal terus mengalami pergantian presiden.

Foto mereka selalu hadir, dipakai untuk penghormatan atau siasat ”menjajakan” politik. Foto-Soekarno dan Soeharto dengan pelbagai ekspresi dianggap oleh partai politik dan elite politik sanggup memberi sihir, membujuk orang membuka memori demi memberi suara dalam pemilu legislatif, 9 April 2014. Foto hampir sakral, pikat politik bernuansa ”mistik” pada abad XXI.

Publik beranggapan ada persaingan trah antara Soekarno dan Soeharto. Gelagat persaingan makin tampak dengan keberadaan para caleg dari para keturunan Soekarno dan Soeharto. Mereka ingin mendapat suara publik, menghuni gedung parlemen. Gapaian ambisi kekuasaan disokong penampilan para ahli waris dalam membujuk publik di panggung politik atau iklan politik.

Urusan trah muncul lagi dalam agenda demokrasi mutakhir. Trah berasal dari Bahasa Jawa Kuno (Kawi), berarti keturunan. Sekarang, keturunan Soekarno dan Soeharto bersaing dalam pemilu. Publik mendapat keterangan klise mengenai perbedaan kubu politik antara keturunan Soekarno dan Soeharto. Anggapan publik: Soekarno identik dengan PDI Perjuangan dan Soeharto identik dengan Partai Golkar.

Anggapan makin menguat saat publik melihat iklan politik, spanduk, poster, kaus, stiker: menampilkan logo partai, nama caleg atau capres, foto Soekarno dan Soeharto. Permainan tanda (semiotika) merangsang imajinasi politik publik, berpihak ke pesan-pesan politik mengacu ke Soekarno atau Soeharto. Pelbagai siasat politik dengan foto berpamrih memenangkan para caleg dari keturunan Soekarno dan Soeharto.

Imajinasi Soekarno dan Soeharto juga digunakan memenangkan capres dari PDIP (Joko Widodo) dan Partai Golkar (Aburizal Bakrie). Mereka sah menggunakan imajinasi politik melalui foto dan perkataan dari Soekarno dan Soeharto meski harus mempertimbangkan ”rasionalitas politik”. Politik imajinatif dan simbolik memang diperlukan meski tak mesti berlebihan.

Apakah Soekarno dan Soeharto selalu berbeda, tak memiliki persamaan dalam konteks politik? Kita bisa mengingat sejarah politik masa silam. Soekarno dan Soeharto memiliki persamaan, mengacu sejarah Golkar. Mereka adalah perintis pembentukan ”golongan fungsional” dan ”golongan karya”, berkembang menjadi Golkar, berubah menjadi Partai Golkar.

David Reeve dalam buku Golkar, Sejarah yang Hilang: Akar Pemikiran dan Dinamika (2013) mengurai pelbagai fakta dan kesinambungan gagasan Soekarno saat Orde Lama, ”disempurnakan” dan ”diambilalih” oleh Soeharto demi pemenuhan pamrih kekuasaan. Sejarah memang sering bermisteri dan membuka pelbagai episode dramatis.

Tahun 1957, Soekarno menginginkan keberadaan ”golongan fungsional”, bersaing atau menggantikan peran puluhan partai politik. Pemilu 1955 dan adu kekuatan pelbagai partai politik berbeda ideologi mengakibatkan demokrasi di Indonesia mengalami guncangan. Indonesia rawan konflik, demokrasi bisa merapuhkan ambisi revolusi. Keberadaan ”golongan fungsional” dimaksudkan  mewujudkan cita-cita ”kolektivisme” dan ”asas kekeluargaan”.

Udar gagasan Soekarno perlahan berlanjut ke Soeharto dengan taktik mengurangi jejak dan dominasi penjelasan dari Soekarno. Keruntuhan rezim Orde Lama makin menguatkan kehendak Soeharto membuat ”repertoar politik” bereferensi diri: membesarkan peran dan pesona dalam kekuasaan. Sejak masa Soekarno, ”golongan fungsional” berganti ”golongan karya”. Soeharto memilih istilah ”golongan karya” untuk menguatkan posisi dan pengaruh.

Mendapat Opini

Soeharto besar dengan sokongan Sekretariat Bersama Golongan Karya. Pembuktian terjadi dalam Pemilu 1971: Sekber Golkar menang, mempecundangi pelbagai partai. Keberadaan Golongan Karya makin ada dalam dominasi Soeharto. Sejarah  mulai memunculkan nama Soeharto sebagai ikon Golkar. Kita pun mendapat opini, Golkar identik dengan birokrat dan militer. Golkar mengisahkan Orde Baru.

Sikap jemawa Soeharto saat bisa mengendalikan Golkar untuk memenangi Pemilu 1971 tersaji di buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989). Soeharto berkata,’’... marilah kita laksanakan pemilu itu dengan kesungguhan hati, dengan penuh rasa tanggung jawab kita semuanya, terutama untuk keselamatan bangsa dan negara’’.

Lanjutnya, ’’Kepada semua partai politik dan organisasi karya, saya serukan agar usaha-usaha dalam mengumpulkan dana, dalam kampanye, dan dalam pelaksanaan pemilu itu berjalan dengan bersih dan jujur. Sekali lagi, bersih dan jujur!’’ Seruan Soeharto idealistis tapi mengandung muslihat.

Semula, Soekarno dan Soeharto berharapan ada penguatan kekuasaan berdasar ”golongan fungsional” atau ”golongan karya”. Soekarno tak berhasil mewujudkan. Soeharto tampil sebagai ”pemenang” untuk membesarkan Golkar. Persamaan berubah ke perbedaan saat rezim Orde Baru memberlakukan keberadaan dua partai dan Golkar.

Imajinasi Soekarno di PDI dan ingatan tentang PNI berhadapan dengan Soeharto sebagai ikon Golkar. Perbedaan berlanjut ke pemilu-pemilu, usai keruntuhan rezim Orde Baru.

Sekarang, publik melihat ada adu imajinasi politik, bereferensi Soekarno dan Soeharto memunculkan perbedaan kubu politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar