Tak
Mudah Jadi Pemilih Cerdas
Didik G Suharto ; Dosen FISIP
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 09 April 2014
TIDAK
mudah untuk menjadi pemilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif pada 9
April ini. Bukan masalah teknis bagaimana masyarakat yang berhak memilih bisa
menyalurkan hak pilihnya melainkan bagaimana pemilih bisa menjatuhkan pilihan
mereka secara tepat kepada calon anggota legislatif (caleg) yang tepat pula.
Dalam
hal memfasilitasi masyarakat yang berhak memilih bisa ikut berpartisipasi
dalam pemilu, KPU boleh dikata sudah banyak berbuat. Dari mulai DPT yang
’’fleksibel’’ masih bisa disempurnakan paling lambat dua pekan sebelum
pencoblosan, hingga adanya kemudahan dan fasilitasi penggunaan hak pilih di
TPS lain dengan formulir model A-5 untuk mengantisipasi tingginya mobilitas
pemilih.
”Penyelamatan”
terhadap suara pemilih juga dilakukan melalui Peraturan KPU Nomor 26 Tahun
2013 yang mengatur keabsahan surat suara. Kriteria keabsahan surat suara
cukup longgar. Harapannya meminimalisasi surat suara tidak sah sehingga
masyarakat yang berhak memilih dihargai suaranya.
Semangat
KPU melindungi suara pemilih patut diapresiasi. Namun, ada persoalan lain
yang cukup merisaukan, yakni terkait ’’kualitas’’ pilihan pemilih. Di sinilah
letak kesulitan menjadi seorang pemilih. Tidak bermaksud underestimate terhadap pemilih, namun risiko ’’salah pilih’’
kepada caleg yang tidak tepat dalam pileg pada Rabu 9 April cukup besar.
Mengapa?
Tak Layak Dipilih
Realitas
menunjukkan bahwa tidak semua caleg layak untuk dipilih. Lebih dari 90%
incumbent di DPR kembali maju dalam Pileg 2014. Padahal catatan publik
mengenai kinerja atau rekam jejak perilaku negatif sejumlah anggota
legislatif lalu sudah cukup panjang.
Formappi
belum lama ini merilis hasil evaluasi kinerja anggota DPR periode 2009-2014
berdasar kepatuhan melaporkan harta kekayaannya ke KPK, kehadiran dan
keaktifan dalam sidang ataupun rapat komisi, serta kunjungan ke dapil pada
masa reses. Kesimpulannya, rata-rata kumulatif nilai rapor sebagian besar
anggota DPR, sangat buruk.
Sementara
di sisi lain, sejumlah caleg pendatang baru masih perlu dipertanyakan
kompetensi, komitmen, dan pengalaman mereka dalam memperjuangkan aspirasi
rakyat. Sungguh ironis andai misalnya posisi di lembaga legislatif dipandang
hanya sebuah pekerjaan, tempat mengisi waktu, atau bahkan sarana mencari
prestise dan materi semata.
Dari
perspektif tersebut, pemilih ibarat dihadapkan pada pilihan yang sama-sama
tidak mengenakkan. Memang, tidak dimungkiri dari sekitar 200 ribu caleg yang
berlaga di pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD, pasti masih ada calon
potensial alias layak dipilih.
Sayang,
caleg seperti itu biasanya justru memiliki modal materi terbatas dan kurang
dikenal masyarakat. Padahal, faktor materi dan keterkenalan (popularitas)
tersebut, setidak-tidaknya sampai detik ini, masih sangat memengaruhi kans
keterpilihan seorang caleg.
Mayoritas
pemilih masih cenderung bersifat pragmatis. Kepragmatisan mereka direspons
sejumlah caleg dengan strategi yang cenderung pragmatis pula. Ujung-ujungnya,
caleg seberkualitas apa pun akan sulit mendekati pemilih bila tak punya modal
materi dan popularitas memadai.
Bias Informasi
Sebenarnya,
kelompok penggerak demokrasi dan peduli pemilu berkualitas, serta terutama
KPU, mempunyai peran penting untuk meluruskan kondisi tersebut. Ajakan-ajakan
untuk mendorong pemilih supaya cerdas dan kritis menggunakan hak pilihnya
tampaknya sudah cukup sering dilakukan.
Langkah
yang dirasa masih sangat kurang adalah memberikan pemilih akses informasi
yang luas dan mudah untuk mengetahui seluruh caleg beserta rekam jejak (track record) mereka. Jangankan rekam
jejak, nama-nama caleg baru pun, bagi sebagian besar pemilih masih
membingungkan.
Saluran
informasi yang disediakan KPU, termasuk melalui website, sangat tidak cukup
memberikan referensi bagi pemilih, khususnya yang jauh dari sumber informasi.
Dampaknya, sangat besar kemungkinan terjadi bias informasi.
Caleg
yang mampu menguasai media atau mampu melakukan pendekatan ke pemilih secara
masif akan berpeluang hadir menjadi referensi pemilih di bilik TPS. Hal itu
terlepas dari caleg tersebut berkualitas atau tidak, dibanding caleg yang tak
memiliki modal untuk memperkenalkan diri ke pemilih.
Intinya,
pemilih dengan referensi terbatas sesungguhnya tidak punya banyak pilihan.
Pemilih tidak memiliki kemampuan maksimal untuk memilih caleg terbaik dari ”deretan nama caleg yang justru membuat
bingung”. Harapan agar pemilih menggunakan hak pilihnya secara cerdas
dengan memilih caleg berkualitas, tidak akan menemui hasil memuaskan jika
pemilih tidak leluasa mengetahui dan menyelami siapa dan apa saja yang sudah
atau akan diperbuat caleg tersebut.
Hal tersebut
merupakan persoalan mendasar yang secara signifikan berpengaruh terhadap kualitas
pilihan pemilih, yang berarti juga kualitas demokrasi (pemilu). Ini pekerjaan
rumah bagi pemilu sekarang dan mungkin pemilu-pemilu mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar