Politik
Uang di Hari Tenang
Paulus Mujiran ; Mantan Anggota Tim
Seleksi Panwaslu Provinsi Jawa Tengah
|
MEDIA
INDONESIA, 09 April 2014
“Politik
uang menjadi noda demokrasi karena merusak kultur pemilihan dalam masyarakat.
Lihat saja dari pemilihan kepala desa sampai presiden selalu ada uang.”
ISU politik uang selalu
menghantui dalam setiap event
pemilihan umum (pemilu). Tak terkecuali di hari tenang menjelang pemilu ini. Bahkan,
di pagi hari menjelang hari H pemilihan ditengarai politik uang kian gencar.
Politik uang merupakan wujud nyata pragmatisme politik dan penghalalan segala
cara mencapai tujuan. Sangat mungkin para kandidat yang berlaga dalam pemilu
melalui tim siluman, tim bayangan, melakukan politik uang. Politik uang mirip
kentut, meski nyata-nyata terjadi, susah dilacak.
Penyebaran uang lebih mudah
terjadi karena tidak selesainya tim bayangan pasangan yang berlaga dalam
pemilu. Tidak tampak dari para kandidat yang berlaga untuk membebaskan diri
dari jebakan uang. Hal ini sangat beralasan. Konstituen tidak terpengaruh
hanya dengan rayuan, bujukan, dan janji manis, tanpa selembar uang. Uang juga
telah menjadi modus baru persaingan antarkandidat. Para kontestan yang berlaga
sebenarnya tahu itu merupakan pelanggaran pemilu, tetapi sengaja dipilih
karena memberi peluang menang.
Di tengah ketatnya persaingan
antarkandidat, uang menjadi satu-satunya cara menarik simpati konstituen.
Belajar dari pemilu ke pemilu, politik uang berbau menyengat, tetapi tak
dapat dilacak. Pelaku politik uang kian mahir agar praktiknya tidak diketahui
publik. Modusnya pun beragam. Dari yang konvensional seperti membagi-bagi
bola dalam kampanye, sembako, pakaian, sarung, sampai mirip multilevel marketing
(MLM). Semuanya piawai mengakali aturan agar tidak terendus. Bukan rahasia
lagi mereka yang menjadi pemenang juga yang mengeluarkan uang dalam jumlah
besar.
Pada sisi lain, di kalangan
konstituen atau rakyat juga cenderung bersikap pragmatis. Mana yang memberi
lebih banyak dialah yang didukung. Kampanye agar menolak uang dan tidak
memilih orangnya tidaklah efektif. Bahkan, di lapisan akar rumput, yang
dinanti ialah gerilya tim siluman membagi-bagi uang. Dengan demikian, praktik
demokrasi langsung di era reformasi ini menyisakan banyak persoalan. Tidak
mengemuka adanya keteladanan elite politik mengedepankan kejujuran dalam
berpolitik. Politik uang mencerminkan ketidakdewasaan dalam berpolitik dan
berdemokrasi. Konyolnya, praktik ini memberi referensi buruk pada generasi
mendatang bahwa demokrasi dapat dibeli. Modus kapitalisme demokrasi elektoral
ini kian membahayakan.
Demokrasi langsung bukannya
mendidik rakyat kian jujur dalam berdemokrasi. De mokrasi langsung justru men
jerembapkan rakyat dalam jebakan-jebakan benda-benda material. Makin besar
uang yang dikeluarkan maka suara yang dapat dibeli juga semakin besar. Dalam
demokrasi langsung para pemilih sangat tergantung dengan figur dan citra.
Popularitas dan uang yang dikeluarkan seorang calon sangat menentukan be sar
kecilnya dukungan yang dapat diraih.
Menurut Harold dan Laswell dalam
buku The Structure and Function of
Communication in Society (1971), intisari demokrasi terbentuk karena
terdapat transaksi politik ketika rakyat menyerahkan mandat kepada partai atau
figur yang memang layak memimpin. Kriteria pemimpin pada masa Yunani ialah
takwa kepada Tuhan, memiliki ke mampuan memimpin, dapat dipercaya, dan
hidupnya tidak tercela. Baru beberapa abad kemudian, karena yang dipimpin
sering lebih pandai, agar tak merepotkan seorang pemimpin harus lebih pintar
daripada yang dipimpin.
Namun, dalam konteks In donesia,
transaksi diterje mahkan sebagai politik jual beli. Karena menjadi mandat
atau amanah, suara itu tidak dapat dibeli atau ditukar dengan uang. Jika
sebuah jabatan atau kekuasaan dibeli dengan uang, statusnya menjadi lebih
rendah. Oleh karena itu, O'neil Courtesy (1999) menyatakan demokrasi yang
ditukar dengan uang adalah pelacuran.
Pelawak Kirun menyindirnya `metune penak mbayare getun' (keluarnya enak, menyesal waktu membayar).
Politik uang menjadi noda demokrasi karena merusak kultur pemilihan dalam
masyarakat. Lihat saja dari pemilihan kepala desa sampai presiden selalu ada
uang. Meminjam Haryatmoko dalam buku Etika
Politik dan Kekuasaan (2003), politik uang dalam pemilu merupakan cedera
demokrasi karena rakyat tidak dihadapkan pada pilihan-pilihan objektif dan
rasional. Kepada rakyat telah dibelikan paket-paket yang mau tidak mau harus
dipilih.
Kepercayaan jauh lebih penting
ketimbang kekuasaan dan jabatan. Dengan begitu, politik uang potret hancurnya
etika demokrasi. Kekuasaan tanpa etika ialah semu. Kekuasaan semacam itu
tidak mampu mengubah keadaan bangsa, apalagi membawa kesejahter aan dan
kemaslahatan bagi umat. Kita berharap Badan Pengawas Pemilu berani bertindak
tegas terhadap praktik politik uang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar