Kamis, 10 April 2014

Politik Uang di Hari Tenang

Politik Uang di Hari Tenang

Paulus Mujiran  ;   Mantan Anggota Tim Seleksi Panwaslu Provinsi Jawa Tengah
MEDIA INDONESIA, 09 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
“Politik uang menjadi noda demokrasi karena merusak kultur pemilihan dalam masyarakat. Lihat saja dari pemilihan kepala desa sampai presiden selalu ada uang.”

ISU politik uang selalu menghantui dalam setiap event pemilihan umum (pemilu). Tak terkecuali di hari tenang menjelang pemilu ini. Bahkan, di pagi hari menjelang hari H pemilihan ditengarai politik uang kian gencar. Politik uang merupakan wujud nyata pragmatisme politik dan penghalalan segala cara mencapai tujuan. Sangat mungkin para kandidat yang berlaga dalam pemilu melalui tim siluman, tim bayangan, melakukan politik uang. Politik uang mirip kentut, meski nyata-nyata terjadi, susah dilacak.

Penyebaran uang lebih mudah terjadi karena tidak selesainya tim bayangan pasangan yang berlaga dalam pemilu. Tidak tampak dari para kandidat yang berlaga untuk membebaskan diri dari jebakan uang. Hal ini sangat beralasan. Konstituen tidak terpengaruh hanya dengan rayuan, bujukan, dan janji manis, tanpa selembar uang. Uang juga telah menjadi modus baru persaingan antarkandidat. Para kontestan yang berlaga sebenarnya tahu itu merupakan pelanggaran pemilu, tetapi sengaja dipilih karena memberi peluang menang.

Di tengah ketatnya persaingan antarkandidat, uang menjadi satu-satunya cara menarik simpati konstituen. Belajar dari pemilu ke pemilu, politik uang berbau menyengat, tetapi tak dapat dilacak. Pelaku politik uang kian mahir agar praktiknya tidak diketahui publik. Modusnya pun beragam. Dari yang konvensional seperti membagi-bagi bola dalam kampanye, sembako, pakaian, sarung, sampai mirip multilevel marketing (MLM). Semuanya piawai mengakali aturan agar tidak terendus. Bukan rahasia lagi mereka yang menjadi pemenang juga yang mengeluarkan uang dalam jumlah besar.

Pada sisi lain, di kalangan konstituen atau rakyat juga cenderung bersikap pragmatis. Mana yang memberi lebih banyak dialah yang didukung. Kampanye agar menolak uang dan tidak memilih orangnya tidaklah efektif. Bahkan, di lapisan akar rumput, yang dinanti ialah gerilya tim siluman membagi-bagi uang. Dengan demikian, praktik demokrasi langsung di era reformasi ini menyisakan banyak persoalan. Tidak mengemuka adanya keteladanan elite politik mengedepankan kejujuran dalam berpolitik. Politik uang mencerminkan ketidakdewasaan dalam berpolitik dan berdemokrasi. Konyolnya, praktik ini memberi referensi buruk pada generasi mendatang bahwa demokrasi dapat dibeli. Modus kapitalisme demokrasi elektoral ini kian membahayakan.

Demokrasi langsung bukannya mendidik rakyat kian jujur dalam berdemokrasi. De mokrasi langsung justru men jerembapkan rakyat dalam jebakan-jebakan benda-benda material. Makin besar uang yang dikeluarkan maka suara yang dapat dibeli juga semakin besar. Dalam demokrasi langsung para pemilih sangat tergantung dengan figur dan citra. Popularitas dan uang yang dikeluarkan seorang calon sangat menentukan be sar kecilnya dukungan yang dapat diraih.

Menurut Harold dan Laswell dalam buku The Structure and Function of Communication in Society (1971), intisari demokrasi terbentuk karena terdapat transaksi politik ketika rakyat menyerahkan mandat kepada partai atau figur yang memang layak memimpin. Kriteria pemimpin pada masa Yunani ialah takwa kepada Tuhan, memiliki ke mampuan memimpin, dapat dipercaya, dan hidupnya tidak tercela. Baru beberapa abad kemudian, karena yang dipimpin sering lebih pandai, agar tak merepotkan seorang pemimpin harus lebih pintar daripada yang dipimpin.

Namun, dalam konteks In donesia, transaksi diterje mahkan sebagai politik jual beli. Karena menjadi mandat atau amanah, suara itu tidak dapat dibeli atau ditukar dengan uang. Jika sebuah jabatan atau kekuasaan dibeli dengan uang, statusnya menjadi lebih rendah. Oleh karena itu, O'neil Courtesy (1999) menyatakan demokrasi yang ditukar dengan uang adalah pelacuran.

Pelawak Kirun menyindirnya `metune penak mbayare getun' (keluarnya enak, menyesal waktu membayar). Politik uang menjadi noda demokrasi karena merusak kultur pemilihan dalam masyarakat. Lihat saja dari pemilihan kepala desa sampai presiden selalu ada uang. Meminjam Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan (2003), politik uang dalam pemilu merupakan cedera demokrasi karena rakyat tidak dihadapkan pada pilihan-pilihan objektif dan rasional. Kepada rakyat telah dibelikan paket-paket yang mau tidak mau harus dipilih.

Kepercayaan jauh lebih penting ketimbang kekuasaan dan jabatan. Dengan begitu, politik uang potret hancurnya etika demokrasi. Kekuasaan tanpa etika ialah semu. Kekuasaan semacam itu tidak mampu mengubah keadaan bangsa, apalagi membawa kesejahter aan dan kemaslahatan bagi umat. Kita berharap Badan Pengawas Pemilu berani bertindak tegas terhadap praktik politik uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar