Tahun
Perubahan
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah
Perubahan
|
KORAN
SINDO, 10 April 2014
Sebagian
kita mungkin ingin menjadikan pemilu legislatif kali ini untuk menghukum
wakil-wakil rakyat yang selama tahun 2009–2014 tidak amanah, bahkan cenderung
destruktif. Caranya sederhana, tidak memilih kembali mereka.
Sayangnya
ternyata itu tidak mudah. Sampai dengan tulisan ini dibuat, dari
Boston-Amerika Serikat, saya masih menunggu media memublikasikan daftar nama
wakil rakyat yang rajin membolos dan menyimpan banyak masalah. Namun, daftar
yang saya tunggu-tunggu tak kunjung muncul. Tapi, sekali lagi, seandainya
daftar nama-nama tersebut dipampang oleh media-media kita, tampaknya kita
masih akan tetap kecewa. Mengapa? Sebab ternyata sekitar 90% wakil rakyat
yang ingin kita pilih kali ini adalah wajah-wajah lama. Istilahnya 4L atau Loe Lagi Loe Lagi.
Jadi, ke
depan sepertinya masih sulit menghadirkan perubahan dari jalur legislatif.
Tapi bukankah untuk menghadirkan perubahan tidak bisa dengan pesimisme? Kita
cari celah saja, siapa tahu beruntung. Saya melihat ini: masih ada 10% wajah-wajah baru. Selain itu, kelak presidennya
juga sudah pasti baru dan koalisinya hampir pasti benar-benar baru. Inilah sumber
harapan kita, lagi pula masih ada media sosial yang garang dan kamera CCTV
yang semakin banyak serta lembaga sekelas KPK yang kita kawal terus.
Kelompok 10%
Dalam
teori perubahan, kita mengenal formula 10-80-10. Artinya, untuk menggulirkan
perubahan, kita cukup menemukan 10% pendukung perubahan. Di antara 10% itu
selalu akan ada orang yang gelisah terhadap kemapanan dan benar-benar muak
dengan arus besar. Mereka bukan hanya mempertaruhkan reputasinya, melainkan
juga seluruh jiwa raganya. Jika mereka bekerja dengan baik, mayoritas dari
80% akan bisa terbawa.
Sementara
yang 10% sisanya (yang mungkin sering kita lihat bermulut besar di televisi)
memang sudah dari sananya akan selalu menolak perubahan dan akan tetap merasa
paling benar. Kita sebaiknya jangan menghabiskan terlalu banyak waktu untuk
memikirkan mereka. Persoalannya, bagaimana kita menemukan kelompok 10%
pendukung perubahan? Hampir botak kepala saya memikirkannya, tetapi biasanya
mereka baru muncul last minute
begitu mulai bekerja, bukan dari kertas yang kita baca.
Ceritanya
begini. Pertama, meski dalam tatanan politik kita mengenal parpol divisi
utama yang visioner dan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin hebat, tapi
memelototi nama-nama sangat melelahkan dan kurang efektif. Maklum, partai di
luar divisi utama mampu mengopi habis apa yang dikatakan divisi utama. Jadi
kita tak bakal menemukan perbedaan program yang signifikan di sana. Semua
nyaris mengusung program yang sama, berbicara pada tataran normatif. Pada isu
pemberantasan korupsi, misalnya, di sana kita tidak menemukan program yang
lebih detail.
Padahal,
saya berharap ada parpol yang secara tegas bakal memperjuangkan adanya Undang-Undang
(UU) tentang Pembatasan Transaksi Tunai, larangan praktik conflict of interest bagi anggota
legislatif, reformasi pendidikan, penataan subsidi, dan seterusnya. Artinya,
kalau kita ingin Indonesia benar-benar bersih, setiap transaksi di atas Rp50 juta
harus dilakukan melalui perbankan, tidak boleh tunai. UU ini bakal
mempersulit ulah para koruptor.
Kita
juga tak ingin anggota parlemen yang mengawasi industri migas mempunyai usaha
atau menjadi calo dalam bidang migas, menjadi anggota Komisi III yang
menangani hukum tetapi berpraktik sebagai pengacara atau menjadi calo
pengacara, menjadi anggota komisi yang menangani tenaga kerja tetapi punya
usaha ekspor TKI, dan seterusnya. Itu semua adalah konflik kepentingan yang
membelokkan kepentingan bangsa. Bahkan kita juga perlu partai yang selektif
memilih orang, apakah itu pendidikan atau karakternya.
Untuk
menghasilkan produk hukum yang baik dan mengawal dialog dengan eksekutif yang
berpendidikan, kita tak bisa menurunkan manusia-manusia yang hidupnya dikelilingi
perdukunan, mitos atau klenik. Kita butuh martabat dan pengetahuan. Belum
lagi meneruskan reformasi pendidikan, mengurangi ketimpangan ekonomi, dan
melakukan percepatan reformasi birokrasi. Wah, masih banyak agenda perubahan
yang butuh rencana detail dengan sasaran-sasaran yang jelas.
Di
Amerika Serikat, dengan cepat kita dapat menemukan perbedaan yang signifikan
antara Partai Republik dan Partai Demokrat. Partai Republik, misalnya,
dikenal dengan kebijakannya yang selalu mendukung para pemilik modal dan
orangorang kaya. Presiden dari Partai Republik akan selalu mengusung program
pengurangan pajak yang mendorong investasi dan kepentingan korporasi. Partai
Demokrat sebaliknya. Selalu mengusung program-program peningkatan pajak,
terutama dari orang-orang kaya.
Dana
pajak biasanya digunakan untuk memberi bantuan kepada orang-orang miskin,
meningkatkan anggaran pendidikan dan kesehatan, serta memberi jaminan bagi
pengangguran, dan persamaan hak atau program lain yang berpihak kepada
kelompok marginal. Di sini, kita belum menemukan perbedaan setajam itu dan
secara konsepsi masih tergantung pada tokoh karismatis yang kebetulan sedang
dipercaya menjadi pimpinan. Lalu, kalau relatif sama, mengapa kita memiliki
begitu banyak partai? Anda tahu bukan jawabannya: hasrat untuk berkuasa.
Kitalah Pelopor Perubahan
Setelah
gagal menemukan perbedaan program dari partai-partai politik, perhatian saya
belok ke para calon legislatif (caleg). Saya mulai dengan cara sederhana,
yakni meng-klik website Komisi Pemilihan Umum. Atau, jika Anda kesulitan,
ketik saja di Google dengan kata kunci: daftar caleg 2014 dengan daerah pemilihannya.
Misalnya, Jakarta, atau kalau saya adalah Kota Bekasi. Hanya lagi-lagi saya
kecewa. Di website hanya ada daftar nama-nama dari seluruh parpol, lengkap
dengan curriculum vitae-nya, tetapi
belum ada program yang diusung.
Saya
temui satu dua dari orang yang sudah kita kenal dari kicauan mereka di
Twitter, namun secara umum rakyat memang belum tahu apa yang mau mereka
lakukan jika terpilih. Bahkan saya sama sekali tak kenal dengan caleg yang
mewakili daerah pemilihan saya. Mereka tak pernah memperkenalkan diri atau
setidak-tidaknya berkunjung ke daerah pemilihannya kecuali dari banner-banner
murahan yang dipasang sembarangan di pinggir jalan. Jadi, kalau kita sulit
berharap dari mereka yang akan menjadi pelopor perubahan, kitalah yang harus
menjadi pelopor perubahan, bukan penonton pasif.
Kita
harus menjadi lebih cerewet. Kita perlu mengorganisasi diri agar menjadi
lebih powerful. Kita harus menjadi
lebih penuntut. Kitalah yang akan memaksa para caleg tersebut untuk lebih mau
memperjuangkan keinginan kita. Kita harus menjadi rakyat yang lebih bergigi
dan mandiri. Kitalah yang akan menjadi penentu nasib banyak orang, bukan para
caleg tersebut. Kitalah yang akan memaksa mereka bekerja untuk kita, bukan
sebaliknya. Sebab, kitalah yang membayar mereka.
Kalau
kita bosan dengan kondisi seperti sekarang ini, inilah saatnya menjadi
pelopor perubahan seperti yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa saya dalam social enterprise kami di Rumah
Perubahan. Inilah Tahun Perubahan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar