Integrasi
UN 2014-PT, Mungkinkah?
Sudaryanto ;
Dosen FKIP Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
|
HALUAN,
10 April 2014
Jika tak ada aral melintang, Ujian Nasional (UN) tingkat
SMA/SMK/MA akan dilaksanakan pada 14-16 April 2014 ini. Salah satu bentuk
“inovasi” dalam pelaksanaan UN SMA/SMK/MA kali ini ialah terintegrasinya
ujian tersebut dengan perguruan tinggi (PT). Hal ini sejalan dengan pemikiran
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan, Musliar Kasim.
Pertanyaannya kini, mungkinkah UN dapat diintegrasikan dengan PT? Mari kita
ulas!
Sebelum menjawab pertanyaan di
atas, mari kita pelajari betul-betul tiga komponen penting dalam setiap
ujian, yaitu tujuan ujian, bentuk soal ujian, dan evaluasi hasil ujian.
Tujuan pelaksanaan UN, yaitu mengukur kemampuan siswa dalam setiap mata
pelajaran yang diujikan. Dari segi persentase nilai, bobot nilai UN 2014 dan
UN 2013 tak jauh beda, yaitu 60 persen. Begitu pula dengan bobot nilai
sekolah (NS) UN 2014 dan UN 2013, sama-sama sebesar 40 persen.
Sementara itu, tujuan
pelaksanaan seleksi masuk PTN (baca: SNMPTN) ialah mengukur kemampuan calon
mahasiswa dengan jurusan atau program studi yang telah dipilihnya. Sebagai
contoh, ada seorang siswa lulusan SMA jurusan IPA yang memilih jurusan
Farmasi UGM dan Teknik Sipil UGM. Melalui SNMPTN, dia mengukur kemampuan
diri apakah sesuai atau tidak dengan dua pilihan tadi. Jika sesuai, ia pun
dapat masuk kuliah di antara dua pilihannya itu.
Bentuk Soal Ujian
Berikutnya, bentuk soal ujian.
Dalam UN SMA/MA, jamak kita ketahui bentuk soal berupa pilihan ganda (multiple choice). Peserta
ujian didorong untuk memilih satu jawaban yang benar di antara lima pilihan/opsi
jawaban yang tersedia. Selain itu, jumlah soal UN SMA/MA umumnya 50
butir soal, terkecuali mata pelajaran Matematika. Dari awal
pelaksanaan UN hingga kini, bentuk soal UN berupa pilihan ganda dan tak
pernah ditambah soal esai.
Sementara itu, bentuk soal SNMPTN
berupa “pilihan ganda bersyarat”. Saya sebut begitu, karena
setiap pilihan/opsi jawaban yang tersedia terkait adanya tahap berpikir
kritis dan logis. Dengan kata lain, peserta SNMPTN diajak untuk berpikir
kritis dan logis sebelum memilih jawaban yang dianggapnya benar. Hal itu
wajar, mengingat peserta SNMPTN merupakan calon mahasiswa yang semestinya
memiliki pola pikir kritis, logis, dan komprehensif.
Di sini, saya tidak mengatakan
bahwa soal UN SMA/MA tidak mengajarkan siswa SMA/MA untuk berpikir kritis
dan logis. Sekali lagi tidak! Sebab, tahap berpikir siswa SMA/MA sangat
berbeda dengan calon mahasiswa. Hemat saya, soal-soal UN SMA/MA lebih
menuntut kemampuan siswa dalam menyerap materi pelajaran yang diberikan
oleh guru di kelas. Sedangkan soal-soal SNMPTN lebih menuntut kemampuan
calon mahasiswa sesuai dengan jurusan pilihannya.
Selanjutnya, evaluasi
hasil ujian. Evaluasi hasil UN SMA/MA (juga UN SMP/MTs) sesungguhnya
diarahkan untuk memperbaiki mutu pembelajaran di kelas. Dalam
hal ini, subyek yang dikenai adanya perbaikan ialah guru mata
pelajaran yang diujikan. Misalnya, hasil UN Bahasa Indonesia di
sebuah SMA dinyatakan “kurang baik”, maka para guru Bahasa Indonesia mendapatkan
perhatian yang ekstra berupa pelatihan guru dan mutu pembelajaran.
Alih-alih perbaikan mutu
pembelajaran dilakukan, justru hal itu nyaris terlupakan oleh guru dan
pimpinan sekolah. Banyak guru lebih memilih diam, kendatipun hasil UN mata
pelajaran yang diampunya “kurang baik”. Setali tiga uang, pimpinan sekolah
juga menganggap evaluasi hasil UN kurang penting. Akibatnya bisa ditebak,
pembelajaran di kelas berlangsung layaknya sebuah rutinitas yang
menjenuhkan, baik siswa maupun guru.
Mengatasi hal itu, saya
mengusulkan beberapa hal. Pertama, guru seluruh mata pelajaran didorong untuk
mengembangkan diri, terutama dalam inovasi dan kreativitas pembelajaran, seperti
penelitian tindakan kelas (PTK). Kedua, guru seluruh mata pelajaran diajak
untuk mengikuti berbagai pelatihan mutu guru dan mutu pembelajaran, baik
yang diselenggarakan di sekolah maupun di luar sekolah, serta didorong untuk
studi lanjut ke program pascasarjana (S-2).
Catatan Penutup
Dari segi tujuan ujian, bentuk
soal ujian, hingga evaluasi akhir ujian seperti dikemukakan di atas, jelaslah
bahwa peluang integrasi UN 2014 tingkat SMA/MA dengan ujian masuk PT sangat
kecil. Hal itu wajar, mengingat, sekali lagi bahwa tujuan ujian, bentuk soal
ujian, dan evaluasi akhir ujian antara UN 2014 dan SNMPTN berbeda. Alangkah
baiknya jika pihak Kemendikbud dapat memahami perbedaan substansi keduanya,
dari tujuan ujian hingga evaluasi akhir ujian.
Sebagai catatan penutup, ada
tiga hal yang dapat dilakukan dalam waktu dekat ini. Pertama, seluruh pihak
dari Kemendikbud, Dinas Pendidikan, hingga guru dapat memaksimalkan
pelaksanaan UN 2014 tingkat SMA/MA yang tinggal sebulan lagi. Saya sependapat
dengan Plt Kepala Puspendik Kemendikbud Nizam bahwa seluruh pihak terkait
dengan UN harus bersikap jujur. Siswa, guru, tenaga pengawas UN, hingga
pihak Kemendikbud harus berlaku jujur dan terbuka.
Kedua, bagi guru mata pelajaran
yang diujikan didorong untuk berani mengevaluasi diri dan mutu pengajarannya
di kelas. Dengan cara begitu, guru pun akan terdorong untuk belajar.
Filosofinya sederhana: “guru yang layak mengajar ialah guru yang rajin
belajar.” Belajar tak harus dimaknai studi lanjut (S-2), tetapi bisa juga melalui
kegiatan membaca, berdiskusi, melakukan PTK, mengikuti pelatihan guru,
hingga merancang model pembelajaran yang menyenangkan.
Ketiga, bagi pimpinan sekolah
atau madrasah dapat melakukan pelbagai ikhtiar yang bervisi perbaikan mutu
pembelajaran dan kemampuan belajar siswa. Misalnya, memfasilitasi laboratorium,
perpustakaan sekolah, serta sumber-sumber belajar yang lengkap bagi guru.
Selain itu, dapat pula memberikan suntingan dana bagi guru yang rutin melaksanakan
PTK dan melahirkan model pembelajaran yang inovatif. Semoga hal-hal ini
dapat dilaksanakan dalam waktu dekat ini.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar