Demokrasi
Telur Dadar
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana
Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 10 April 2014
Orang
tua kita sering berkisah, dulu di zaman susah satu telur dibagi rata ke
piring anak-anak. Semua tetap kebagian. Caranya telur dipecah, dituang dalam
wadah, diaduk-aduk sedemikian rupa, dikasih garam secukupnya, dan digoreng.
Teknik
demikian dinamakan mendadar, bukan menceplok. Kalau diceplok, namanya telur
mata sapi, lebih eksklusif dengan bagian kuning telur yang kelihatan kontras
dominan. Berbeda dengan pemilu di Turki yang bernuansa telur ceplok, karena
dominannya Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), pemilu di Indonesia kali
ini bertajuk demokrasi telur dadar. Dari hitung cepat, kecuali PKPI dan PBB,
semua segmen partai terbuka (catch-all
parties) maupun partai Islam kebagian kursi di parlemen.
Namun,
itu artinya rekayasa penyederhanaan jumlah partai melalui penaikan persentase
ketentuan ambang batas elektoral tiga setengah persen tidaklah manjur. Kalau
Pemilu 2009 menghasilkan sembilan jumlah partai, kini malah sepuluh partai di
parlemen. Satu partai yang masuk itu Nasdem yang mengambil ceruk partai
terbuka. Kalau melihat angka-angka hitung cepat, perolehan suara partai
pimpinan Surya Paloh ini bukan dari Golkar, melainkan besar kemungkinan
terkait memudarnya Demokrat.
Faktor
lain, yang juga penting dicatat, karena PDIP yang sebelumnya diperkirakan
mampu menembus target di atas 27% suara nyatanya tidak demikian. Efek Jokowi
tidak masuk ke logika pemilu legislatif, kecuali yang cukup mengejutkan
justru efek Prabowo dalam kasus kenaikan suara Gerindra. Jokowi seperti anak
panah yang melesat, tetapi kurang tepat ke sasarannya. Hiruk-pikuk pemberitaannya
di media massa ternyata kurang sebanding dengan harapan bahwa dia bisa jadi
faktor pelipat ganda elektoral PDIP. Ini ujiannya yangpertamadalamkonstelasi
politik nasional yang kompetitif dan sensitif. PDIP harus menimbang betul
langkahlangkahnya ke depan.
Demitologi
Jokowi dalam arti rasionalisasi terhadap sosok fenomena lini, tentu cenderung
meningkat ke depan. Sementara itu, Gerindra rupanya memperoleh momentum lebih
baik. Tentu bukan sekadar heroisasi Prabowo yang dibuat untuk memperkuat ikon
politik partai bergambar kepala garuda ini persoalannya. Namun, Gerindra
terposisikan sebagai partai yang berbeda dengan Demokrat dan bersaing dengan
PDIP. Dari sini Gerindra tampak lebih kuat menunjukkan jati dirinya.
Konsolidasi partai ini juga mengalami kemajuan signifikan.
Namun,
ada apa dengan Golkar? Kenapa stagnan? Secara kelembagaan partai ini dikenal
kuat, kendatipun secara mesin politik belum tentu. Stagnannya Golkar bisa
dikaitkan dengan kurang adanya terobosan-terobosan politik yang fenomenal.
Faktor Aburizal Bakrie juga layak ditimbang. Aburizal terkesan tampak lebih
fokus ke pencapresannya. Tetapi tak seperti Prabowo, dia tidak menjadi efek
pengangkat. Kendatipun stagnan, posisi suara kedua membuat Golkar masih cukup
unik. Mungkin Golkar akan tetap mempertahankan Aburizal Bakrie sebagai
capres, tetapi tetap juga bisa masuk ke koalisi partai pemenang. Dari segmen
parpol-parpol Islam, yang tampak menonjol adalah PKB.
Ia mampu
mengambil kembali massa politik NU, kendatipun konsentrasi suaranya lebih di
Jawa Timur. Memang ada yang menduga bahwa Rhoma Irama cukup tokcer sebagai
penarik suara PKB, tetapi perluasan basis dukungannya masih banyak di sekitar
massa NU. Di sisi lain, PBB yang paling terpuruk dan PKS cukup bisa bertahan
di tengah isuisu yang tidak menguntungkan partainya. Dari segmen partai
Islam, pangsanya tampak tidak berubah, kecuali posisi urutannya saja. PPP dan
PAN juga masih bertahan. Semuanya masih di bawah dua digit persentase
suaranya.
What Next?
Di
tengah konstelasi demikian, kompetisi pilpres semakin ketat. Koalisi
antarpartai lah yang akan mengemuka. Pasangan capres-cawapres yang maju bisa
lebih dari dua, kemungkinan tiga. Dalam kondisi demikian, kekuatan capres
akan juga ditentukan oleh kekuatan sosok cawapres. Capres yang mengambil
model cawapres seperti Boediono, yang dalam Pilpres 2009 tampak sebagai
pelengkap Susilo Bambang Yudhoyono yang elektabilitasnya paling tinggi, akan
cukup berisiko. Idealnya, cawapres masing-masing ialah yang punya efek
menambah suara (vote getter), bukan
justru pengurang suara.
Saling
melengkapi kekurangan dan kelebihan pasangan capres-cawapres akan menentukan
kemenangan. Logika pilpres memang beda dengan pileg. Pileg sering dipandang
alat pelontar bagi munculnya pasangan capres. Tetapi melihat konstelasi
perolehan suara dalam pileg sedemikian, saya cenderung kurang begitu sepakat
dengan hal demikian. Pendukung partai tertentu dalam pileg tetap saja akan
mempertimbangkan ke mana dukungan suaranya akan diarahkan. Pertama kali
mereka akan berpikir untuk mengarahkan ke pasangan capres yang diajukan
partainya.
Kalau
tidak sreg alias tidak berkenan, baru beralih ke yang lain. Kalau logika ini
yang berjalan, preferensi partai tetap penting. Efek-efek perorangan atau
kekuatan tokoh akan diuji langsung. Apakah efek Jokowi memang akan efektif
kelak? Belum tentu, kalau pasangannya tidak mampu menarik dukungan suara dan
mampu mengelola stabilitas politik. Efek Prabowo bisa berbalik tidak efektif,
manakala ”salah memilih pasangan”.
Dalam konteks Aburizal Bakrie, andai saja tetap maju sebagai capres, juga
demikian. Siapa pasangan dia, tentu yang mampu menutup kelemahannya,
sekaligus punya efek pelipat ganda dukungan yang signifikan.
Demikianlah,
kita masih akan meraba-raba sejumlah kemungkinan. Tetapi dengan hasil hitung
cepat, bayangannya semakin jelas. Posisi partai-partai yang jelas, akan
menghadirkan analisis-analisis kemungkinan yang lebih masuk akal. Namun,
matematika politik itu beda dengan matematika biasa. Pasangan capres yang
diperkirakan kalah, tetap saja akan maju, dengan harapan ada perubahan
tiba-tiba yang membuatnya terpilih. Begitulah politik. Wallahu”lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar