Kamis, 17 April 2014

Semoga Terpilih Caleg Jujur

Semoga Terpilih Caleg Jujur

Marwan Mas  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SINAR HARAPAN, 15 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Kalau setelah pemilihan legislatif (pileg) para elite partai politik (parpol) sedang sibuk melakukan pendekatan untuk koalisi pencalonan presiden/wakil presiden, tetapi dalam tulisan ini akan menyelisik apakah calon anggota legislatif (caleg) yang terpilih betul-betul jujur. Tidak hanya itu, caleg juga harus berintegritas dan memiliki kompetensi untuk melaksanakan fungsi parlemen.

Idealnya Pileg 9 April 2014 tidak akan terpilih caleg “yang tidak layak untuk dipilih”. Betapa tidak, para aktivis demokrasi dan pengamat selalu mengingatkan rakyat yang punya hak pilih agar menggunakan rasionalitas dan hati nuraninya saat berada dalam ruang tempat pemungutan suara (TPS).

Malah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu mendengungkan agar memilih pemimpin yang jujur. Karena itu, sehari sebelum pencoblosan, gedung KPK dipasangi spanduk raksasa yang bertuliskan “pilih yang jujur”. Pada 26 Maret 2014, saya menjadi narasumber dalam seminar di Makassar yang diprakarsai KPK dengan tema “Pemilu Berintegritas 2014”.

Semuanya dimaksudkan untuk mengingatkan rakyat agar mampu memilih dan memilah “mana loyang dan mana emas” yang akan mewakili rakyat di legislatif. Tidak hanya itu, juga untuk memotivasi pemilih agar jumlah angka golongan putih (golput) menurun. Berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) oleh lembaga survei, jumlah golput kali ini menurun menjadi 24,7 persen dibanding pemilu 2009 sekitar 29,01 persen (49.677.076 orang).

Namun, begitu rumit menjadi pemilih cerdas. Bukan hanya karena soal teknis, melainkan begitu sulit menjatuhkan pilihan kepada parpol dan caleg yang tepat. Salah satu yang selalu digelorakan adalah jangan memilih parpol dan caleg yang gerah terhadap pemberantasan korupsi.

Realitas yang ada, lebih dari 90 persen caleg incumbent DPR kembali ikut berkompetisi. Padahal, rakyat mengetahui mereka itu tidak punya prestasi yang patut dibanggakan. Selain banyak yang terjerat kasus korupsi, mereka doyaan pesiar ke luar negeri. Mereka juga juga malas ikut rapat untuk membicarakan kebutuhan rakyat. Begitu pula caleg pendatang baru yang juga diragukan integritas, komitmen, dan kompetensinya melaksanakan fungsi parlemen.

Masih Ragu

Berdasarkan catatan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) yang dirilis pada Kamis (3/4), sekitar 61,3 persen anggota DPR mendapat rapor merah selama duduk sebagai wakil rakyat (Metrotvnews.com, Kamis 3/4). Mereka itu pula yang masih ikut jadi caleg untuk Pemilu 2014. Jadi, pemilih disuguhi caleg yang rendah integritas dan komitmennya memperjuangkan aspirasi rakyat.

Kita khawatir hasil quick count yang menempatkan tiga besar pengumpul suara terbanyak, yaitu PDIP, Partai Golkar, dan Partai Gerindra, justru akan terpilih caleg yang seharusnya tidak layak pilih. Tentu tidak boleh pesimistis sebelum melihat hasil penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU), terutama caleg yang akan menduduki kursi parlemen.

Namun melacak realitas yang ada, sangat wajar jika publik masih ragu lantaran ada sinyal kuat bahwa tidak sedikit yang hanya memburu pekerjaan di legislatif. Malah ada yang mencari prestise atau ingin menguatkan usahanya agar bisa berekspansi dengan menjadikan parlemen sebagai garansi.

Ada kesan pemilih dihadapkan pada pilihan yang serbatanggung, sama-sama tidak memberikan alternatif yang memadai. Kalau ada imbauan tidak golput dan harus cerdas memilih yang jujur, berintegritas, dan memiliki kompetensi, tentu sesuatu yang bermakna.

Dari sekitar 200.000 caleg yang tersebar untuk dipilih menjadi anggota DPR, DPD, dan DPRD, tentu ada yang sesuai kriteria publik, tetapi sangat sulit menemukannya. Apalagi kalau terlalu banyak uang kampanye yang dikeluarkan sehingga wajar jika publik ragu, apakah tidak akan korupsi setelah terpilih.

Kalau memilih berdasarkan hubungan keluarga karena kenalan, apalagi politik uang, parlemen ke depan tidak akan banyak berubah. Apalagi mayoritas pemilih juga cenderung pragmatis sehingga dimanfaatkan caleg yang punya modal dan pengalaman. Sementara itu, caleg yang punya reputasi baik dan layak untuk dipilih tidak mendapat kesempatan lantaran tidak memiliki modal kuat untuk sosialisasi dan mengampanyekan diri secara maksimal.

Memang yang dipilih rakyat bukan manusia dewa atau setengah dewa, melainkan sangat wajar jika rakyat berharap sesuatu yang lebih baik dibanding sebelumnya. Itu karena di tengah kekecewaan rakyat terhadap kinerja parlemen dan partai politik, kita tetap yakin masih ada caleg yang bisa memberikan harapan. Semoga pemilih menjatuhkan pilihan terhadap caleg yang bisa mengangkat harkat dan martabat bangsa.

Lepas dari Transisi

Para penggerak demokrasi dan peduli pemilu berkualitas selalu menggiring kita agar tidak golput. Terbukti berdasarkan hasil quick count, angka golput menurun dibandingkan pemilu sebelumnya. Semoga ajakan untuk mendorong rakyat agar memilih yang jujur dan berintegritas diapresiasi pemilih. Apalagi, rekam jejak (track record) caleg juga dibuka secara luas oleh para aktivis demokrasi sehingga banyak yang optimistis anggota parlemen hasil Pemilu 2014 akan jauh lebih baik.

Apa pun hasilnya, inilah momentum yang akan menentukan masa depan negeri ini lima tahun ke depan. Jika akhirnya masih terpilih orang-orang yang selama ini gemar memanfaatkan kewenangan dan kekuasaannya untuk kepentingan sendiri atau para pendatang baru tidak punya nyali untuk memperbaiki keadaan, buat apa memilih jika tidak akan ada harapan perubahan? Apalagi, jika ujung-ujungnya lebih memperparah kehidupan bernegara dengan menyuburkan praktik korupsi.

Referensi yang terbatas untuk memilih caleg terbaik dari deretan nama caleg yang meragukan integritas dan komptensinya juga bisa membuat pemilih kerepotan. Akibatnya, rakyat harus menunggu lima tahun lagi. Padahal, Pemilu 2014 menjadi momentum emas “untuk melepaskan diri dari transisi demokrasi”. Namun, semuanya sudah terlaksana, tinggal menunggu hasilnya. Apakah penetapan kursi oleh KPU betul-betul memberi harapan yang lebih baik.

Akan tetapi, satu hal yang harus dijaga adalah mengamankan hasil suara rakyat agar tidak dicuri di tengah jalan. Partisipasi pemilih yang mendatangi TPS harus dihormati dengan menjaga pilihannya. Berkaca pada pengalaman pemilu sebelumnya, perpindahan hasil penghitungan suara dari TPS ke kelurahan/desa (PPS), kecamatan (PPK), sampai KPU sangat rawan dimanipulasi.

Semua komponen harus menjaga suara rakyat, jangan sampai caleg yang tidak jujur dan tidak punya kompetensi yang duduk di kursi empuk lantaran mencuri suara. Pada gilirannya juga bisa memengaruhi efektivitas pemenuhan kehidupan rakyat yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar