Semoga
Terpilih Caleg Jujur
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
|
SINAR
HARAPAN, 15 April 2014
Kalau
setelah pemilihan legislatif (pileg) para elite partai politik (parpol)
sedang sibuk melakukan pendekatan untuk koalisi pencalonan presiden/wakil
presiden, tetapi dalam tulisan ini akan menyelisik apakah calon anggota
legislatif (caleg) yang terpilih betul-betul jujur. Tidak hanya itu, caleg
juga harus berintegritas dan memiliki kompetensi untuk melaksanakan fungsi
parlemen.
Idealnya
Pileg 9 April 2014 tidak akan terpilih caleg “yang tidak layak untuk
dipilih”. Betapa tidak, para aktivis demokrasi dan pengamat selalu
mengingatkan rakyat yang punya hak pilih agar menggunakan rasionalitas dan
hati nuraninya saat berada dalam ruang tempat pemungutan suara (TPS).
Malah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu mendengungkan agar memilih pemimpin
yang jujur. Karena itu, sehari sebelum pencoblosan, gedung KPK dipasangi
spanduk raksasa yang bertuliskan “pilih yang jujur”. Pada 26 Maret 2014, saya
menjadi narasumber dalam seminar di Makassar yang diprakarsai KPK dengan tema
“Pemilu Berintegritas 2014”.
Semuanya
dimaksudkan untuk mengingatkan rakyat agar mampu memilih dan memilah “mana
loyang dan mana emas” yang akan mewakili rakyat di legislatif. Tidak hanya
itu, juga untuk memotivasi pemilih agar jumlah angka golongan putih (golput)
menurun. Berdasarkan hasil hitung cepat (quick
count) oleh lembaga survei, jumlah golput kali ini menurun menjadi 24,7
persen dibanding pemilu 2009 sekitar 29,01 persen (49.677.076 orang).
Namun,
begitu rumit menjadi pemilih cerdas. Bukan hanya karena soal teknis,
melainkan begitu sulit menjatuhkan pilihan kepada parpol dan caleg yang
tepat. Salah satu yang selalu digelorakan adalah jangan memilih parpol dan
caleg yang gerah terhadap pemberantasan korupsi.
Realitas
yang ada, lebih dari 90 persen caleg incumbent DPR kembali ikut berkompetisi.
Padahal, rakyat mengetahui mereka itu tidak punya prestasi yang patut
dibanggakan. Selain banyak yang terjerat kasus korupsi, mereka doyaan pesiar
ke luar negeri. Mereka juga juga malas ikut rapat untuk membicarakan
kebutuhan rakyat. Begitu pula caleg pendatang baru yang juga diragukan
integritas, komitmen, dan kompetensinya melaksanakan fungsi parlemen.
Masih Ragu
Berdasarkan
catatan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) yang dirilis
pada Kamis (3/4), sekitar 61,3 persen anggota DPR mendapat rapor merah selama
duduk sebagai wakil rakyat (Metrotvnews.com, Kamis 3/4). Mereka itu pula yang
masih ikut jadi caleg untuk Pemilu 2014. Jadi, pemilih disuguhi caleg yang
rendah integritas dan komitmennya memperjuangkan aspirasi rakyat.
Kita
khawatir hasil quick count yang menempatkan tiga besar pengumpul suara
terbanyak, yaitu PDIP, Partai Golkar, dan Partai Gerindra, justru akan
terpilih caleg yang seharusnya tidak layak pilih. Tentu tidak boleh
pesimistis sebelum melihat hasil penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum
(KPU), terutama caleg yang akan menduduki kursi parlemen.
Namun
melacak realitas yang ada, sangat wajar jika publik masih ragu lantaran ada
sinyal kuat bahwa tidak sedikit yang hanya memburu pekerjaan di legislatif.
Malah ada yang mencari prestise atau ingin menguatkan usahanya agar bisa
berekspansi dengan menjadikan parlemen sebagai garansi.
Ada
kesan pemilih dihadapkan pada pilihan yang serbatanggung, sama-sama tidak
memberikan alternatif yang memadai. Kalau ada imbauan tidak golput dan harus
cerdas memilih yang jujur, berintegritas, dan memiliki kompetensi, tentu
sesuatu yang bermakna.
Dari
sekitar 200.000 caleg yang tersebar untuk dipilih menjadi anggota DPR, DPD,
dan DPRD, tentu ada yang sesuai kriteria publik, tetapi sangat sulit
menemukannya. Apalagi kalau terlalu banyak uang kampanye yang dikeluarkan
sehingga wajar jika publik ragu, apakah tidak akan korupsi setelah terpilih.
Kalau
memilih berdasarkan hubungan keluarga karena kenalan, apalagi politik uang,
parlemen ke depan tidak akan banyak berubah. Apalagi mayoritas pemilih juga
cenderung pragmatis sehingga dimanfaatkan caleg yang punya modal dan
pengalaman. Sementara itu, caleg yang punya reputasi baik dan layak untuk
dipilih tidak mendapat kesempatan lantaran tidak memiliki modal kuat untuk
sosialisasi dan mengampanyekan diri secara maksimal.
Memang
yang dipilih rakyat bukan manusia dewa atau setengah dewa, melainkan sangat
wajar jika rakyat berharap sesuatu yang lebih baik dibanding sebelumnya. Itu
karena di tengah kekecewaan rakyat terhadap kinerja parlemen dan partai
politik, kita tetap yakin masih ada caleg yang bisa memberikan harapan.
Semoga pemilih menjatuhkan pilihan terhadap caleg yang bisa mengangkat harkat
dan martabat bangsa.
Lepas dari Transisi
Para
penggerak demokrasi dan peduli pemilu berkualitas selalu menggiring kita agar
tidak golput. Terbukti berdasarkan hasil quick count, angka golput menurun
dibandingkan pemilu sebelumnya. Semoga ajakan untuk mendorong rakyat agar
memilih yang jujur dan berintegritas diapresiasi pemilih. Apalagi, rekam
jejak (track record) caleg juga
dibuka secara luas oleh para aktivis demokrasi sehingga banyak yang
optimistis anggota parlemen hasil Pemilu 2014 akan jauh lebih baik.
Apa pun
hasilnya, inilah momentum yang akan menentukan masa depan negeri ini lima
tahun ke depan. Jika akhirnya masih terpilih orang-orang yang selama ini
gemar memanfaatkan kewenangan dan kekuasaannya untuk kepentingan sendiri atau
para pendatang baru tidak punya nyali untuk memperbaiki keadaan, buat apa
memilih jika tidak akan ada harapan perubahan? Apalagi, jika ujung-ujungnya
lebih memperparah kehidupan bernegara dengan menyuburkan praktik korupsi.
Referensi
yang terbatas untuk memilih caleg terbaik dari deretan nama caleg yang
meragukan integritas dan komptensinya juga bisa membuat pemilih kerepotan.
Akibatnya, rakyat harus menunggu lima tahun lagi. Padahal, Pemilu 2014
menjadi momentum emas “untuk melepaskan diri dari transisi demokrasi”. Namun,
semuanya sudah terlaksana, tinggal menunggu hasilnya. Apakah penetapan kursi
oleh KPU betul-betul memberi harapan yang lebih baik.
Akan
tetapi, satu hal yang harus dijaga adalah mengamankan hasil suara rakyat agar
tidak dicuri di tengah jalan. Partisipasi pemilih yang mendatangi TPS harus
dihormati dengan menjaga pilihannya. Berkaca pada pengalaman pemilu
sebelumnya, perpindahan hasil penghitungan suara dari TPS ke kelurahan/desa
(PPS), kecamatan (PPK), sampai KPU sangat rawan dimanipulasi.
Semua
komponen harus menjaga suara rakyat, jangan sampai caleg yang tidak jujur dan
tidak punya kompetensi yang duduk di kursi empuk lantaran mencuri suara. Pada
gilirannya juga bisa memengaruhi efektivitas pemenuhan kehidupan rakyat yang
lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar