Ilmu
Bejo
Parni Hadi ; Wartawan, Pendiri Dompet Dhuafa Republika
|
SINAR
HARAPAN, 15 April 2014
Rabu, 9
April lalu, adalah hari pencoblosan untuk anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kota/kabupaten. Namanya juga pemilihan umum, pasti ada yang terpilih
alias menang, ada pula yang kalah. Itu biasa. Untuk mereka yang kalah
dan/atau keluarganya, ilmu “bejo” ini saya sajikan. Tujuannya menghindari
stres, depresi, dan mungkin gila.
“Bejo”
itu artinya beruntung. Setiap orang pada dasarnya memang maunya menang
sendiri, ingin yang serbaenak. Misalnya, terlahir sehat, rupawan, pandai,
kaya, beristri cantik atau suami ganteng, berkuasa, terkenal, dan bahagia.
Ada lagi keinginan yang kedengarannya “gila”, muda foya-foya, dewasa kaya
raya, tua bahagia, mati masuk surga.
Semua
hal yang bagus-bagus itu menjadi tujuan setiap orang. Namun, tidak ada atau
hampir tidak ada orang yang dapat memperoleh semuanya itu; sehat, rupawan,
pandai, kaya, beristri cantik atau bersuami ganteng, berkuasa, terkenal, dan
bahagia. Orang bilang, tidak ada kebahagiaan yang sempurna. Selalu ada
kekurangannya. Demilkian pula sebaliknya, tidak ada penderitaan yang absolut.
Selalu masih ada sesuatu untuk disyukuri.
Oleh
karena itu, paling enak adalah menjadi orang “bejo” atau beruntung. Misalnya,
boleh tidak rupawan, tapi istrinya cantik. Boleh tidak pandai, tapi
jabatannya tinggi. Boleh tidak kaya, tapi terkenal. Boleh tidak berkuasa,
tapi selamat. Itu bisa dicapai jika orang memiliki dan mengamalkan ilmu
“bejo” atau kawruh bejo alias pengetahuan untuk selalu merasa beruntung,
bersyukur, dan bahagia dalam keadaan apa pun.
Ilmu ini
diperkenalkan oleh Ki Ageng Suryomentaram (KAS) (20 Mei 1892-18 Maret 1962),
bangsawan Keraton Yogyakarta, Putera Sultan Hamengkubuwono VII. Ia terlahir
dengan nama BRM (Bandoro Raden Mas) Kudiarmadi. Pada usia 18 tahun, ia
diangkat menjadi pangeran dengan gelar Pangeran Haryo Suryomentaram.
Merasa
tidak puas dengan kehidupan di keraton, ia memutuskan meninggakan kemewahan
istana dan memilih hidup sebagai orang biasa di desa. Mula-mula ke Cilacap,
menjadi pedagang kain batik dengan nama Notodongso. Ketika dicari untuk
dipanggil pulang ke keraton, ia ditemukan sedang bekerja menggali sumur di
Kroya, Banyumas. Kembali ke keraton, ia banyak membaca dan belajar sejarah,
filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Ia tetap belum puas dengan apa yang telah
dipelajarinya.
Kemudian,
ia memutuskan untuk meninggalkan istana dan menetap di desa Bringin, utara
Salatiga. Di sini ia dikenal sebagai Ki Gede Bringin atau Ki Gede
Suryomentaram dan mulai mengadakan sarasehan tentang ilmu jiwa dan
spiritualitas. Kawruh bejo adalah satu dari sejumlah risalah yang
diceramahkannya. Risalah-risalah itu kemudian dibukukan. Antara lain ada yang
berjudul Kawruh Pangawikan Pribadi (Ilmu Meneliti Diri Sendiri).
Apa yang
dilakukan KAS seperti Pangeran Sidharta Gautama yang meninggalkan istana untuk
mencari kebenaran, ketika menemukannya ia menjadi Buddha.
“Mulur-mungkret”
Satu hal
yang patut disimak agar kita tetap merasa hidup bahagia adalah filsafat
mulur-mungkret atau “memanjang-memendek”. Maksudnya, seperti yang tertera di
awal tulisan ini, adalah orang itu ingin mendapatkan semuanya. Kalau tercapai
semuanya, ia pikir akan merasa bahagia dan kalau tidak akan merasa kecewa.
Untuk
itu, KAS menganjurkan agar orang itu meneliti dan mengenali gerak-gerik
keinginan atau egonya, yang disebutnya sebagai Kromodongso. Jika dituruti,
Kromodongso tidak ada habisnya. Padahal, orang bisa tetap merasa bahagia,
walau tidak dapat mencapai seluruh keinginannya.
Sebagai
contoh, KAS menyebut seorang pemuda yang ingin menikah. Ia mau mendapat istri
ideal, yakni cantik, masih perawan, pandai, kaya, dan setia. Ia ingin
memperoleh kelimanya dan berharap akan bahagia. Padahal, ia dapat juga merasa
bahagia jika mau mungkret.
Misalnya,
tidak cantik tidak apa-apa, asal masih perawan. Tidak cantik tidak mengapa,
asal pandai. Kalaupun tidak pandai tak mengapa, asal kaya. Tidak kaya pun tak
mengapa, asal setia. Terakhir tidak setia pun tak mengapa, asal perempuan.
Pasti ia memperoleh istri dan bisa juga bahagia.
Mulur
artinya terus-menerus memanjang daftar keinginannya. Misalnya, kalau sudah
mendapat satu, ingin dua dan seterusnya. Orang juga dianjurkan selalu merasa
beruntung. Misalnya, rumahnya kebanjiran setinggi mata kaki, orang masih bisa
bilang untung belum sepinggang. Kalaupun sepinggang, untung belum tenggelam.
Jika tenggelam, untung masih hidup.
Hidup
ini sebentar senang, sebentar susah, begitu terus-menerus. KAS menganjurkan
tidak ada sesuatu yang harus dipertahankan mati-matian. Anjuran ini mirip apa
yang disampaikan Kahlil Gibran, penyair terkenal asal Lebanon yang
mengatakan, jika senang sedang bersama kita, susah sudah menunggu di luar
pintu, menunggu giliran untuk masuk. Begitu seterusnya.
Telitilah
gerak-gerik keinginanmu agar terbebas dari belenggu rasa senang dan susah
atau ketidakmelekatan dengan sesuatu. Jadi, kalau tidak terpilih menjadi
anggota parlemen, Anda tetap bisa menjadi orang “bejo”, karena masih ada
banyak sekali yang harus disyukuri. Misalnya, istri cantik, pandai, dan kaya
tetap setia menemani Anda. Allah mengingatkan berkali-kali dalam Ar Rahmaan, “Maka nikmat mana lagi yang kamu
dustakan?” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar