Kamis, 17 April 2014

Ilmu Bejo

Ilmu Bejo

Parni Hadi  ;   Wartawan, Pendiri Dompet Dhuafa Republika
SINAR HARAPAN, 15 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Rabu, 9 April lalu, adalah hari pencoblosan untuk anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kota/kabupaten. Namanya juga pemilihan umum, pasti ada yang terpilih alias menang, ada pula yang kalah. Itu biasa. Untuk mereka yang kalah dan/atau keluarganya, ilmu “bejo” ini saya sajikan. Tujuannya menghindari stres, depresi, dan mungkin gila.

“Bejo” itu artinya beruntung. Setiap orang pada dasarnya memang maunya menang sendiri, ingin yang serbaenak. Misalnya, terlahir sehat, rupawan, pandai, kaya, beristri cantik atau suami ganteng, berkuasa, terkenal, dan bahagia. Ada lagi keinginan yang kedengarannya “gila”, muda foya-foya, dewasa kaya raya, tua bahagia, mati masuk surga.

Semua hal yang bagus-bagus itu menjadi tujuan setiap orang. Namun, tidak ada atau hampir tidak ada orang yang dapat memperoleh semuanya itu; sehat, rupawan, pandai, kaya, beristri cantik atau bersuami ganteng, berkuasa, terkenal, dan bahagia. Orang bilang, tidak ada kebahagiaan yang sempurna. Selalu ada kekurangannya. Demilkian pula sebaliknya, tidak ada penderitaan yang absolut. Selalu masih ada sesuatu untuk disyukuri.

Oleh karena itu, paling enak adalah menjadi orang “bejo” atau beruntung. Misalnya, boleh tidak rupawan, tapi istrinya cantik. Boleh tidak pandai, tapi jabatannya tinggi. Boleh tidak kaya, tapi terkenal. Boleh tidak berkuasa, tapi selamat. Itu bisa dicapai jika orang memiliki dan mengamalkan ilmu “bejo” atau kawruh bejo alias pengetahuan untuk selalu merasa beruntung, bersyukur, dan bahagia dalam keadaan apa pun.

Ilmu ini diperkenalkan oleh Ki Ageng Suryomentaram (KAS) (20 Mei 1892-18 Maret 1962), bangsawan Keraton Yogyakarta, Putera Sultan Hamengkubuwono VII. Ia terlahir dengan nama BRM (Bandoro Raden Mas) Kudiarmadi. Pada usia 18 tahun, ia diangkat menjadi pangeran dengan gelar Pangeran Haryo Suryomentaram.

Merasa tidak puas dengan kehidupan di keraton, ia memutuskan meninggakan kemewahan istana dan memilih hidup sebagai orang biasa di desa. Mula-mula ke Cilacap, menjadi pedagang kain batik dengan nama Notodongso. Ketika dicari untuk dipanggil pulang ke keraton, ia ditemukan sedang bekerja menggali sumur di Kroya, Banyumas. Kembali ke keraton, ia banyak membaca dan belajar sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Ia tetap belum puas dengan apa yang telah dipelajarinya.

Kemudian, ia memutuskan untuk meninggalkan istana dan menetap di desa Bringin, utara Salatiga. Di sini ia dikenal sebagai Ki Gede Bringin atau Ki Gede Suryomentaram dan mulai mengadakan sarasehan tentang ilmu jiwa dan spiritualitas. Kawruh bejo adalah satu dari sejumlah risalah yang diceramahkannya. Risalah-risalah itu kemudian dibukukan. Antara lain ada yang berjudul Kawruh Pangawikan Pribadi (Ilmu Meneliti Diri Sendiri).

Apa yang dilakukan KAS seperti Pangeran Sidharta Gautama yang meninggalkan istana untuk mencari kebenaran, ketika menemukannya ia menjadi Buddha.

“Mulur-mungkret”

Satu hal yang patut disimak agar kita tetap merasa hidup bahagia adalah filsafat mulur-mungkret atau “memanjang-memendek”. Maksudnya, seperti yang tertera di awal tulisan ini, adalah orang itu ingin mendapatkan semuanya. Kalau tercapai semuanya, ia pikir akan merasa bahagia dan kalau tidak akan merasa kecewa.

Untuk itu, KAS menganjurkan agar orang itu meneliti dan mengenali gerak-gerik keinginan atau egonya, yang disebutnya sebagai Kromodongso. Jika dituruti, Kromodongso tidak ada habisnya. Padahal, orang bisa tetap merasa bahagia, walau tidak dapat mencapai seluruh keinginannya.

Sebagai contoh, KAS menyebut seorang pemuda yang ingin menikah. Ia mau mendapat istri ideal, yakni cantik, masih perawan, pandai, kaya, dan setia. Ia ingin memperoleh kelimanya dan berharap akan bahagia. Padahal, ia dapat juga merasa bahagia jika mau mungkret.

Misalnya, tidak cantik tidak apa-apa, asal masih perawan. Tidak cantik tidak mengapa, asal pandai. Kalaupun tidak pandai tak mengapa, asal kaya. Tidak kaya pun tak mengapa, asal setia. Terakhir tidak setia pun tak mengapa, asal perempuan. Pasti ia memperoleh istri dan bisa juga bahagia.

Mulur artinya terus-menerus memanjang daftar keinginannya. Misalnya, kalau sudah mendapat satu, ingin dua dan seterusnya. Orang juga dianjurkan selalu merasa beruntung. Misalnya, rumahnya kebanjiran setinggi mata kaki, orang masih bisa bilang untung belum sepinggang. Kalaupun sepinggang, untung belum tenggelam. Jika tenggelam, untung masih hidup.

Hidup ini sebentar senang, sebentar susah, begitu terus-menerus. KAS menganjurkan tidak ada sesuatu yang harus dipertahankan mati-matian. Anjuran ini mirip apa yang disampaikan Kahlil Gibran, penyair terkenal asal Lebanon yang mengatakan, jika senang sedang bersama kita, susah sudah menunggu di luar pintu, menunggu giliran untuk masuk. Begitu seterusnya.

Telitilah gerak-gerik keinginanmu agar terbebas dari belenggu rasa senang dan susah atau ketidakmelekatan dengan sesuatu. Jadi, kalau tidak terpilih menjadi anggota parlemen, Anda tetap bisa menjadi orang “bejo”, karena masih ada banyak sekali yang harus disyukuri. Misalnya, istri cantik, pandai, dan kaya tetap setia menemani Anda. Allah mengingatkan berkali-kali dalam Ar Rahmaan, “Maka nikmat mana lagi yang kamu dustakan?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar