Merajut
Indonesia Baru
Ivan A Hadar ; Direktur Institute for Democracy Education (IDE,)
Koordinator target MDG (2007-2010)
|
SINAR
HARAPAN, 15 April 2014
Menurut
hitungan cepat Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014, tak ada partai yang bisa
mengusung calon presidennya sendiri tanpa berkoalisi dengan partai lain.
Melegakan bahwa Jokowi yang diusung partai
pemenang sebagai calon presiden (capres), tidak menginginkan koalisi yang
bersifat sekadar “berbagi jatah”. Menurutnya, diperlukan musyawarah dalam
mencari platform yang sama untuk membangun bangsa. Pesaing terkuatnya,
Prabowo, dengan delapan program bernuansa “kedaulatan” (rakyat), juga
diharapkan akan mengambil sikap yang sama.
Bila ini
benar terjadi, bisa menjadi pertanda dimulainya sebuah era baru ketika
koalisi politik bukan sekadar hitung-hitungan kekuasaan tanpa memedulikan
perlunya kesamaan program yang mengacu pada platform atau ideologi yang
dianut. Dampaknya, sebuah pemerintahan bakal sulit untuk fokus terhadap apa
yang dijanjikan kepada konstituennya. Lebih parah lagi, persoalan bangsa
menjadi hal yang sekunder.
Satu hal
lagi yang menjadi permasalahan adalah bandul politik Indonesia yang masih
bergantung pada figur atau sosok, bukan program. Dengan demikian,
penyelenggaraan negara tidak diasumsikan sebagai mekanisme sistemik dan
impersonal, tetapi lebih sebagai perpanjangan kemampuan personal seorang
pemimpin.
Dalam
kaitan ini, lagi-lagi kita berharap presiden terpilih yang memiliki dukungan
mayoritas agar berupaya membangun sistem (birokrasi, demokrasi, dan negara
kesejahteraan) yang berfungsi baik. Jadi, ke depan bangsa ini tidak lagi
terlalu bergantung pada figur pemimpin sejenis “ratu adil” yang selalu dirindukan
kedatangannya karena buruknya sistem yang ada.
Dalam
membangun sistem, terdapat beberapa tantangan besar yang berkaitan langsung
dengan kecenderungan berupa merebaknya liberalisasi ekonomi, yang dalam
beberapa bidang telah menyebabkan lumpuhnya fungsi negara sebagai penyedia
kesejahteraan dan pusat pelayanan publik. Dalam bentuknya yang paling buruk,
negara bahkan ditengarai telah menjadi fasilitator kepentingan
“neokolonialisme” asing.
Merajut
Indonesia baru yang berdaulat, berkaitan erat dengan reorientasi
ekonomi-politik Indonesia, tentu saja merupakan pekerjaan besar yang harus
dipikul seluruh kekuatan bangsa. Untuk itu, dibutuhkan peta jalan dengan
berbagai sasaran antara yang ingin dicapai. Sebagai pendekatan tematik,
setidaknya perlu diprioritaskan enam sektor berikut, yaitu pangan dan
pertanian, energi, usaha mikro dan kecil, pendidikan, kesehatan, serta
ketenagakerjaan.
Isu
ketahanan pangan, yakni kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga
dengan mutu dan jumlah yang aman, merata, dan terjangkau, seperti tercantum
dalam UU No. 7/1996 tentang pangan, adalah bagian dari isu kedaulatan pangan.
Selama rezim Orde Baru, pendekatan pengembangan sektor pertanian mengikuti
“Revolusi Hijau” yang berbasiskan pupuk dan pestisida kimia, bibit hibrida,
serta teknik budi daya monokultur, telah menimbulkan banyak masalah.
Selama ini, pada era Reformasi persoalan
ketergantungan input produksi dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya
bukannya belum teratasi, melainkan kebijakan sektor pertanian kita menjadi
semakin jauh untuk melayani kepentingan industri besar dan pemilik modal.
Dampaknya,
Indonesia masuk ke food trap negara
maju dan kapitalisme global. Selain beras, tujuh komoditas utama nonberas
yang dikonsumsi masyarakat sangat bergantung pada impor. Padahal, sejak lima
tahun terakhir, terjadi lonjakan harga pangan dan komoditas pertanian
lainnya. Selain hancurnya kedaulatan pangan, telah terjadi penurunan
ketahanan pangan dengan indikasi yang mengenaskan. Hal ini seperti
meningkatnya kasus gizi buruk serta kematian balita dan ibu melahirkan.
Ironisnya, nyaris separuh dari mereka yang rawan pangan berasal dari keluarga
petani gurem.
Ketergantungan
lainnya berkaitan dengan energi, khususnya energi fosil. Harga minyak bumi
yang terus melambung, penggunaan energi yang boros, subsidi BBM dan listrik
yang masih berlanjut, pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan energi yang
terus meningkat, merupakan permasalahan energi nasional yang tak kunjung
selesai.
Data
dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan lebih dari
separuh kebutuhan energi Indonesia dipenuhi dari minyak bumi. Saat ini,
Indonesia memiliki cadangan total minyak bumi, yang meliputi cadangan
terbukti dan cadangan potensial sekitar 10 miliar barel. Jika tingkat
produksi minyak rata-rata 450 juta barel per tahun, cadangan minyak kita akan
kering dalam 20 tahun.
Dengan
demikian, perlu upaya untuk mengembangkan sumber energi terbarukan (mikro
hidro, biomassa, biogas, gambut, energi matahari, arus laut, dan tenaga
angin). Jadi, di masa mendatang Indonesia tidak akan kekurangan pasokan
energi. Menurut catatan Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala
BPPT, negara ini setidaknya memiliki 62 jenis tumbuhan penghasil minyak untuk
energi.
Energi
dari panas bumi dan tenaga air juga memiliki potensi yang besar, tapi belum
dimanfaatkan dengan baik. Energi listrik mikro hidro, khususnya, sangat
potensial dikembangkan sampai ke desa-desa sebagai satu teknologi tepat guna
yang murah, sederhana, dan ramah lingkungan. Begitu pula dengan energi surya
yang berlimpah di seluruh Indonesia. Semua itu menjadi modal bagi Indonesia
untuk mencari dan menemukan optimalisasi pemanfaatan sumber energi terbarukan
tersebut.
Bagaimana
dengan perdagangan? Ternyata, porsi sektor informal dalam kegiatan
perdagangan di Indonesia mencapai di atas 95 persen. Usaha mikro dan kecil
(UMK) memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif, terutama dalam
pemanfaatan sumber daya alam. Sektor tersier UMK, yaitu perdagangan,
pariwisata, dan industri boga dengan investasi yang sama mampu menyerap
tenaga kerja yang jauh lebih besar dibandingkan usaha menengah dan besar.
Permasalahan
lainnya berkaitan dengan ketenagakerjaan adalah tingginya jumlah
pengangguran, minimnya perlindungan hukum, upah yang kurang layak, dan
rendahnya pendidikan buruh. Data menunjukkan, lebih dari 75 persen pekerja
Indonesia berpendidikan SLTP ke bawah tanpa keterampilan khusus.
Bagi
kalangan investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia, sajian data
ini akan menghadirkan suatu pengertian bahwa jenis industri yang potensial
dikembangkan di Indonesia adalah jenis industri manufaktur padat karya
(garmen, tekstil, sepatu, dan elektronik).
Hal itu
karena dalam situasi pasokan tenaga kerja yang melimpah, pendidikan yang minim,
dan upah murah, hanya jenis industri manufaktur ringan yang cocok
dibisniskan. Sekalipun para investor ini tetap harus mengeluarkan biaya
pelatihan kerja, biayanya tidak sebesar industri padat modal.
Selama
lebih dari 35 tahun, pemerintah Indonesia percaya dengan jenis investor ini,
sampai disadarkan kenyataan pahit bahwa jenis industri seperti itu adalah
jenis industri yang paling gemar merelokasi (footloose industries).
Ini merupakan pemindahan lokasi industri ke
negara yang menawarkan upah buruh yang lebih kecil, peraturan yang longgar,
dan buruh yang melimpah. Indonesia pada era Reformasi telah meratifikasi
kovenan berserikat dan berunding, larangan kerja paksa, penghapusan
diskriminasi kerja, batas minimum usia kerja anak, dan larangan bekerja di
tempat terburuk.
Bila ini
yang terjadi, konsekuensinya akan ada peningkatan biaya tambahan. Bagi
perusahaan yang masih bisa menoleransi kenaikan biaya operasional ini, mereka
akan mencoba terus bertahan. Namun, lain halnya kepada perusahaan yang keunggulan
komparatifnya hanya mengandalkan upah murah dan longgarnya peraturan, mereka
akan segera angkat kaki ke negara yang menawarkan fasilitas bisnis yang lebih
“baik”. Itulah sebabnya sejak 1999-2009, diperkirakan jutaan buruh di
Indonesia telah kehilangan pekerjaan karena perusahaannya bangkrut atau
relokasi ke Tiongkok, Kamboja, atau Vietnam.
Pemerintah
tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama dengan tetap memberikan
kepercayaan kepada jenis industri manufaktur sebagai sektor andalan untuk
menyerap tenaga kerja. Indonesia sebaiknya mengembangkan jenis industri yang
memiliki keunggulan absolut, seperti industri perikanan, perkebunan,
kehutanan, pertambangan, pertanian, dan kelautan.
Inilah
jenis industri yang sebenarnya merupakan unggulan negeri ini sebagai anugerah
bumi Indonesia. Investor yang datang ke sektor ini adalah investor yang
berbisnis dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam kita, bukan karena
sumber daya manusia yang murah dan melimpah.
Dalam
dua dekade terakhir, kualitas manusia Indonesia telah mengalami kemerosotan
yang parah, menjadi yang paling rendah di Asia Tenggara. Selain kualitas,
pendidikan kita juga menghadapi masalah kuantitas.
Tahun
lalu, dari 118.108 siswa SD yang mengikuti general test di Jakarta, misalnya,
sebanyak 34.313 tidak diterima di SMP negeri. Bila ingin melanjutkan sekolah,
mereka harus mendaftar ke sekolah swasta yang lebih mahal. Padahal bisa
diduga, sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga pas-pasan, yang
boleh jadi mengalami kesulitan belajar karena kekurangan gizi misalnya.
Kenyataannya,
sekitar 27 persen balita di Indonesia mengalami gizi buruk. Sementara itu,
angka kematian balita (AKB) dan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia
merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN. Tingginya kasus gizi buruk yang
dialami calon generasi penerus bangsa ini, sangat berbahaya bagi peningkatan
kualitas pembangunan negeri ini. Padahal, gizi yang cukup dan pemeriksaan
kesehatan yang teratur menjadi hal yang sangat berharga bagi masyarakat,
terutama untuk ibu hamil dan menyusui sebagai aktor utama bagi keberhasilan
pembangunan manusia bangsa ini.
Reorientasi
ekonomi-politik Indonesia, idealnya berdasarkan jiwa, semangat, nilai, dan
konsensus dasar berdirinya republik ini seperti yang tersurat dalam
Mukaddimah dan Pasal 33 UUD 1945.
Pembangunan
berkeadilan ditorehkan sebagai arah besarnya dengan agenda dan program
pembangunan yang dicanangkan untuk mencapai keadaan masyarakat yang sejahtera
melalui kedaulatan pangan dan energi, penciptaan kesempatan kerja,
penghapusan kemiskinan, dan pengurangan berbagai bentuk ketimpangan. Semoga Pemilu 2014 ini menjadi momentum
dalam merajut Indonesia baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar