Kamis, 17 April 2014

Merajut Indonesia Baru

Merajut Indonesia Baru

Ivan A Hadar  ;   Direktur Institute for Democracy Education (IDE,)
 Koordinator target MDG (2007-2010)
SINAR HARAPAN, 15 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Menurut hitungan cepat Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014, tak ada partai yang bisa mengusung calon presidennya sendiri tanpa berkoalisi dengan partai lain.

 Melegakan bahwa Jokowi yang diusung partai pemenang sebagai calon presiden (capres), tidak menginginkan koalisi yang bersifat sekadar “berbagi jatah”. Menurutnya, diperlukan musyawarah dalam mencari platform yang sama untuk membangun bangsa. Pesaing terkuatnya, Prabowo, dengan delapan program bernuansa “kedaulatan” (rakyat), juga diharapkan akan mengambil sikap yang sama.

Bila ini benar terjadi, bisa menjadi pertanda dimulainya sebuah era baru ketika koalisi politik bukan sekadar hitung-hitungan kekuasaan tanpa memedulikan perlunya kesamaan program yang mengacu pada platform atau ideologi yang dianut. Dampaknya, sebuah pemerintahan bakal sulit untuk fokus terhadap apa yang dijanjikan kepada konstituennya. Lebih parah lagi, persoalan bangsa menjadi hal yang sekunder.

Satu hal lagi yang menjadi permasalahan adalah bandul politik Indonesia yang masih bergantung pada figur atau sosok, bukan program. Dengan demikian, penyelenggaraan negara tidak diasumsikan sebagai mekanisme sistemik dan impersonal, tetapi lebih sebagai perpanjangan kemampuan personal seorang pemimpin.

Dalam kaitan ini, lagi-lagi kita berharap presiden terpilih yang memiliki dukungan mayoritas agar berupaya membangun sistem (birokrasi, demokrasi, dan negara kesejahteraan) yang berfungsi baik. Jadi, ke depan bangsa ini tidak lagi terlalu bergantung pada figur pemimpin sejenis “ratu adil” yang selalu dirindukan kedatangannya karena buruknya sistem yang ada.

Dalam membangun sistem, terdapat beberapa tantangan besar yang berkaitan langsung dengan kecenderungan berupa merebaknya liberalisasi ekonomi, yang dalam beberapa bidang telah menyebabkan lumpuhnya fungsi negara sebagai penyedia kesejahteraan dan pusat pelayanan publik. Dalam bentuknya yang paling buruk, negara bahkan ditengarai telah menjadi fasilitator kepentingan “neokolonialisme” asing.

Merajut Indonesia baru yang berdaulat, berkaitan erat dengan reorientasi ekonomi-politik Indonesia, tentu saja merupakan pekerjaan besar yang harus dipikul seluruh kekuatan bangsa. Untuk itu, dibutuhkan peta jalan dengan berbagai sasaran antara yang ingin dicapai. Sebagai pendekatan tematik, setidaknya perlu diprioritaskan enam sektor berikut, yaitu pangan dan pertanian, energi, usaha mikro dan kecil, pendidikan, kesehatan, serta ketenagakerjaan.

Isu ketahanan pangan, yakni kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga dengan mutu dan jumlah yang aman, merata, dan terjangkau, seperti tercantum dalam UU No. 7/1996 tentang pangan, adalah bagian dari isu kedaulatan pangan. Selama rezim Orde Baru, pendekatan pengembangan sektor pertanian mengikuti “Revolusi Hijau” yang berbasiskan pupuk dan pestisida kimia, bibit hibrida, serta teknik budi daya monokultur, telah menimbulkan banyak masalah.

 Selama ini, pada era Reformasi persoalan ketergantungan input produksi dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya bukannya belum teratasi, melainkan kebijakan sektor pertanian kita menjadi semakin jauh untuk melayani kepentingan industri besar dan pemilik modal.

Dampaknya, Indonesia masuk ke food trap negara maju dan kapitalisme global. Selain beras, tujuh komoditas utama nonberas yang dikonsumsi masyarakat sangat bergantung pada impor. Padahal, sejak lima tahun terakhir, terjadi lonjakan harga pangan dan komoditas pertanian lainnya. Selain hancurnya kedaulatan pangan, telah terjadi penurunan ketahanan pangan dengan indikasi yang mengenaskan. Hal ini seperti meningkatnya kasus gizi buruk serta kematian balita dan ibu melahirkan. Ironisnya, nyaris separuh dari mereka yang rawan pangan berasal dari keluarga petani gurem.

Ketergantungan lainnya berkaitan dengan energi, khususnya energi fosil. Harga minyak bumi yang terus melambung, penggunaan energi yang boros, subsidi BBM dan listrik yang masih berlanjut, pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan energi yang terus meningkat, merupakan permasalahan energi nasional yang tak kunjung selesai.

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan lebih dari separuh kebutuhan energi Indonesia dipenuhi dari minyak bumi. Saat ini, Indonesia memiliki cadangan total minyak bumi, yang meliputi cadangan terbukti dan cadangan potensial sekitar 10 miliar barel. Jika tingkat produksi minyak rata-rata 450 juta barel per tahun, cadangan minyak kita akan kering dalam 20 tahun.

Dengan demikian, perlu upaya untuk mengembangkan sumber energi terbarukan (mikro hidro, biomassa, biogas, gambut, energi matahari, arus laut, dan tenaga angin). Jadi, di masa mendatang Indonesia tidak akan kekurangan pasokan energi. Menurut catatan Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala BPPT, negara ini setidaknya memiliki 62 jenis tumbuhan penghasil minyak untuk energi.

Energi dari panas bumi dan tenaga air juga memiliki potensi yang besar, tapi belum dimanfaatkan dengan baik. Energi listrik mikro hidro, khususnya, sangat potensial dikembangkan sampai ke desa-desa sebagai satu teknologi tepat guna yang murah, sederhana, dan ramah lingkungan. Begitu pula dengan energi surya yang berlimpah di seluruh Indonesia. Semua itu menjadi modal bagi Indonesia untuk mencari dan menemukan optimalisasi pemanfaatan sumber energi terbarukan tersebut.

Bagaimana dengan perdagangan? Ternyata, porsi sektor informal dalam kegiatan perdagangan di Indonesia mencapai di atas 95 persen. Usaha mikro dan kecil (UMK) memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif, terutama dalam pemanfaatan sumber daya alam. Sektor tersier UMK, yaitu perdagangan, pariwisata, dan industri boga dengan investasi yang sama mampu menyerap tenaga kerja yang jauh lebih besar dibandingkan usaha menengah dan besar.

Permasalahan lainnya berkaitan dengan ketenagakerjaan adalah tingginya jumlah pengangguran, minimnya perlindungan hukum, upah yang kurang layak, dan rendahnya pendidikan buruh. Data menunjukkan, lebih dari 75 persen pekerja Indonesia berpendidikan SLTP ke bawah tanpa keterampilan khusus.

Bagi kalangan investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia, sajian data ini akan menghadirkan suatu pengertian bahwa jenis industri yang potensial dikembangkan di Indonesia adalah jenis industri manufaktur padat karya (garmen, tekstil, sepatu, dan elektronik).

Hal itu karena dalam situasi pasokan tenaga kerja yang melimpah, pendidikan yang minim, dan upah murah, hanya jenis industri manufaktur ringan yang cocok dibisniskan. Sekalipun para investor ini tetap harus mengeluarkan biaya pelatihan kerja, biayanya tidak sebesar industri padat modal.

Selama lebih dari 35 tahun, pemerintah Indonesia percaya dengan jenis investor ini, sampai disadarkan kenyataan pahit bahwa jenis industri seperti itu adalah jenis industri yang paling gemar merelokasi (footloose industries).

 Ini merupakan pemindahan lokasi industri ke negara yang menawarkan upah buruh yang lebih kecil, peraturan yang longgar, dan buruh yang melimpah. Indonesia pada era Reformasi telah meratifikasi kovenan berserikat dan berunding, larangan kerja paksa, penghapusan diskriminasi kerja, batas minimum usia kerja anak, dan larangan bekerja di tempat terburuk.

Bila ini yang terjadi, konsekuensinya akan ada peningkatan biaya tambahan. Bagi perusahaan yang masih bisa menoleransi kenaikan biaya operasional ini, mereka akan mencoba terus bertahan. Namun, lain halnya kepada perusahaan yang keunggulan komparatifnya hanya mengandalkan upah murah dan longgarnya peraturan, mereka akan segera angkat kaki ke negara yang menawarkan fasilitas bisnis yang lebih “baik”. Itulah sebabnya sejak 1999-2009, diperkirakan jutaan buruh di Indonesia telah kehilangan pekerjaan karena perusahaannya bangkrut atau relokasi ke Tiongkok, Kamboja, atau Vietnam.

Pemerintah tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama dengan tetap memberikan kepercayaan kepada jenis industri manufaktur sebagai sektor andalan untuk menyerap tenaga kerja. Indonesia sebaiknya mengembangkan jenis industri yang memiliki keunggulan absolut, seperti industri perikanan, perkebunan, kehutanan, pertambangan, pertanian, dan kelautan.

Inilah jenis industri yang sebenarnya merupakan unggulan negeri ini sebagai anugerah bumi Indonesia. Investor yang datang ke sektor ini adalah investor yang berbisnis dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam kita, bukan karena sumber daya manusia yang murah dan melimpah.

Dalam dua dekade terakhir, kualitas manusia Indonesia telah mengalami kemerosotan yang parah, menjadi yang paling rendah di Asia Tenggara. Selain kualitas, pendidikan kita juga menghadapi masalah kuantitas.

Tahun lalu, dari 118.108 siswa SD yang mengikuti general test di Jakarta, misalnya, sebanyak 34.313 tidak diterima di SMP negeri. Bila ingin melanjutkan sekolah, mereka harus mendaftar ke sekolah swasta yang lebih mahal. Padahal bisa diduga, sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga pas-pasan, yang boleh jadi mengalami kesulitan belajar karena kekurangan gizi misalnya.

Kenyataannya, sekitar 27 persen balita di Indonesia mengalami gizi buruk. Sementara itu, angka kematian balita (AKB) dan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN. Tingginya kasus gizi buruk yang dialami calon generasi penerus bangsa ini, sangat berbahaya bagi peningkatan kualitas pembangunan negeri ini. Padahal, gizi yang cukup dan pemeriksaan kesehatan yang teratur menjadi hal yang sangat berharga bagi masyarakat, terutama untuk ibu hamil dan menyusui sebagai aktor utama bagi keberhasilan pembangunan manusia bangsa ini.

Reorientasi ekonomi-politik Indonesia, idealnya berdasarkan jiwa, semangat, nilai, dan konsensus dasar berdirinya republik ini seperti yang tersurat dalam Mukaddimah dan Pasal 33 UUD 1945.

Pembangunan berkeadilan ditorehkan sebagai arah besarnya dengan agenda dan program pembangunan yang dicanangkan untuk mencapai keadaan masyarakat yang sejahtera melalui kedaulatan pangan dan energi, penciptaan kesempatan kerja, penghapusan kemiskinan, dan pengurangan berbagai bentuk ketimpangan. Semoga Pemilu 2014 ini menjadi momentum dalam merajut Indonesia baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar