Robohnya
Peradaban Maritim
Munawir Aziz ; Esais dan Peneliti;
Alumnus Center for Religious and Cross-Cultural Studies
(CRCS)
|
KOMPAS,
10 April 2014
Indonesia
adalah negeri yang dibangun dengan amnesia politik dan kekuasaan. Politisi
negeri ini berebut makna dan kebenaran untuk mencari dalil publik atas
kepentingannya sendiri. Peradaban bangsa hanya menjadi isu yang digulirkan
sebagai jargon kampanye, tanpa ada strategi aktualisasi pada
kebijakan-kebijakan strategis. Amnesia sejarah ini tampak pada cara pandang
terhadap warisan mental tentang peradaban maritim.
Robohnya
politik bervisi maritim menjadikan daulat atas laut negeri ini ditertawakan
oleh kekuasaan militer asing. Awal Februari 2014, ketika mencari
teripang
dan ikan di perairan perbatasan Merauke, sebuah kapal nelayan dibakar tentara
Papua Niugini (PNG). Kapal ini terindikasi melewati batas teritorial laut
antarnegara. Sementara 10 awak kapal diperintahkan oleh tentara negeri
tetangga itu untuk berenang di tengah ombak kencang dan amukan badai. Lima
orang tewas dan sisanya disapu ombak dan belum ditemukan.
Selain
kisah ini, catatan-catatan tragis tentang nasib nelayan di negeri maritim
berserakan. Juga kisah tentang melenggangnya beberapa kapal pemancing dari
negeri tetangga yang merampok ikan di perairan Indonesia.
Kisah
tragis ini meruntuhkan imajinasi maritim kita. Peradaban maritim dirobohkan
sejak dari pikiran. Politisi yang berdiri di kursi-kursi kekuasaan hanya
menggunakan jargon maritim ketika kampanye menjelang pemilu, lalu menguap
ketika eksekusi kebijakan menemukan momentumnya. Kegagalan dalam mengukuhkan
perspektif maritim cerminan runtuhnya usaha bangsa ini untuk menyatukan ide
dan wilayah. Maritim sejatinya tidak hanya dimaknai sebagai spektrum
geografis, tetapi juga identitas untuk bangsa yang terus bergerak, bangsa
yang bertarung, yang mampu bertarung melawan badai.
Padahal,
sastrawan Pramoedya Ananta Toer sudah jauh hari memperingatkan tentang runtuhnya
nalar maritim, dalam novel Arus Balik. Ilustrasi ”negeri atas angin” menjadi
bagian penting bagaimana kerajaan Nusantara berkomunikasi dengan negeri lain
untuk menjalin hubungan dagang dan pengetahuan. Dalam narasi Pramoedya,
runtuhnya nalar maritim menjadi titik awal untuk menghancurkan peradaban
bangsa ini.
Nalar daratan
Pemerintahan
berbasis kekuatan maritim jadi bagian penting dari strategi masa depan negeri
ini. Sejarawan AB Lapian (1929-2011), dalam karya risetnya, Orang Laut, Bajak
Laut, Raja Laut (2009), mendengungkan pernyataan bahwa Indonesia itu
disatukan oleh laut, bukan dipisahkan oleh lautan. Perairan itu jadi jembatan
untuk menyatukan wilayah-wilayah dan pulau-pulau di negeri ini.
Dengan
meletakkan basis pemikiran pada lautan, negeri ini bukan terpisah, tetapi
tersatukan oleh peradaban laut. Dengan demikian, peradaban maritim jadi
identitas manusia Indonesia yang sesungguhnya, yang disatukan oleh lautan,
bukan direduksi oleh nalar daratan. Nalar seperti inilah yang perlu menjadi
khitah politik para penguasa negeri ini.
Mundurnya
peradaban Nusantara, dalam catatan historis, dimulai sejak rezim kolonial
berhasil memukul mundur pasukan pribumi ke pelosok daratan. Runtuhnya
Kerajaan Demak sebagai benteng terakhir peradaban maritim di Jawa digantikan
oleh kekuasaan Pajang yang berdiam di kawasan pedalaman Jawa.
Penanda
historis inilah yang menjadi muasal nalar daratan yang terwariskan dalam cara
berpikir, bersikap, dan bertindak orang-orang di Jawa. Meski rezim Mataram di
bawah kuasa Sultan Agung juga tetap memiliki ekspektasi maritim, formulasi
militer dan daya ekonominya terhambat untuk mengakses lautan dan bersentuhan
dengan kerajaan lain di luar Jawa. Hal inilah yang mewarnai jejak kekuasaan
di Jawa dalam tiga abad terakhir.
Saat ini
robohnya peradaban maritim tampak jelas pada upaya menyambungkan antarpulau
dengan proyek pembangunan jembatan. Meski dalam logika ekonomi hal ini
menjadi instrumen untuk meningkatkan akses transportasi, di sisi lain ia juga
menumpulkan nalar berkawan dengan laut. Laut pada akhirnya dimaknai sebagai
pemisah yang harus disambungkan dengan jembatan.
Proyek
Jembatan Sunda adalah rentetan amnesia sejarah terhadap peradaban maritim.
Proyek prestisius bernilai Rp 200 triliun ini adalah upaya mengukuhkan ambisi
penguasa bernalar agraris. Jembatan ini menghubungkan Provinsi Lampung di
Sumatera dan Banten di Jawa. Pemerintah negeri ini getol
membangun jembatan antarpulau, tetapi lupa membenahi sektor transportasi dan
infrastruktur berbasis maritim.
Dalam
catatan Kementerian Perhubungan, pada 2012 terdapat 11.620 kapal berbendera
Indonesia yang menjadi transportasi utama penghubung 17.508 pulau di negeri
ini. Meski ada upaya menambah kapal perintis sebanyak 36 pada 2012, tentu
saja ini masih sangat minim menyam- bungkan titik-titik kepulauan dalam peta
kelautan di Indonesia.
Nalar maritim
Ide
untuk mengukuhkan Indonesia sebagai negeri maritim pernah dilakukan Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika memimpin negara dalam kurun Oktober
1999-Juli 2001, Gus Dur membentuk Departemen Eksplorasi Kelautan dan
Perikanan, yang kemudian bertransformasi menjadi Departemen Kelautan dan
Perikanan. Kebijakan politik inilah yang jadi keberpihakan pemerintah untuk
menuju bangsa maritim meski kemudian terganjal oleh kepentingan politik.
Pandangan
politik pemimpin Indonesia untuk masa mendatang perlu berpihak pada visi
maritim. Pemimpin bernalar maritim akan sanggup menghadapi gelombang dengan
berani, percaya diri, dan mandiri. Nalar maritim membentuk bangsa ini sebagai
bangsa petarung, yang berani melawan rezim kolonial. Runtuhnya visi
kepemimpinan berbasis maritim menjadi senja kala peradaban Nusantara.
Indonesia akhirnya akan menjadi negeri yang selalu kalah bersaing dan tunduk
pada rezim kolonial.
Kebijakan
politik untuk menyatukan pulau-pulau di negeri ini perlu diletakkan dalam
perspektif peradaban maritim: dengan menganggap laut sebagai pemersatu, bukan
sebagai pemisah. Sudah selayaknya figur-figur yang siap memimpin negeri ini
agar kembali menghayati visi Nusantara sebagai bangsa maritim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar