Rasa
Lega yang Tertunda
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan
dan Kesusastraan
|
KOMPAS,
10 April 2014
SETELAH
mencoblos, mungkin Anda merasa lega karena telah menyalurkan hak politik
dengan benar dan memilih parpol atau caleg dengan tepat. Bayangan masa depan
bangsa yang gemilang pun mampir di benak. Tunggu dulu, bro dan sister.
Tolong, Anda jangan terlalu bersemangat memompa balon harapan agar tak kian
kecewa. Kemungkinan Anda kecele sangat besar. Marilah berpikir pahit.
Pemilu
memang menjadi titah konstitusi dalam negara demokrasi. Melalui pemilu,
rakyat menunjukkan kedaulatan politiknya demi memberikan amanat kepada
parpol-parpol menyelenggarakan pemerintahan dan negara secara baik,
bermartabat, dan menyejahterakan rakyat. Namun, dalam kenyataan, wakil Anda
yang berhasil nangkring di parlemen atau duduk di lembaga eksekutif tak
otomatis merepresentasikan suara rakyat, apalagi suara Tuhan.
Sangat
mungkin mereka justru lebih vokal menyuarakan kepentingan parpol, khususnya
elite parpol. Bukan rahasia lagi, elite parpol inilah yang mengendali- kan
suara fraksi, baik dalam membuat legislasi, menjalankan politik anggaran,
maupun mengontrol jalannya pemerintahan. Satu-satunya yang bisa Anda harapkan
adalah elite parpol itu masih ingat nasib rakyat. Jika hal itu terjadi,
berarti kita masih bejo
(beruntung). Tragis, bukan?
Agaknya
Anda harus menunda rasa lega karena kita semua masih harus menunggu hadirnya
sang dewa bejo, kekuatan transendental yang menyuarakan kebaikan hinggap dan
merasuki para elite parpol. Celakanya ”dewa bejo” tak ada di dalam gelombang
sinyal politik para elite parpol. Frekuensinya berbeda. Para elite parpol ada
di frekuensi AM (asal menguntungkan), sedangkan dewa bejo ada di frekuensi FM
(filosofi mengabadi).
Demokrasi
liberal–yang turunannya adalah demokrasi transaksional—akhirnya hanya menjadi
demokrasi ala warungan, demokrasi gerai. Ideologi gerai adalah ideologi
meraup untung sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan nasib, masa depan
konstituen. Konstituen hanya dipahami selaku konsumen.
Industri politik
Dalam
kultur politik gerai, elite partai dan anggota legislatif dan eksekutif bukan ideolog, bukan pejuang konstitusi,
melainkan bos besar, juragan politik. Parpol pun bukan lagi lembaga politik,
sosial, dan budaya, melainkan perusahaan politik yang mengabdi pada
kepentingan industri politik. Turunannya, parlemen tak lebih dari pabrik
politik yang memproduksi legislasi dengan kadar tinggi kepentingan pembuatnya.
Begitu
pula dengan pemerintahan yang diselenggarakan: tak lebih dari pabrik
kebijakan yang mengabdi pada kepentingan kuasa modal. Jagat politik pun
menyerupai industri politik.
Industri
politik menjadikan uang sebagai modal fundamental. Gagasan/ideologi yang
memuliakan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan, tak dianggap
penting. Kalau toh ideologi (agama, nasionalisme religius dan nasionalisme
sekuler) harus dicantumkan, ia tak lebih dari merek dagang (sebagaimana
pabrik kecap harus menamai produknya dengan cap bajing atau pabrik jamu
dengan cap orang kuat). Perbedaan ”ideologi” tak mencerminkan perilaku
parpol. Mereka sama-sama suka duit.
Dalam
industri politik juga ada keterampilan. Namun, keterampilan itu bukan untuk
mewujudkan idealisme pengabdian kepada publik, melainkan untuk melakukan
berbagai rekayasa negatif, meyakinkan konsumen agar tetap percaya kepada
perusahaan dan produk-produknya.
Kita pun
bisa membayangkan secara pesimistis kinerja para anggota legislatif dan eksekutif
nanti. Mereka tak terhindar sekadar jadi karyawan atau bahkan buruh kontrakan
yang lebih mengabdi pada kepentingan bos atau juragan politik. Bos atau
juragan politik tentu lebih senang bekerja sama dengan para penguasa modal;
yang mungkin menjadi bandar (bebotoh
kapital) mereka selama ini.
Dalam
hukum industrial-politik macam ini, suara kritis Anda tak akan didengar
ketika mempertanyakan dan menggugat janji kampanye parpol dan caleg. Semua
isu tak lebih dari sekadar teknik memersuasi (atau mengelabui) konstituen.
Mereka
yang dulu menjanjikan pendidikan gratis, kemudahan mencari pekerjaan,
peningkatan penghasilan, pelayanan kesehatan, pengendalian harga- harga kini
mungkin tidur nyenyak setelah terpilih jadi caleg. Mungkin mereka lebih
senang memikirkan cara-cara meraup uang rakyat daripada susah payah membuat
strategi politik menyejahterakan rakyat.
Mungkin
Anda dan kita semua gela, kecewa, dan menyesal karena telah memilih mereka.
Namun, kita toh harus optimistis, siapa tahu karakter oportunistis mereka
berubah menjadi agen perubahan. Semoga kita termasuk golongan orang bejo
dalam masa penantian mereka menjadi agen perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar