Investasi
untuk Riset
Andrianto Handojo ; Guru Besar Fakultas
Teknologi Industri ITB;
Ketua Dewan Riset Nasional
|
KOMPAS,
10 April 2014
SETIAP
tahun di perguruan tinggi berlangsung masa pendaftaran mahasiswa baru.
Meskipun sudah rutin terjadi, tak urung ada cerita menarik yang terbetik di
sana-sini. Pernah di sebuah institut, di Bandung, seorang (calon) mahasiswa
datang membawa segulung uang kertas yang diikat karet gelang. Sebagian lembar
uangnya tampak lusuh. Pada masa itu pembayaran online memang belum menjadi
kebiasaan.
Begitu
diserahkan di meja pembayaran ternyata gulungan itu merupakan satu-satunya
milik dan bekal terakhir si pendaftar. Sama sekali tidak ada yang tersisa.
Terungkap
pula anak muda itu tidak tahu bagaimana akan makan dan menginap, padahal ia
datang dari tempat yang jauh. Kisah
yang hampir menjadi drama ini untungnya lekas memperoleh solusi ketika
seorang dosen bersedia menerimanya menumpang di rumah, setidaknya untuk
beberapa hari.
Banyak
pihak memang ikhlas mempertaruhkan harta dan milik demi bekal belajar. Upaya
habis-habisan yang dicurahkan dianggap layak sebagai investasi menuju
kehidupan di masa depan yang lebih baik.
Berskala kolektif
Di pihak
lain, sesungguhnya ada jenis kesibukan yang sifatnya juga bersakit-sakit
dahulu, tetapi jarang mengundang niat investasi. Tujuan pun tidak kalah mulia
dibandingkan dengan studi karena menjadi dasar untuk berjalan ke depan, bukan
orang per orang, melainkan bagi keberlanjutan bangsa.
Kesibukan
itu namanya penelitian atau riset. Manfaatnya tak akan kurang disebutkan:
pengetahuan baru, nilai tambah, dan peningkatan daya saing.
Karena
penyelenggaraan riset bukan menyangkut segulung uang, melainkan berskala
kolektif, berapa alokasi dana yang dipandang layak? Negara-negara maju
membelanjakan 2 persen produk domestik bruto (PDB) atau lebih untuk riset dan
pengembangan.
Pada
2009 angka yang dibukukan Singapura adalah 2,43 persen, Malaysia 1,01 persen,
dan Thailand 0,25 persen (Research and Development Expenditure,
data.worldbank.org). Biasanya kita
malu menyebut apa yang berlaku untuk Indonesia karena besarnya hanya 0,08
persen.
Dengan
tipisnya pendanaan di Tanah Air, terbatas pula kuantitas kegiatan dan hasil
penelitian. Dibandingkan dengan sebuah negara tetangga yang pernah berguru
dari Indonesia dan sekarang mengalokasikan dana yang besar, kita jauh
tertinggal dalam jumlah makalah pada jurnal internasional. Padahal, publikasi
taraf dunia merupakan ukuran penting bagi prestasi penelitian.
Walaupun
demikian, keadaan tertinggal tampaknya tidak terasa mengenaskan bagi kaum
awam. Bila diamati sehari-hari, tanpa banyak riset pun kehidupan seakan sudah
berjalan ”normal” dan bahkan menunjukkan pencapaian yang memadai. Pertumbuhan
PDB kita belakangan justru lebih tinggi daripada negara tetangga yang
dimaksudkan tadi.
Kedalaman pandang
Akan
tetapi, coba tengok kegiatan mana yang berhasil mengungkit jenjang
perekonomian. Dari tahun ke tahun hasil industri manufaktur Indonesia
cenderung memakai teknologi rendah sampai menengah (Indikator Iptek Indonesia
2009, LIPI 2010). Produk yang mengandalkan teknologi tinggi, seperti
peralatan komunikasi, belum meningkat secara signifikan. Padahal, pemanfaatan
teknologi tinggi paling berpeluang memberikan nilai tambah dan memerlukan
riset untuk mengembangkannya.
Jadi,
ada yang dilewatkan di sini dan beruntung kelebihan lain bisa diberdayakan.
Pertanyaannya, akankah tetap demikian sampai era nanti?
Baiklah
kita ingat bahwa penelitian diarahkan untuk melahirkan setakar demi setakar
pemahaman, teori, rumus, metode, teknik, sekaligus memberikan kepada
pelakunya dua keuntungan. Pertama, kelekatan yang erat bagai mendarah daging
dengan bidang yang ditekuni. Kedua, kedalaman pandang (insight) yang intens pada bidang tersebut membuat kita sanggup
memecahkan persoalan yang belum pernah ada atau sangat berbeda daripada
sebelumnya.
Sementara
itu, sosok masa depan belum jelas benar, kecuali ditandai dengan susutnya
sumber daya alam dan potensi konflik antarpenduduk dunia yang semakin penuh,
saling berdesakan dengan segala kebutuhannya.
Pada
saatnya nanti, yang sintas, apalagi berjaya, ialah bangsa yang siap dan
berkemampuan tinggi. Dan, kemampuan
tangguh tidak diperoleh seketika dari mengunduh, tetapi melalui jalan panjang
yang ditempuh dengan tekun.
Maka,
perlu kiranya diindahkan oleh penentu kebijakan keuangan maupun pengusaha,
industriman dan masyarakat, betapa mendesaknya investasi untuk riset kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar