Kamis, 10 April 2014

Megamelodrama Indonesia 2014

Megamelodrama Indonesia 2014

Antho M Massardi  ;   Pemerhati Masalah Sosial
KOMPAS, 09 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Pemilihan umum serentak 9 April 2014, yang berlangsung hari ini, adalah tayangan megamelodrama. Lakonnya akan ada yang menjadi monumental, komikal, bahkan paradoksal. Semua dalam skala nasional, kolosal, dan mahal.

Sebagaimana Pemilu 2004 dan 2009, tayangan hal itu pasti akan menguras emosi serta air mata, terutama bagi para simpatisan dan para partisan, ketika hasil penghitungan cepat—dua jam setelah pemungutan suara selesai di wilayah Indonesia bagian barat—mulai disiarkan.

Kompetisi perebutan kursi parlemen ini tampaknya akan berlangsung ketat. Data Komisi Pemilihan Umum menunjukkan, pemilu kali ini diikuti oleh 200-an ribu calon anggota legislatif (caleg). Secara nasional, mereka berkompetisi di tiga tingkatan pemilu legislatif, memperebutkan 19.699 kursi di 2.471 daerah pemilihan (dapil) untuk DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten kota, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Nasib para kompetitor itu tergantung pada 186.569.233 pemilih di seluruh Tanah Air (data KPU per 4 Desember 2013).

Kalau tingkat partisipasi pemilih 70 persen dari 186.569.233 pemilih, maka secara nasional rata-rata ada 914.189.24 pemilih, atau rata-rata per dapil dari 2.471 daerah pemilihan ada 36.997 jumlah pemilih.

Kolosal dan mahal

Sebagai panggung kompetisi nasional megamelodrama, Pemilu Legislatif 2014 jelas kolosal dan mahal. Kolosal, karena calegnya ribuan. Dengan rincian: 132 kursi DPD diperebutkan di 33 dapil, 2.112 kursi DPRD provinsi diperebutkan di 259 dapil, dan 16.895 kursi DPRD kabupaten kota dikompetisikan di 2.102 dapil.

Mahal, karena dana untuk KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dalam Undang- Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013 dan 2014, total Rp 31,57 triliun. Dana itu untuk seluruh penyelenggaraan.

Rinciannya, dana untuk KPU sebesar Rp 23,92 triliun, Bawaslu Rp 4,12 triliun, cadangan pemilu Rp 2,55 triliun, serta dana cadangan pengamanan pemilu Rp 1,0 triliun. Itu belum termasuk dana peserta pemilu yang dihimpun dari para caleg dan dari 12 partai peserta pemilu yang diperkirakan sedikitnya Rp 12 triliun.

Padahal, total caleg yang akan terpilih secara nasional hanya 9,85 persen (19.699 orang dari 200-an ribu caleg). Artinya, setiap caleg yang terpilih harus dapat mengalahkan 10-11 orang pesaing di setiap dapilnya, dengan ongkos rata-rata setiap pemenang lebih dari Rp 1,7 miliar.

Khusus untuk perebutan kursi parlemen di tingkat DPR, ada 6.608 caleg (sebagian besar caleg petahana), mereka harus memperebutkan 560 kursi di 77 dapil. Artinya, caleg yang akan terpilih hanya 8,47 persen (560 orang). Maka setiap caleg pemenang kursi DPR itu rata-rata harus mengalahkan 11-12 orang pesaing di dapilnya.

Dapat dibayangkan, betapa ingar-bingarnya megamelodrama yang akan terjadi. Total caleg yang gagal masuk parlemen secara nasional berjumlah 180.301 orang (90,15 persen) atau untuk caleg yang kalah dan gagal masuk DPR 6.048 orang (91,53 persen).

Tidak siap

Dari pengalaman pemilu ke pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu kepala daerah, tidak semua calon siap untuk menerima kekalahan.
Selain muncul kerusuhan, ada juga yang depresi atau terganggu jiwanya, karena telah kehilangan harga diri dan harta.

Ternyata, para caleg baru dan caleg petahana bukan hanya tidak siap kalah. Setelah terpilih pun, mereka terbukti siap menjadi pemenang.

Perilaku itu, setiap hari, kita saksikan dalam pemberitaan, dipertontonkan oleh para pejabat publik yang digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi karena diindikasikan korupsi.

Dalam pertemuan para senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan—profesor, doktor, insinyur, profesional—di perguruan tinggi teknik negeri terkenal di Bandung, disimpulkan bahwa salah satu sebab maraknya kejahatan korupsi di kalangan anggota parlemen—juga di kalangan pejabat birokrat eksekutif dan legislatif—adalah mereka tidak siap menang. Tidak siap menjadi pemimpin yang harus memberikan teladan.

Oleh karena itu, begitu menang, mereka gagap, tidak mempunyai misi untuk melampaui diri dan nafsunya sendiri. Akhirnya, muncullah perilaku serakah, khianat, dan tidak mempunyai integritas.

Hal itu dibenarkan oleh teman yang pernah bekerja di (semua sekretariat komisi) DPR selama lebih dari 20 tahun, dan kini sudah pensiun.

Hampir semua anggota dan mitra kerjanya—secara lintas partai, lintas agama, lintas umur, dan lintas suku—”matanya hijau” begitu melihat dan membicarakan uang. Katanya dalam bahasa kiasan, ”Isi perut mereka itu kotor dan baunya nyaris sama”.

Maka walaupun ”Mars Pemilu” masa Orde Baru sudah diganti dengan ”Mars Pemilu” baru karya N Simanungkalit, sejak Pemilu 2004, kuplet kedua ”Mars Pemilu” karya Mochtar Embut lebih pas untuk menyongsong pemilu legislatif sekarang:
Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya// Pengemban Ampera yang setia// Di bawah Undang Undang Dasar 45// Kita menuju ke pemilihan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar