Megamelodrama
Indonesia 2014
Antho M Massardi ; Pemerhati Masalah
Sosial
|
KOMPAS,
09 April 2014
Pemilihan umum serentak 9 April
2014, yang berlangsung hari ini, adalah tayangan megamelodrama. Lakonnya akan
ada yang menjadi monumental, komikal, bahkan paradoksal. Semua dalam skala
nasional, kolosal, dan mahal.
Sebagaimana Pemilu 2004 dan
2009, tayangan hal itu pasti akan menguras emosi serta air mata, terutama
bagi para simpatisan dan para partisan, ketika hasil penghitungan cepat—dua
jam setelah pemungutan suara selesai di wilayah Indonesia bagian barat—mulai
disiarkan.
Kompetisi perebutan kursi
parlemen ini tampaknya akan berlangsung ketat. Data Komisi Pemilihan Umum menunjukkan,
pemilu kali ini diikuti oleh 200-an ribu calon anggota legislatif (caleg).
Secara nasional, mereka berkompetisi di tiga tingkatan pemilu legislatif,
memperebutkan 19.699 kursi di 2.471 daerah pemilihan (dapil) untuk DPR, DPRD
provinsi, DPRD kabupaten kota, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Nasib para kompetitor itu
tergantung pada 186.569.233 pemilih di seluruh Tanah Air (data KPU per 4
Desember 2013).
Kalau tingkat partisipasi
pemilih 70 persen dari 186.569.233 pemilih, maka secara nasional rata-rata
ada 914.189.24 pemilih, atau rata-rata per dapil dari 2.471 daerah pemilihan
ada 36.997 jumlah pemilih.
Kolosal dan mahal
Sebagai panggung kompetisi
nasional megamelodrama, Pemilu Legislatif 2014 jelas kolosal dan mahal.
Kolosal, karena calegnya ribuan. Dengan rincian: 132 kursi DPD diperebutkan
di 33 dapil, 2.112 kursi DPRD provinsi diperebutkan di 259 dapil, dan 16.895
kursi DPRD kabupaten kota dikompetisikan di 2.102 dapil.
Mahal, karena dana untuk KPU dan
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dalam Undang- Undang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara 2013 dan 2014, total Rp 31,57 triliun. Dana itu untuk seluruh
penyelenggaraan.
Rinciannya, dana untuk KPU
sebesar Rp 23,92 triliun, Bawaslu Rp 4,12 triliun, cadangan pemilu Rp 2,55
triliun, serta dana cadangan pengamanan pemilu Rp 1,0 triliun. Itu belum
termasuk dana peserta pemilu yang dihimpun dari para caleg dan dari 12 partai
peserta pemilu yang diperkirakan sedikitnya Rp 12 triliun.
Padahal, total caleg yang akan
terpilih secara nasional hanya 9,85 persen (19.699 orang dari 200-an ribu
caleg). Artinya, setiap caleg yang terpilih harus dapat mengalahkan 10-11
orang pesaing di setiap dapilnya, dengan ongkos rata-rata setiap pemenang
lebih dari Rp 1,7 miliar.
Khusus untuk perebutan kursi
parlemen di tingkat DPR, ada 6.608 caleg (sebagian besar caleg petahana),
mereka harus memperebutkan 560 kursi di 77 dapil. Artinya, caleg yang akan
terpilih hanya 8,47 persen (560 orang). Maka setiap caleg pemenang kursi DPR
itu rata-rata harus mengalahkan 11-12 orang pesaing di dapilnya.
Dapat dibayangkan, betapa
ingar-bingarnya megamelodrama yang akan terjadi. Total caleg yang gagal masuk
parlemen secara nasional berjumlah 180.301 orang (90,15 persen) atau untuk
caleg yang kalah dan gagal masuk DPR 6.048 orang (91,53 persen).
Tidak siap
Dari pengalaman pemilu ke
pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu kepala daerah, tidak semua calon
siap untuk menerima kekalahan.
Selain muncul kerusuhan, ada
juga yang depresi atau terganggu jiwanya, karena telah kehilangan harga diri
dan harta.
Ternyata, para caleg baru dan
caleg petahana bukan hanya tidak siap kalah. Setelah terpilih pun, mereka
terbukti siap menjadi pemenang.
Perilaku itu, setiap hari, kita
saksikan dalam pemberitaan, dipertontonkan oleh para pejabat publik yang
digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi karena diindikasikan korupsi.
Dalam pertemuan para senior
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan—profesor, doktor, insinyur,
profesional—di perguruan tinggi teknik negeri terkenal di Bandung,
disimpulkan bahwa salah satu sebab maraknya kejahatan korupsi di kalangan
anggota parlemen—juga di kalangan pejabat birokrat eksekutif dan
legislatif—adalah mereka tidak siap menang. Tidak siap menjadi pemimpin yang
harus memberikan teladan.
Oleh karena itu, begitu menang,
mereka gagap, tidak mempunyai misi untuk melampaui diri dan nafsunya sendiri.
Akhirnya, muncullah perilaku serakah, khianat, dan tidak mempunyai
integritas.
Hal itu dibenarkan oleh teman
yang pernah bekerja di (semua sekretariat komisi) DPR selama lebih dari 20
tahun, dan kini sudah pensiun.
Hampir semua anggota dan mitra
kerjanya—secara lintas partai, lintas agama, lintas umur, dan lintas
suku—”matanya hijau” begitu melihat dan membicarakan uang. Katanya dalam
bahasa kiasan, ”Isi perut mereka itu
kotor dan baunya nyaris sama”.
Maka walaupun ”Mars Pemilu” masa Orde Baru sudah
diganti dengan ”Mars Pemilu” baru
karya N Simanungkalit, sejak Pemilu 2004, kuplet kedua ”Mars Pemilu” karya Mochtar Embut lebih pas untuk menyongsong
pemilu legislatif sekarang:
Pilihlah
wakilmu yang dapat dipercaya// Pengemban Ampera yang setia// Di bawah Undang
Undang Dasar 45// Kita menuju ke pemilihan umum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar