Senin, 14 April 2014

Puan

Puan

Amarzan Loebis  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO, 14 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Puan terutama menonjol dalam tata istiadat Melayu-pesisir. Khususnya dalam rangkaian upacara mengikat jodoh, puan nyaris tak bisa ditinggalkan. Di berbagai kawasan Melayu-pesisir, puanlah yang lebih dulu disorongkan sebelum orang bertutur sapa, jauh sebelum pepatah-petitih dipertarungkan. Karena itu, untuk masyarakat awam yang berjarak dengan kebudayaan Melayu-pesisir, mudah timbul pertanyaan: apakah puan?

Puan adalah tempat sirih, tak lebih tak kurang. Perangkat makan sirih (Jawa:nginang) orang Melayu meliputi tiga perabot: tepak (dilafalkan seperti pada "sepak"), cerana, dan puan. Masing-masing mewakili segmen sosial dan segmen ritualnya sendiri. Kalau menggunakan kategori kasta, tepak merupakan kasta paling bawah, tapi yang sama sekali tak boleh dihinakan.

Tepak adalah tempat sirih biasa, lazim ditemukan di rumah tangga Melayu-pesisir, bahkan sudah seperti kelengkapan hidup. Dalam istiadat bertamu, tepaklah yang disorongkan setelah tuan rumah dan tamu beruluk salam. Tepak terbuat dari kayu (hanya dari kayu), dan sering kali dicat dengan warna merah atawa kuning. Dalam perjalanan hidup saya, belum pernah saya menemukan tepak berwarna biru, misalnya.

Setingkat di atas tepak adalah cerana (dilafalkan seperti pada "celana"). Sementara tepak mengambil bentuk kotak persegi panjang, kadang-kadang mirip perahu, cerana merupakan dulang berkaki, mirip wadah untuk menyuguhkan makananpuyonghaiatawacapcaidi restoran Cina yang bertata krama. Cerana terbuat dari kuningan atawa perak, dan diberi hiasan ornamental. Barang ini mudah dicari di kawasan Little India, Singapura, termasuk di toko Mustafa yang termasyhur itu.

Setelah cerana tersebutlah puan, yang biasanya terbuat dari perak atawa emas. Bentuknya mendekati tepak, kecuali bahwa bahan bakunya merupakan logam tak sembarangan. Di kalangan masyarakat yang tak punya puan, biasanya digunakan tepak yang disalut dengan kain songket berwarna emas, sehingga terbentuklah puan-puanan.

Biar namanya tepak, cerana, atawa puan, isinya tetap sama. Harus ada daun sirih, gambir, kapur, dan irisan buah pinang sebagai kandungan substansial. Kandungan pelengkap bisa macam-macam, misalnya buah cengkih dan kayu manis. Terselip juga perangkat aksesori, misalnya kacip (untuk membelah pinang), dan gobek (untuk menumbuk ramuan sirih bagi orang yang sudah tak bisa mengunyah karena ompong total). Singkat kata, puan adalah perangkat, alat, wadah, yang tidak bisa "main sendiri". Ia harus "dimainkan".

Tentu ada juga makna puan yang lain. Di kawasan Melayu-pesisir, ia bersanding dengan tuan. Karena itu biasa kita dengar, "Yang terhormat tuan-tuan dan puan-puan." Tapi, di sekitar Sulawesi Selatan, puan merupakan semacam panggilan kehormatan, dan tak terbatas pada perempuan semata. Dalam percakapan di sana, puan biasanya dilafalkan "puang".

Dalam legenda Melayu-pesisir Sumatera Timur, puan juga merupakan nama sebuah tanjung imajiner, tempat hantu laut bermukim. Karena itu, di sana ada pantun-mantera yang berbunyi:

Sebacung si duo bacung

Bacung terpacak di haluan

Bagaimano gubang tak langsung

Ruso manghadang di Tanjung Puan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar