Darurat
Koalisi
M Nafiul Haris ; Peneliti
|
TEMPO.CO,
14 April 2014
Hasil
pemilihan legislatif memperlihatkan perubahan-perubahan penting dalam peta
politik Indonesia. Kendati hasil penghitungan suara resmi masih kita tunggu,
hasil hitung cepat oleh berbagai lembaga survei menunjukkan fakta-fakta
menarik. Tiga besar perolehan suara diraih Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI), disusul Partai Golkar, dan Partai Gerindra.
Berdasarkan
ambang batas presiden 20 persen, tidak ada partai yang bisa mengajukan calon
presiden tanpa berkoalisi. Kegagalan PDIP meraih target dan terlebih apabila
juga gagal meraih ambang batas presiden, sudah pasti akan memperoleh
perhatian serius partai tersebut. Terutama terkait dengan pendeklarasian Joko
Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden. Demikian pula partai lain, mereka
juga harus berkoalisi agar bisa mengajukan capres dan cawapres. Kondisi itu
memaksa para elite partai berpikir keras untuk menggandeng partai lain agar
mau diajak berkoalisi untuk memajukan capres dan cawapres. Kini, para
petinggi parpol mulai menghitung untung-rugi mengajak kolega lain bergabung.
Mereka harus penuh perhitungan. Memilih rekan berkoalisi harus menguntungkan,
bukan merugikan. Karena itu, PDIP jangan memilih parpol yang justru bisa
menjadi bumerang bila menggandengnya.
Katakanlah
orang banyak mendukung Jokowi, tapi begitu menggandeng cawapres dari parpol
yang dipimpin tokoh bermasalah, tentu langkah itu negatif. Koalisi memang
tidak mudah. Bisa saja koalisi memperkuat posisi di parlemen, tapi
menjatuhkan di depan rakyat. Memang pemerintahan yang kuat di parlemen itu
penting agar tidak menjadi bulan-bulanan anggota legislatif. Jadi, kunci
koalisi haruslah demi keuntungan rakyat. Siapa pun yang digandeng dalam
koalisi, keluarannya harus benar-benar demi orientasi pada kepentingan
rakyat.
Apa pun
detail dan bentuk koalisi, pijakannya adalah kepentingan rakyat. Jika pun di
parlemen diganggu legislator-legislator busuk, jika berjuang demi
kesejahteraan rakyat, masyarakat akan berada di belakang pemerintah. Karena
itu, PDIP sebagai pemenang pemilu harus membuat perhitungan agar koalisi yang
dibangun mampu menerjemahkan janji-janji kampanye menjadi kenyataan. PDIP
tidak boleh memikirkan kepentingan partai sebagai tolok ukur berkoalisi.
Gejala
perilaku pemilih dengan sikap "Jokowi
yes, PDIP no" tampaknya telah terbukti dengan kegagalan PDIP meraih
suara mayoritas. Elektabilitas Jokowi tidak signifikan mendongkrak
popularitas PDIP. Fenomena itu perlu menjadi bahan introspeksi bagi PDIP dan
menjadi pelajaran bahwa memenangi pemilu tidak cukup bermodal efek Jokowi.
Hasil hitung cepat itu menunjukkan pula kecerdasan pemilih, bahwa pemilih
bisa membedakan antara partai dan figur.
Gambaran
ke depan yang sudah jelas tampak adalah koalisi. Parlemen akan terdiri atas
kekuatan-kekuatan partai yang terdistribusi secara merata. Pemerintahan
koalisi tidak terhindarkan lagi. Publik berharap pemerintahan mendatang tidak
terjebak pada koalisi bagi-bagi kekuasaan yang gagap memberikan solusi bagi
persoalan-persoalan bangsa. Sekali lagi, kepentingan rakyat harus diletakkan
di garda terdepan dalam menghitung untung dan rugi koalisi. Percayalah, jika
mengutamakan masyarakat, sampai kapan pun mereka akan dibela. Sebaliknya,
jika melupakan rakyat, sampai kapan pun akan dimusuhi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar