Merindukan
Pemimpin Sejati
Ivan Hadar ; Direktur
Eksekutif Institute for Democracy Education
|
TEMPO.CO,
14 April 2014
Dalam
Pemilu 2014 ini, semakin terasa kerinduan rakyat akan sosok pemimpin sejati,
yaitu dia yang dicintai dan dipercaya luas. Tindakannya terasa dipenuhi niat
baik untuk kemaslahatan rakyat. Ketegasannya, menyiratkan kecintaan pada
keadilan. Keberpihakannya, teruji untuk yang lemah demi kesejahteraan semua.
Perilakunya
tulus, bukan sekadar pencitraan. Ia menjadi teladan, bersih dari tindakan
koruptif dan manipulatif, memiliki sense
of crisis serta menunjukkan keprihatinan atas berbagai beban yang sedang
dan bakal dipikul rakyat, terutama rakyat miskin.
Dalam
gegap gempita kampanye Pemilu 2014, saya teringat akan buku Jean Ziegler, Les Nouveaux Maitres du Monde (2002).
Dalam bab tentang demokrasi, Ziegler bercerita
tentang Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark, di mana para pejabat
tingginya berjalan kaki, naik sepeda, atau menggunakan kendaraan umum ke
kantor. Seorang presiden yang berangkat kerja dengan mobil dikawal belasan
mobil dan sepeda motor polisi dengan sirene meraung-raung diyakini mengurangi
suara untuk terpilih kembali.
Rumah
para pemimpin terkenal Eropa, seperti Olof Palmes (Swedia) dan Bruno Kresky
(Austria), pun terbilang sederhana dan ditempati sepanjang paruh terakhir
hidup mereka. Jelas, jauh berbeda dengan "istana" kebanyakan
pemimpin negara berkembang, termasuk Indonesia. Ziegler
menarik kesimpulan, semakin miskin sebuah bangsa, sering kali semakin mewah
kehidupan dan "perilaku aneh" elite penguasanya. Hal yang
lumrah di negeri ini. Betapa tidak.
Tampaknya,
dari tiga slogan revolusi Prancis yang mewarnai sistem demokrasi, terjadi
kecenderungan berikut. Ketika "kebebasan" politik merebak secara
global, termasuk di negeri ini, padanannya berupa "kesetaraan" dan
"persaudaraan" nyaris dilupakan. Welfare state yang mewajibkan negara memberi perlindungan bagi
warga miskin dianggap "jalan sesat" Eropa. Dalam
paradigma neo-liberal yang mendominasi praktek ekonomi global saat ini,
pemerataan dianggap bukanlah alat ampuh dalam melawan kemiskinan. Bahkan hal
tersebut dianggap memperparah keadaan.
Semua
itu dilandasi argumentasi yang sekilas terkesan masuk akal (plausible). Pertama, pemerataan akan
mengurangi kuota investasi. Setiap rupiah yang konon diinvestasikan kaum kaya
bersifat produktif, sebaliknya hanya akan dikonsumsi kaum papa. Kedua,
sebagian besar bantuan tidak akan sampai sasaran karena dikorup birokrasi.
Ketiga, yang menjadi asumsi Bank Dunia, pemerataan akan membahayakan
stabilitas politik dan bisa bermuara pada konflik kekerasan karena membuat
marah para "elite" (World
Bank Report, Attacking Poverty, 2000:56f).
Namun,
bagi Erhard Berner (Hilfe-lose
Illusionen, E+Z, 2005:6), semua itu secara teoretis rapuh, secara empiris
salah, dan bila dipraktekkan menjadi sesuatu yang sinis. Sebab, apa salahnya
orang miskin menggunakan dana bantuan untuk membeli makan, membayar uang
sekolah, dan menebus obat? Asumsi kelompok elite akan marah dan
mendestabilisasi pemerintahan di negara berkembang yang menjalankan strategi
pembangunan pro-poor mungkin
realistis. Namun, apakah layak untuk ikut membatasi kebijakan itu? Sementara
itu, asumsi orang miskin sama sekali tidak berinvestasi adalah sebuah
ignoransi.
Bagi
pembangunan, yang lebih penting daripada "investasi produktif"
adalah investasi bagi human capital masyarakat miskin, terutama kesehatan dan
pendidikan anak-anak. Dulu, banyak negara melakukan itu dan kini menuai
hasil, misalnya Malaysia dan Korea Selatan. Tanpa itu, berlaku
"lingkaran setan". Peningkatan tenaga kerja murah akan menurunkan
pendapatan yang tidak memungkinkan mereka untuk sehat dan pintar.
Dengan
pertumbuhan ekonomi (termasuk pro-poor
growth), kondisi ini tidak bisa diatasi. Bagi peneliti kemiskinan Michael
Lipton, "Kesenjangan ekstrem
adalah penyebab utama terganjalnya pertumbuhan." Kemiskinan massal,
menurut dia, bukan hanya akibat stagnasi ekonomi, tapi juga penyebab terpenting
stagnasi ekonomi itu sendiri (Pro-poor
Growth and Pro-growth Poverty Reduction: Meaning, Evidence, and Policy
Implications, 2000).
Bersama
Eastwood, Lipton menganjurkan strategi cerdas pro-growth poverty reduction. Dalam kerangka ini, pengeluaran
sosial untuk pendidikan dan kesehatan bukan biaya sia-sia, melainkan
investasi produktif dan pilar kebijakan ekonomi. Cerita sukses di Brasilia,
Vietnam, dan beberapa negara industri baru membenarkan analisis Lipton.
Pada
tataran makro-ekonomi, Howard White (National
and International Redistribution as Tools for Poverty Reduction, 2001)
secara empiris menunjukkan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi lewat
pemerataan. Pemerataan ikut meningkatkan kebebasan politik, kesetaraan, dan
persaudaraan anak bangsa. Karena itu, tanpa terwujudnya kesetaraan dan
persaudaraan yang berarti pemerataan belum dijadikan paradigma yang mewarnai
kebijakan ekonomi sebuah bangsa, siapa pun yang pernah menjadi pemimpin kelak
akan dilupakan, atau bahkan dihujat oleh rakyatnya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar