Presiden
Republik Sinetron
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan
|
TEMPO.CO,
19 April 2014
Indonesia
semakin menyerupai republik sinetron, serba gebyar dan instan. Berkat media,
seseorang mendadak populer, jadi idola massa dan digadang-gadang jadi
presiden tanpa harus memiliki jam terbang politik yang tinggi khas politikus
pejuang.
Para
aktivis politik, yang selama ini berdarah-darah, pun frustrasi. Fenomena ini
dianggap ganjil. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak pernah memperjuangkan
perubahan dan mengorganisasi rakyat bisa mengalami mobilitas vertikal begitu
cepat, bahkan sangat berpotensi menjadi presiden? Tradisi ketokohan
orang-orang besar, seperti Sukarno, Hatta, dan Sjahrir, yang erat dengan
pertarungan ideologis, perjuangan politik, pengap penjara, serta
pahatan-pahatan penderitaan, seolah pupus.
Sukarno,
Hatta, Sjahrir, dan tokoh-tokoh lainnya adalah tipikal politikus pejuang.
Tradisi yang mereka tempuh adalah tradisi proses. Proses itu berupa rangkaian
panjang ujian, baik secara intelektual (ideologis), mental, sosial, politik,
ekonomi, maupun kultural.
Tradisi
proses berbicara soal kemampuan menggali, mengeksploitasi ide, dan
mewujudkannya ke dalam tindakan secara intensif, kontinu, serta konsisten.
Penderitaan menjadi ongkos yang harus dibayar. Kekuatan menjalani proses dan
ketangguhan menjawab tantangan menjadikan mereka eksis, hadir. Ketokohan
adalah risiko yang harus mereka sandang. Dalam ketokohan, terbangun institusi
nilai yang menjadi acuan publik. Publik pun menaruh hormat dan kepercayaan
kepada tokoh. Tanpa bimbang, publik pun memberikan peran sosial kepada tokoh,
misalnya menjadi presiden atau penyelenggara negara lainnya.
Tradisi
proses untuk "menjadi" (istilah Erich Fromm) itulah yang kini
semakin pudar dalam jagat politik di negeri ini. Peran industri media telah
mengubah tradisi proses menjadi instan. Umumnya, media lebih bicara dari apa
yang "menarik", dan bukan apa yang "penting". Terminologi
"menarik" berkaitan dengan sensasi. Adapun terminologi
"penting" berhubungan dengan substansi. Atas nama kepentingan pasar
dan demi meraup keuntungan material yang besar, media menjual sensasi, bukan
substansi.
Media,
terutama televisi, menjadi penguasa yang sangat menentukan siapa pun yang
menjadi "tokoh". Kini makna tokoh tereduksi menjadi pesohor.
Politikus, penegak hukum, pedagang, pelaku kriminal yang tobat, tokoh agama,
seniman, dukun, tukang survei, bintang sinetron/film, birokrat, orang parlemen,
pelawak, penyanyi, militer, semua memiliki derajat yang sama: pesohor. Tak
penting gagasannya, tapi sensasinya.
Obsesi
para tokoh nasional saat ini adalah mampu menjadi media darling, sehingga
sangat sering tampil di banyak media. Elektabilitas mereka pun bisa
terdongkrak. Maka, banyak tokoh, termasuk para capres, mengerahkan segala
kemampuannya untuk disukai media.
Bangsa
ini menjadi celaka jika pilpres hanya menghasilkan presiden kelas sinetron
atau sosok yang tidak memiliki otentisitas personal dan intelektual khas
negarawan. Mitos-mitos tentang popularitas dan pencitraan harus dirobohkan
karena telah memperbodoh publik. Para pemimpin yang melumuri diri dengan
pencitraan dan popularitas terbukti tak mampu bekerja secara maksimal untuk
menyejahterakan rakyat, kecuali untuk hedonisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar