Pemihakan
Diplomasi Lesgislator Baru
Ludiro Madu ; Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional
UPN
”Veteran” Yogyakarta,
Peneliti
pada Indonesia Center for Democracy, Diplomacy, and Defence (IC3D) Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 19 April 2014
“Wakil rakyat perlu memahami isu-isu internasional
berkait kekuatan, kelemahan, tantangan, dan peluang”
PEMILIHAN
anggota legislatif 2014 belum final namun keterpilihan wakil rakyat yang baru
akan mewarnai dinamika diplomasi Indonesia lima tahun ke depan. Pada era
demokrasi ini, legislator merupakan salah satu aktor domestik yang menentukan
orientasi politik luar negeri. Presiden (eksekutif) bukan lagi merupakan
satu-satunya aktor dominan dalam merumuskan dan melaksanakan diplomasi,
seperti pada era sebelum reformasi 1998.
Ke
depan, anggota lembaga legislatif berperan merumuskan dan mengawasi
pelaksanaan program-program kerja sama internasional dan orientasi politik
luar negeri terkait dengan isu-isu internasional tertentu. Karena itu, mereka
perlu memahami tanggung jawabnya dalam menetapkan posisi, pengaruh, dan
orientasi politik luar negeri kita.
Setelah
1998, demokratisasi memungkinkan berbagai aktor domestik nonnegara
memengaruhi orientasi kebijakan luar negeri Indonesia. Warga, baik secara
individu maupun berkelompok, serta organisasi masyarakat, sosial, dan politik
dapat mewarnai diplomasi. Demikian pula anggota legislatif tak hanya terbatas
bekerja sama dengan Kemenlu tapi juga kementerian lain berkaitan dengan
berbagai isu internasional.
Aktor-aktor
tersebut dapat memaksa pemerintah untuk memberikan perhatian lebih pada
isu-isu yang terkait dengan keamanan manusia, seperti hak asasi manusia dan
lingkungan. Dalam dunia yang mengglobal seperti saat ini, kepentingan
nasional tidak lagi terbatas pada keamanan dan kedaulatan negara namun juga
harus berorientasi pada keamanan manusia.
Diplomasi
anggota legislatif juga memainkan peran penting dalam mendorong pemihakan
pemerintah kepada masyarakat di daerah-daerah pemilihan (dapil). Anggota
legislatif dapat menuntut pemerintah atau wakilnya untuk tidak begitu saja
menandatangani persetujuan bilateral, regional, dan internasional karena
dianggap merugikan masyarakat. Mereka bahkan dapat menolak ratifikasi
kesepakatan pemerintah Indonesia dengan aktor-aktor eksternal atau berkaitan
dengan isu-isu tertentu demi kepentingan masyarakat di dapilnya.
Isu
komunitas ASEAN 2015 misalnya, merupakan salah satu wacana regional yang
perlu menjadi prioritas pemahaman anggota legislatif 2014. Liberalisasi
ekonomi regional dalam bentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic
Community/MEA) tidak hanya menuntut kesiapan pemerintah dalam melaksanakan
kesepakatan regional.
Wujud Nyata
Keterwujudan
Masyarakat Ekonomi ASEAN memaksa anggota legislatif untuk memastikan dampak
dan kesiapan masyarakat di dapil-dapil mereka. Kampanye calon anggota
legislatif (caleg), yang banyak mengumbar janji perbaikan hidup masyarakat,
juga harus diwujudkan secara riil melalui pemihakan anggota legislatif yang
baru terhadap risiko-risiko kerugian dari MEA.
Diplomasi
anggota legislatif 2009-2014 memang cukup menonjol berkaitan dengan isu-isu
di luar negeri, seperti Palestina dan etnis Rohingya di Myanmar. Namun lebih
banyak isu lain yang menunjukkan anggota legislatif ternyata abai, bahkan
seperti tidak tahu-menahu mengenai kaitan isu internasional dan masalah
domestik, atau sebaliknya. Kalaupun kesadaran itu ada, hanya sedikit anggota
legislatif yang tergerak aktif. Sebagian besar hanya terpaku pada
pengetahuan.
Studi
banding anggota legislatif adalah contoh menarik. Kegiatan ini lebih sering
dianggap jalan-jalan, tidak serius, dan bersifat mendadak. Kunjungan ke luar
negeri pada musim panas misalnya, kurang koordinasi dengan perwakilan di luar
negeri, mitra di luar negeri yang tidak jelas, dan pemborosan anggaran
negara menjadi sebagian persoalan mendasar yang harus mengalami revisi dan
reorientasi.
Yang
banyak terlihat anggota legislatif seakan-akan tidak memahami kaitan antara studi
banding tersebut dan diplomasi yang sebenarnya mereka jalankan sendiri.
Karena itu, kunjungan anggota DPRD (tingkat I dan II) dan DPR ke berbagai
negara dalam bentuk studi banding atau apa pun harus memiliki urgensi
strategis.
Politik,
termasuk politik luar negeri, pada masa demokrasi ini bersifat lokal.
Diplomasi Indonesia memerlukan partisipasi dari berbagai elemen masyarakat,
termasuk anggota legislatif tingkat nasional dan daerah. Wakil rakyat perlu
memahami berbagai isu internasional berkaitan dengan kekuatan, kelemahan,
tantangan, dan peluang yang secara riil kita miliki, khususnya dapil mereka.
Tujuan akhir dari semua ini adalah pemihakan anggota legislatif periode
2014-2019 kepada konstituen di dapil masing-masing, seperti janji-janji yang
disampaikan semasa kampanye. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar