Minggu, 20 April 2014

Pemihakan Diplomasi Lesgislator Baru

Pemihakan Diplomasi Lesgislator Baru  

Ludiro Madu  ;   Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional
UPN ”Veteran” Yogyakarta,
Peneliti pada Indonesia Center for Democracy, Diplomacy, and Defence (IC3D) Jakarta
SUARA MERDEKA, 19 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
“Wakil rakyat perlu memahami isu-isu internasional berkait kekuatan, kelemahan, tantangan, dan peluang”

PEMILIHAN anggota legislatif 2014 belum final namun keterpilihan wakil rakyat yang baru akan mewarnai dinamika diplomasi Indonesia lima tahun ke depan. Pada era demokrasi ini, legislator merupakan salah satu aktor domestik yang menentukan orientasi politik luar negeri. Presiden (eksekutif) bukan lagi merupakan satu-satunya aktor dominan dalam merumuskan dan melaksanakan diplomasi, seperti pada era sebelum reformasi 1998.

Ke depan, anggota lembaga legislatif berperan merumuskan dan mengawasi pelaksanaan program-program kerja sama internasional dan orientasi politik luar negeri terkait dengan isu-isu internasional tertentu. Karena itu, mereka perlu memahami tanggung jawabnya dalam menetapkan posisi, pengaruh, dan orientasi politik luar negeri kita.

Setelah 1998, demokratisasi memungkinkan berbagai aktor domestik nonnegara memengaruhi orientasi kebijakan luar negeri Indonesia. Warga, baik secara individu maupun berkelompok, serta organisasi masyarakat, sosial, dan politik dapat mewarnai diplomasi. Demikian pula anggota legislatif tak hanya terbatas bekerja sama dengan Kemenlu tapi juga kementerian lain berkaitan dengan berbagai isu internasional.

Aktor-aktor tersebut dapat memaksa pemerintah untuk memberikan perhatian lebih pada isu-isu yang terkait dengan keamanan manusia, seperti hak asasi manusia dan lingkungan. Dalam dunia yang mengglobal seperti saat ini, kepentingan nasional tidak lagi terbatas pada keamanan dan kedaulatan negara namun juga harus berorientasi pada keamanan manusia.

Diplomasi anggota legislatif juga memainkan peran penting dalam mendorong pemihakan pemerintah kepada masyarakat di daerah-daerah pemilihan (dapil). Anggota legislatif dapat menuntut pemerintah atau wakilnya untuk tidak begitu saja menandatangani persetujuan bilateral, regional, dan internasional karena dianggap merugikan masyarakat. Mereka bahkan dapat menolak ratifikasi kesepakatan pemerintah Indonesia dengan aktor-aktor eksternal atau berkaitan dengan isu-isu tertentu demi kepentingan masyarakat di dapilnya.

Isu komunitas ASEAN 2015 misalnya, merupakan salah satu wacana regional yang perlu menjadi prioritas pemahaman anggota legislatif 2014. Liberalisasi ekonomi regional dalam bentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/MEA) tidak hanya menuntut kesiapan pemerintah dalam melaksanakan kesepakatan regional.

Wujud Nyata

Keterwujudan Masyarakat Ekonomi ASEAN memaksa anggota legislatif untuk memastikan dampak dan kesiapan masyarakat di dapil-dapil mereka. Kampanye calon anggota legislatif (caleg), yang banyak mengumbar janji perbaikan hidup masyarakat, juga harus diwujudkan secara riil melalui pemihakan anggota legislatif yang baru terhadap risiko-risiko kerugian dari MEA.

Diplomasi anggota legislatif 2009-2014 memang cukup menonjol berkaitan dengan isu-isu di luar negeri, seperti Palestina dan etnis Rohingya di Myanmar. Namun lebih banyak isu lain yang menunjukkan anggota legislatif ternyata abai, bahkan seperti tidak tahu-menahu mengenai kaitan isu internasional dan masalah domestik, atau sebaliknya. Kalau­pun kesadaran itu ada, hanya sedikit anggota legislatif yang tergerak aktif. Sebagian besar hanya terpaku pada pengetahuan.

Studi banding anggota legislatif adalah contoh menarik. Kegiatan ini lebih sering dianggap jalan-jalan, tidak serius, dan bersifat mendadak. Kun­jungan ke luar negeri pada musim panas misalnya, kurang koordinasi dengan perwakilan di luar negeri, mitra di luar negeri yang tidak jelas, dan pembo­rosan anggaran negara menjadi sebagian persoalan mendasar yang harus mengalami revisi dan reorientasi.

Yang banyak terlihat anggota legislatif seakan-akan tidak memahami kaitan antara studi banding tersebut dan diplomasi yang sebenarnya mereka jalankan sendiri. Karena itu, kunjungan anggota DPRD (tingkat I dan II) dan DPR ke berbagai negara dalam bentuk studi banding atau apa pun harus memiliki urgensi strategis.

Politik, termasuk politik luar negeri, pada masa demokrasi ini bersifat lokal. Diplomasi Indonesia memerlukan partisipasi dari berbagai elemen masyarakat, termasuk anggota legislatif tingkat nasional dan daerah. Wakil rakyat perlu memahami berbagai isu internasional berkaitan dengan kekuatan, kelemahan, tantangan, dan peluang yang secara riil kita miliki, khususnya dapil mereka. Tujuan akhir dari semua ini adalah pemihakan anggota legislatif periode 2014-2019 kepada konstituen di dapil masing-masing, seperti janji-janji yang disampaikan semasa kampanye.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar