Menakar
Kebijakan Luar Negeri Indonesia
Teuku Faizasyah ; Juru Bicara Presiden Bidang Hubungan Internasional
|
TEMPO.CO,
19 April 2014
Laporan Lowy Institute (Februari 2014)
mengenai politik luar negeri berjudul More
Talk than Walk: Indonesia as a Foreign Policy Actor menarik dicermati
pada tahun politik ini. Laporan tersebut berpendapat bahwa politik luar
negeri Indonesia masih belum cukup berpengaruh-tidak hanya di masa kini,
namun juga untuk lima tahun mendatang.
Tulisan
ini menyoal laporan tersebut dari dua perspektif. Pertama, dengan melihat
sepuluh tahun politik luar negeri Indonesia di era Presiden Yudhoyono (SBY).
Kedua, dengan menerawang harapan atas wajah politik luar negeri Indonesia
pada era setelah pemerintah Presiden SBY.
Sejatinya,
dalam sepuluh tahun terakhir, politik luar negeri Indonesia dan tampilan
diplomasinya masih merupakan satu kelanjutan kontinum politik luar negeri.
Indonesia terbukti memiliki kapasitas untuk mempengaruhi dinamika diplomasi,
baik di tataran kawasan maupun global.
Pada
2009, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dengan lugas menyatakan bahwa
politik luar negeri yang akan dijalankan merupakan continuity and change. Dalam perjalanannya, wajah diplomasi
Indonesia juga diwarnai oleh minat tinggi Presiden SBY atas politik luar
negeri dan diplomasi.
Bali Democracy Forum (BDF)
yang diluncurkan pada 2008 juga merupakan suatu inovasi diplomasi. BDF
merupakan satu-satunya forum antar-pemerintah di Asia yang memungkinkan
terjadinya saling tukar pengalaman terbaik mengenai penerapan nilai-nilai
demokrasi-home-grown democracy.
Inovasi
diplomasi juga dimajukan melalui instrumen soft diplomacy. Program Presidential
Friends of Indonesia yang digelar sejak 2008 adalah contoh soft diplomacy yang berhasil
melahirkan banyak sahabat-sahabat baru Indonesia.
Sementara
itu, dalam penanganan isu-isu global, adalah satu keniscayaan bahwa Indonesia
memang memiliki keterbatasan untuk dapat mempengaruhi penanganan isu-isu
global tertentu. Konflik Arab-Israel adalah contoh konflik regional dengan
ramifikasi global yang sulit diatasi.
Presiden
SBY berpendapat bahwa geo-politik di Timur Tengah menyebabkan Indonesia
bersikap realistis dalam melihat apa yang dapat dilakukannya melalui
diplomasi. Ihwal konflik Suriah, misalnya, dan dalam konteks upaya global
memelihara perdamaian dan keamanan internasional, Indonesia aktif mendorong
komunitas internasional untuk memperkuat mekanisme Chapter VI and half dari
piagam PBB. Pendekatan ini memungkinkan PBB untuk "memaksakan
perdamaian" (enforcing peace).
Rasanya
tidak adil apabila kondisi obyektif dalam konteks global ini tidak cukup
diperhitungkan Lowy Institute dalam
menilai kapasitas Indonesia. Sama halnya, tidak adil rasanya apabila upaya
Indonesia mengarus-utamakan secara global agenda pembangunan berkelanjutan (sustainable growth with equity) juga
dinihilkan. Presiden SBY-dalam kapasitasnya sebagai ketua bersama panel
internasional tingkat tinggi untuk merumuskan agenda pembangunan global
pasca-MDGs 2015-berhasil mendorong penerimaan panel atas agenda ini.
All politics is local yang
menjadi mantra dalam dunia perpolitikan di AS rupanya juga menjadi
keniscayaan dalam perpolitikan di Indonesia. Setidaknya, politik luar negeri
Indonesia bukanlah topik yang mendapat perhatian tinggi dalam wacana politik
lintas partai menjelang pemilihan legislatif dan mungkin juga menjelang
pemilihan presiden nanti.
Namun,
terlepas dari kenyataan ini, bukanlah suatu kesia-siaan apabila berbagai
komponen masyarakat di Indonesia dan negara-negara sahabat Indonesia mulai
diakrabkan dengan platform politik luar negeri masing-masing partai. Apabila
tidak atas isu-isu khusus, setidaknya besaran politik luar negeri yang akan
dijalankan nantinya tepat waktu untuk dikomunikasikan.
Sejatinya,
banyak pihak berharap politik luar negeri Indonesia selepas pemerintah
Presiden SBY masih merupakan suatu keberlanjutan kebijakan (continuity). Perubahan (change) bukanlah ditabukan, karena
berkaitan dengan platform partai pemenang pemilu serta sejauh mana presiden
terpilih menaruh minat pada politik luar negeri. Sebagai salah satu negara
anggota G-20, mau-tidak mau Presiden RI nantinya layak menaruh minat pada
politik luar negeri.
Wujud
minat Presiden SBY atas politik luar negeri tampak nyata saat KTT Climate
Change di Kopenhagen (Desember 2009). Dalam KTT ini, Presiden SBY dan
Presiden Obama merupakan dua dari 26 kepala negara/pemerintah yang secara
langsung menegosiasikan (drafting)
dokumen akhir konferensi-Copenhagen
Accord. Hingga tengah malam, mereka tekun memperdebatkan paragraf demi
paragraf dari Accord tersebut.
Menutup
tulisan ini, kiranya patut untuk direnungkan satu kisah keberhasilan Presiden
SBY membangun kenyamanan dalam hubungan antarnegara di kawasan. Dalam satu
pertemuan tertutup pada Maret 2013, seorang presiden negara tetangga dengan
berkaca-kaca menyampaikan apresiasinya atas peran Presiden SBY dalam
membangun persahabatan di antara kedua negara, bangsa, dan di antara kedua
pemimpin. Presiden tersebut mempertanyakan masa depan hubungan bilateral
negaranya dengan Indonesia selepas masa pemerintahan Presiden SBY.
Saat
itu, Presiden SBY tidaklah bisa memberi jawaban yang pasti, karena jawabannya
berpulang pada Presiden RI mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar