Alat
Ukur Hasil Pembangunan
Khudori ; Pegiat Asosiasi
Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
|
MEDIA
INDONESIA, 09 April 2014
PEMERINTAH berencana mengubah
pelbagai asumsi makro APBN 2014. Perubahan dilakukan karena berbagai asumsi
di APBN tak lagi mencerminkan kondisi riil. Dua indikator yang akan diubah
ialah nilai tukar rupiah dan lifting minyak dan gas (migas). Rupiah telah terdepresiasi
cukup dalam dari asumsi APBN 2014 yang sebesar Rp10.500 per dolar AS. Lifting
tahun ini diprediksi hanya 800.000-830.000 barel per hari, lebih rendah
daripada asumsi APBN 2014 (870.000 barel per hari). Indikator lain, seperti
pertumbuhan ekonomi, inflasi, harga minyak, dan tingkat suku bunga SPN 3
bulan masih mencerminkan kondisi riil.
Selama bertahun-tahun, oleh
pemerintah pelbagai indikator makro itu dipakai untuk mengukur kinerja
pemerintah dan hasil pembangunan. Pemerintah tampak `alergi' saat PDI
Perjuangan pada 2012 mengusulkan pengangguran dan kemiskinan sebagai dua
indikator dalam asumsi makro APBN. PDI Perjuangan beralasan, indikator itu
bertujuan menentukan realisasi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Gugatannya selama ini pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi ukuran rakyat
sejahtera apa? Siapa yang menikmati pertumbuhan itu?
Saat ekonomi dunia loyo,
pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat tinggi. Namun, pertumbuhan itu hanya
didorong sektor modern atau non-tradable,
seperti sektor keuangan, jasa, realestat, transportasi dan komunikasi, dan
perdagangan/ hotel/ restoran. Pada 2013, pertumbuhan sektor ini cukup tinggi,
melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional (5,78%). Sebaliknya, sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan
manufaktur) hanya tumbuh rendah, jauh di bawah rata-rata. Ketimpangan
pertumbuhan sektor tradable vs nontradable memiliki implikasi serius karena
terkait pembagian kue dan surplus ekonomi.
Sektor non-tradable bersifat
padat modal, teknologi, dan pengetahuan. Pelakunya segelintir. Sebaliknya,
sektor tradable padat tenaga kerja. Karena sifatnya itu, penyerapan tenaga
kerja sektor non-tradable lebih kecil daripada sektor tradable. Ini tak hanya
berimplikasi pada penyerapan total tenaga kerja yang rendah, tapi juga menyentuh
dimensi kesejahteraan: tumbuh, tapi tidak (semuanya) sejahtera.
Kontribusi
sektor pertanian pada PDB nasional pada 2013 hanya 14%. Padahal, sektor ini
menampung 41% dari total tenaga kerja. Akibatnya, sektor pertanian kian
involutif, yang ditandai masifnya tingkat kemiskinan di perdesaan.
Defisit kesejahteraan
Ini memunculkan disparitas
pendapatan antarpenduduk. Kesenjangan kian melebar, seperti syair lagu: yang
kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Ini terlihat dari naiknya Gini
ratio: dari 0,32 pada 2004 jadi 0,41 pada 2011 (makin tinggi berarti makin
timpang). Sejak gemuruh pembangunan dilakukan pada 1966, ini pertama kalinya
Gini ratio Indonesia masuk ketimpangan menengah (di bawah 0,4 masuk
ketimpangan rendah). Pembangunan hanya dinikmati sekelompok kelas ekonomi.
Artinya, bila kemiskinan absolut menurun, kemiskinan relatif meningkat.
Kesenjangan yang melebar itu menandai defisit kesejahteraan.
Ini kelemahan mengukur
pembangunan yang lebih banyak terpaku pada pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan pendapatan
bruto kotor/PDB). Hidup bukan hanya soal uang, melainkan juga soal kesehatan,
pendidikan, keamanan, kenyamanan, lingkungan, kontinuitas di masa depan, tata
kelola pemerintahan yang baik, dan banyak hal lagi.
Ini semua tidak bisa
dicakup PDB, perlu indikator lain. PDB adalah indeks tentang output
perekonomian keseluruhan suatu negara, hitungan hasil produksi (barang dan
jasa) pabrik, panen petani, penjualan ritel, dan belanja konstruksi. Hitungan
dilakukan dalam rentang tertentu. Angka itu berfungsi memadatkan luasnya
perekonomian nasional ke satu data tunggal dengan densitas luar biasa.
Anggapan umum, kian besar PDB kian makmur negeri dan warga. Padahal, tidak
demikian.
PDB mencatat produksi
barang-jasa di suatu negara, tak peduli siapa yang membuat. Misalnya,
perusahaan asing berinvestasi di Indonesia mengeduk minyak, emas, dan batu
bara, semua kekayaan mineral yang diangkat dari bumi Indonesia ialah PDB
Indonesia. Semua mineral itu milik investor asing. Pemerintah Indonesia
kebagian pajak dan royalti yang kecil. Mereka juga mempekerjakan para buruh
Indonesia, tetapi gajinya rendah. Bagian terbesar dari hasil itu milik
investor asing. Statistik kita mencatatnya sebagai PDB Indonesia. Jika
barangnya diekspor, statistik kita mencatat ekspor Indonesia meningkat.
Padahal, milik asing.
Ada banyak ketidakpuasan atas
pengukuran tunggal itu. Pada 24 Mei 2011, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD) yang amat bergengsi itu mendeklarasikan indeks kebahagiaan
(your beter life index), indeks pengganti
PDB. Sejak didirikan 1961, OECD selalu memakai pertumbuhan ekonomi sebagai
ukuran utama keberhasilan perekonomian dan sosial. Pertumbuhan pendapatan nasional
boleh tinggi, tapi apa gunanya jika lingkungan rusak, orang tidak sehat, dan
hidup tak nyaman? Itu salah satu alasan OECD kini memakai 11 indikator untuk
mengukur kemajuan perekonomian: mencakup pendapatan, perumahan, pekerjaan,
masyarakat, pendidikan, lingkungan, pemerintahan, kesehatan, kepuasan hidup,
keamanan, serta keseimbangan pekerjaan dan hidup (Ananta, 2011).
Jauh sebelum itu, Bhutan, sebuah
negara kecil di pegunungan Himalaya, sejak 1972 telah memperkenalkan indeks
kebahagiaan nasional (gross national
happiness), bukan indeks pendapatan nasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) pada 1990 juga telah menciptakan alternatif pengukuran pembangunan:
indeks pembangunan manusia (human
development index/HDI). Itu merupakan kombinasi dari pendapatan,
pendidikan, dan kesehatan. Tiap tahun PBB mengukur pembangunan di berbagai
negara dengan indeks ini. Namun, PBB tak dapat memaksakan semua negara
melaksanakan konsep ini. Hampir semua negara, termasuk Indonesia, memakai HDI
dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan. Namun, HDI masih dilihat hanya
dipakai sebagai catatan pelengkap dalam melihat keberhasilan pembangunan.
Kini juga kian banyak ekonom di dunia yang kecewa pada
pertumbuhan ekonomi sebagai pengukur utama pembangunan ekonomi. Para ekonom
dunia, seperti Joseph Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paui Fitoussi pada 2009
menghasilkan laporan yang menyarankan alternatif pengukuran pembangunan
ekonomi, bukan pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, PDB tidak hanya gagal
menggambarkan kesejahteraan nyata masyarakat, tapi juga memelencengkan tujuan
politik global ke arah pengejaran pertumbuhan ekonomi semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar