Kamis, 10 April 2014

Alat Ukur Hasil Pembangunan

Alat Ukur Hasil Pembangunan

Khudori  ;   Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
MEDIA INDONESIA, 09 April 2014
                                     
                                                                                         
                                                             
PEMERINTAH berencana mengubah pelbagai asumsi makro APBN 2014. Perubahan dilakukan karena berbagai asumsi di APBN tak lagi mencerminkan kondisi riil. Dua indikator yang akan diubah ialah nilai tukar rupiah dan lifting minyak dan gas (migas). Rupiah telah terdepresiasi cukup dalam dari asumsi APBN 2014 yang sebesar Rp10.500 per dolar AS. Lifting tahun ini diprediksi hanya 800.000-830.000 barel per hari, lebih rendah daripada asumsi APBN 2014 (870.000 barel per hari). Indikator lain, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, harga minyak, dan tingkat suku bunga SPN 3 bulan masih mencerminkan kondisi riil.

Selama bertahun-tahun, oleh pemerintah pelbagai indikator makro itu dipakai untuk mengukur kinerja pemerintah dan hasil pembangunan. Pemerintah tampak `alergi' saat PDI Perjuangan pada 2012 mengusulkan pengangguran dan kemiskinan sebagai dua indikator dalam asumsi makro APBN. PDI Perjuangan beralasan, indikator itu bertujuan menentukan realisasi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Gugatannya selama ini pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi ukuran rakyat sejahtera apa? Siapa yang menikmati pertumbuhan itu?

Saat ekonomi dunia loyo, pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat tinggi. Namun, pertumbuhan itu hanya didorong sektor modern atau non-tradable, seperti sektor keuangan, jasa, realestat, transportasi dan komunikasi, dan perdagangan/ hotel/ restoran. Pada 2013, pertumbuhan sektor ini cukup tinggi, melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional (5,78%). Sebaliknya, sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) hanya tumbuh rendah, jauh di bawah rata-rata. Ketimpangan pertumbuhan sektor tradable vs nontradable memiliki implikasi serius karena terkait pembagian kue dan surplus ekonomi.

Sektor non-tradable bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan. Pelakunya segelintir. Sebaliknya, sektor tradable padat tenaga kerja. Karena sifatnya itu, penyerapan tenaga kerja sektor non-tradable lebih kecil daripada sektor tradable. Ini tak hanya berimplikasi pada penyerapan total tenaga kerja yang rendah, tapi juga menyentuh dimensi kesejahteraan: tumbuh, tapi tidak (semuanya) sejahtera. 

Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional pada 2013 hanya 14%. Padahal, sektor ini menampung 41% dari total tenaga kerja. Akibatnya, sektor pertanian kian involutif, yang ditandai masifnya tingkat kemiskinan di perdesaan.

Defisit kesejahteraan

Ini memunculkan disparitas pendapatan antarpenduduk. Kesenjangan kian melebar, seperti syair lagu: yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Ini terlihat dari naiknya Gini ratio: dari 0,32 pada 2004 jadi 0,41 pada 2011 (makin tinggi berarti makin timpang). Sejak gemuruh pembangunan dilakukan pada 1966, ini pertama kalinya Gini ratio Indonesia masuk ketimpangan menengah (di bawah 0,4 masuk ketimpangan rendah). Pembangunan hanya dinikmati sekelompok kelas ekonomi. Artinya, bila kemiskinan absolut menurun, kemiskinan relatif meningkat. Kesenjangan yang melebar itu menandai defisit kesejahteraan.

Ini kelemahan mengukur pembangunan yang lebih banyak terpaku pada pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan pendapatan bruto kotor/PDB). Hidup bukan hanya soal uang, melainkan juga soal kesehatan, pendidikan, keamanan, kenyamanan, lingkungan, kontinuitas di masa depan, tata kelola pemerintahan yang baik, dan banyak hal lagi. 

Ini semua tidak bisa dicakup PDB, perlu indikator lain. PDB adalah indeks tentang output perekonomian keseluruhan suatu negara, hitungan hasil produksi (barang dan jasa) pabrik, panen petani, penjualan ritel, dan belanja konstruksi. Hitungan dilakukan dalam rentang tertentu. Angka itu berfungsi memadatkan luasnya perekonomian nasional ke satu data tunggal dengan densitas luar biasa. Anggapan umum, kian besar PDB kian makmur negeri dan warga. Padahal, tidak demikian.

PDB mencatat produksi barang-jasa di suatu negara, tak peduli siapa yang membuat. Misalnya, perusahaan asing berinvestasi di Indonesia mengeduk minyak, emas, dan batu bara, semua kekayaan mineral yang diangkat dari bumi Indonesia ialah PDB Indonesia. Semua mineral itu milik investor asing. Pemerintah Indonesia kebagian pajak dan royalti yang kecil. Mereka juga mempekerjakan para buruh Indonesia, tetapi gajinya rendah. Bagian terbesar dari hasil itu milik investor asing. Statistik kita mencatatnya sebagai PDB Indonesia. Jika barangnya diekspor, statistik kita mencatat ekspor Indonesia meningkat. Padahal, milik asing.

Ada banyak ketidakpuasan atas pengukuran tunggal itu. Pada 24 Mei 2011, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang amat bergengsi itu mendeklarasikan indeks kebahagiaan (your beter life index), indeks pengganti PDB. Sejak didirikan 1961, OECD selalu memakai pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran utama keberhasilan perekonomian dan sosial. Pertumbuhan pendapatan nasional boleh tinggi, tapi apa gunanya jika lingkungan rusak, orang tidak sehat, dan hidup tak nyaman? Itu salah satu alasan OECD kini memakai 11 indikator untuk mengukur kemajuan perekonomian: mencakup pendapatan, perumahan, pekerjaan, masyarakat, pendidikan, lingkungan, pemerintahan, kesehatan, kepuasan hidup, keamanan, serta keseimbangan pekerjaan dan hidup (Ananta, 2011).

Jauh sebelum itu, Bhutan, sebuah negara kecil di pegunungan Himalaya, sejak 1972 telah memperkenalkan indeks kebahagiaan nasional (gross national happiness), bukan indeks pendapatan nasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1990 juga telah menciptakan alternatif pengukuran pembangunan: indeks pembangunan manusia (human development index/HDI). Itu merupakan kombinasi dari pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Tiap tahun PBB mengukur pembangunan di berbagai negara dengan indeks ini. Namun, PBB tak dapat memaksakan semua negara melaksanakan konsep ini. Hampir semua negara, termasuk Indonesia, memakai HDI dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan. Namun, HDI masih dilihat hanya dipakai sebagai catatan pelengkap dalam melihat keberhasilan pembangunan.

Kini juga kian banyak ekonom di dunia yang kecewa pada pertumbuhan ekonomi sebagai pengukur utama pembangunan ekonomi. Para ekonom dunia, seperti Joseph Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paui Fitoussi pada 2009 menghasilkan laporan yang menyarankan alternatif pengukuran pembangunan ekonomi, bukan pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, PDB tidak hanya gagal menggambarkan kesejahteraan nyata masyarakat, tapi juga memelencengkan tujuan politik global ke arah pengejaran pertumbuhan ekonomi semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar