Selasa, 08 April 2014

Pendidikan Kewarganegaraan dan Makna Perubahan UUD 1945

Pendidikan Kewarganegaraan

dan Makna Perubahan UUD 1945

Usep Fathuddien ;   Badan Pekerja MPR 2000-2004
MEDIA INDONESIA, 07 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
PENDIDIKAN kewarganegaraan (civic education) dalam struktur kurikulum pendidikan kita telah beberapa kali mengalami perubahan penamaan. Dulu kita mengenal mata ajar civic, kemudian pendidikan moral Pancasila (PMP), pendidikan kewarganegaraan (PKN), dan sekarang menjadi pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan. Dari sudut tersebut sesungguhnya kita seperti tak memiliki rasa percaya diri dan kebanggaan bahwa negara ini dibangun berdasarkan UUD 1945 yang memiliki basis kultural, tradisi, dan keagamaan yang beragam dan majemuk.

Secara pedagogis, UUD 1945 yang pernah mengalami perubahan (amendemen) tak banyak dipahami masyarakat, terutama peserta didik di tingkat sekolah menengah dan perguruan tinggi. Seyogianya masyarakat perlu dan berhak untuk mengetahui, sampai sejauh mana perubahan UUD 1945 itu sudah terjadi dan seberapa luas dan dalam implikasi yang juga sudah terjadi dari sisi kehidupan bernegara. Sudah berapa kali perubahan UUD 1945 dan berapa banyak atau berapa luas perubahan dalam empat tahun amendemen UUD 1945?

Jawaban pertanyaan pertama ialah perubahan UUD 1945 baru dilakukan satu kali, yaitu yang terjadi selama empat tahun persidangan MPR pada 1999-2002. Itu pertama kali sejak UUD 1945 diberlakukan pada 18 Agustus 1945 atau perubahan terjadi setelah lebih 50 tahun Indonesia merdeka. Sesuai dengan amanat the founding fathers, Bung Karno dan Bung Hatta, kedua tokoh bangsa tersebut pada 1945 menyatakan perlunya penyempurnaan UUD 1945 di kemudian hari.

Sebagai gambaran, Konstitusi Amerika Serikat yang disahkan pada 1789 (setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 1776), pada 1791 atau dua tahun kemudian, pada 15 Desember, sudah mengalami amendemen pertama, dengan dimasukkannya pasal-pasal tentang hak asasi manusia. Jadi perubahan UUD 1945 bukan empat kali sebagaimana banyak disampaikan sejumlah tokoh masyarakat. 

Perubahan itu baru satu kali, yaitu pada persidangan MPR 1999-2002.
Jika perubahan itu baru satu kali, kenapa perlu empat tahun persidangan? Itu semata-mata karena banyaknya yang diubah, yang menyangkut hampir 90% UUD kita. Artinya, yang diubah tahun pertama, pada tahun kedua tidak diubah lagi. Juga hasil perubahan tahun ke-3, tidak mengubah hasil perubahan tahun ke-1, ke-2. Demikian juga perubahan tahun ke-4, tidak mengubah hasil perubahan tiga tahun sebelumnya. Jadi jelas, bukan empat kali perubahan, melainkan sekali perubahan di dalam masa empat kali persidangan 1999-2002.

Pertanyaan kedua, berapa banyak yang diubah? Di manamana, pada umumnya, perubahan suatu undang-undang dasar tidak akan terlalu besar? Kecuali bila ada perubahan sistem pemerintahan, misal dari presidensial ke sistem parlementer atau sebaliknya, atau lebih buruk lagi ke sistem kerajaan, misalnya. Dalam satu sistem yang tetap, seperti presidensial di negara kita, perubahan 30% sudah dianggap sangat besar, kan? Yang pantas, perubahan adalah 10%–20% saja.

Yang tetap dan yang berubah

Akan tetapi, perubahan UUD 1945 dalam masa empat tahun persidangan MPR 1999-2002 mengubah 31 pasal dari 37 pasal UUD 1945 (84%) atau hanya 6 pasal yang utuh tidak mengalami perubahan sama sekali. Yang tidak berubah adalah (1) Pasal 4 tentang presiden, wapres, dan kekuasaannya; (2) Pasal 10 bahwa presiden memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan AU; (3) Pasal 12 tentang wewenang presiden menyatakan SOB; (4) Pasal 25 syarat menjadi dan pemberhentian hakim ditetapkan UU; (5) Pasal 29 tentang Agama; dan (6) Pasal 35 tentang bendera negara ialah merah putih.

Nah kalau perubahan itu menyangkut 31 pasal dari 37 pasal UUD 1945 atau menyangkut 84% dari seluruh pasal, bahkan kalau melihat jumlah ayatnya, yang semula 49 ayat dan diubah menjadi 197 ayat, perubahan itu meliputi lebih dari 90%. Karena itu, selayaknya UUD 1945 diubah namanya menjadi UUD 2000, bukan lagi UUD 1945. Dengan melihat jumlah perubahan pasal-pasal UUD 1945, kita bisa menyimpulkan memang perubahan itu sangat besar, hampir menyangkut seluruh pasal. Yaitu: bab-bab UUD 1945 berubah dari 16 menjadi 21 bab, jumlah pasal dari 37 menjadi 73 atau bertambah menjadi hampir 200%, dan jumlah ayat dari semula 49 ayat menjadi 195 ayat atau bertambah lebih dari 300%.

Dengan kondisi seperti itu, sekali lagi sungguh suatu harapan yang wajar bila UUD 1945 sekarang hendaknya diubah namanya, bukan lagi UUD 1945, melainkan menjadi UUD 2000 (di Prancis, setiap perubahan konstitusi, maka diadakan perubahan penyebutan sebagai Republik I, II, III, dst).

11 perubahan penting

Dari sisi isinya secara umum, secara kuantitatif, dalam UUD 1945 sekarang setelah empat tahun perubahan, dapat kita catat yang menyangkut peran lembaga eksekutif diatur dalam 9 bab dan 32 pasal, ma salah legislatif diatur dalam 5 bab dan 18 pasal, masalah yudikatif diatur dalam 1 bab dan 5 pasal, serta masalah umum diatur dalam 7 bab dan 20 pasal. Dengan perubahan seperti itu, memang konstelasi ketatanegaraan kita mengalami banyak perubahan. DPR menjadi sedikit lebih kuat karena DPR setelah amendemen dapat mengajukan RUU (Pasal 20 ayat 1). Akan tetapi, secara keseluruhan, pemerintahan negara kita tetap heavy eksekutif. Jumlah pasal setelah perubahan, untuk legislatif meliputi 4 bab, 16 pasal, dan 39 ayat. Sementara itu, untuk eksekutif tercatat 9 bab, 32 pasal, dan 83 ayat. Jadi hampir dua kali pengaturan legislatif.

Hemat saya, hal itu tidak aneh karena pada UUD lama yang dirancang Bung Karno (sebagai ketua perancang UUD), pada Juni dan Juli 1945, memang dipersiapkan untuk heavy eksekutif. Itulah yang menimbulkan `kudeta diam-diam' Hatta pada November 1945 dengan Maklumat X dan Maklumat Pemerintah yang menumbuhkan partai-partai politik (lihat buku Pergeseran Eksekutif oleh dosen UI Prof Dr Harun Arrasyid).

Perubahan saat ini, misalnya, semula, yang berhak mengajukan RUU untuk menjadi UU hanya pemerintah, tapi kini DPR pun mempunyai hak inisiatif. Hak inisiatif pemerintah sampai sekarang tetap dimiliki pemerintah (Pasal 5 ayat 1). Kekuasaan presiden dibatasi dalam masa jabatannya, yaitu hanya dua kali lima tahun, bila terpilih pada masa jabatan kedua.

Yang menolak perubahan

Perubahan terhadap UUD 1945, yang terjadi 1999-2002, sangat banyak, yaitu mencapai 80%–90%. Apakah masih perlu perubahan UUD 1945 yang kedua? Jelas perlu. Beberapa hal, untuk lebih mantapnya demokrasi yang kita kembangkan, memang masih memerlukan penyempurnaan. Walaupun demikian, perlu pula kita singgung sedikit usulan sejumlah mantan perwira tinggi TNI, yang dipimpin Bapak Jenderal Tri Sutrisno, tentang keinginan meniadakan hasil amendemen empat tahun di atas dan kembali menegakkan UUD 1945 yang asli, yang awal, yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Alasannya, karena UUD 1945 adalah UUD revolusi, UUD ‘keramat’ bagi mereka sehingga tidak layak dilakukan perubahan.

Terhadap gagasan yang antiperubahan itu, saya ingin menyampaikan pandangan singkat. Pertama, Bung Karno menjelang pengesahan UUD 1945, pada 18 Agustus 1945 menegaskan bahwa UUD 1945 di kemudian hari perlu disempurnakan. Ia katakan bahwa UUD 1945 adalah UUD revolusi yang sangat singkat yang harus disempurnakan setelah kita cukup waktu di era merdeka. Selain itu, Bung Hatta memberi pengantar setelah perubahan naskah proklamasi berupa Piagam Jakarta, khususnya setelah kata ketuhanan, dengan menghapus tujuh patah kata ‘dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya’, dan diganti dengan ‘Yang Maha Esa’. Kala itu Bung Hatta menyatakan UUD 1945 harus disempurnakan (lihat Risalah Sidang BPUPKI– PPKI oleh Sekretariat Negara RI, 1998, hal 550).

Selain itu, UUD 1945, karena sangat singkat, telah melahirkan dua pemerintahan yang otoriter dan semidiktator. Pemerintahan Bung Karno 19591965 adalah pemerintahan otoriter, diktatorial. Bung Karno juga mau menunjukkan watak otoriter dengan membentuk satu-satunya partai politik, PNI. Bung Karno juga tidak tunduk kepada KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang hanya sebagai pembantu presiden (Aturan Peralihan Pasal IV).

Jelasnya, UUD 1945 lama yang amat singkat itu, yang menurut Bung Karno dan Bung Hatta harus diperbaiki, memang tidak selayaknya dipertahankan dan wajar kalau MPR di era Amien Rais (19992004) melakukan amendemen pertama kali selama empat tahun persidangan, yang menjadikan UUD lebih rinci dan relatif berimbang, tidak terlalu heavy pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar