Pemilu
Legislatif dan Pemulihan Daulat Rakyat
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata
Negara Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas
Andalas, Padang
|
MEDIA
INDONESIA, 07 April 2014
“Cara
paling sederhana dalam menelusuri rekam jejak calon dan/atau parpol peserta
Pemilu Legislatif 2014 ialah dengan menghitung jumlah aktivis partai yang
menjadi pelaku kasus korupsi yang ditangani KPK, kejaksaan, dan kepolisian.”
PEMUNGUTAN suara dalam pemilihan
umum (pemilu) anggota DPR, DPD, dan DPRD 2014 yang akan berlangsung pada Rabu
(9/4) dapat dikatakan sebagai semacam pertaruhan berbagai kepentingan. Bagi
mereka yang berada dalam posisi sebagai calon, pemungutan suara tersebut akan
menjadi saat yang paling menegangkan. Paling tidak, apakah mereka memiliki
kesempatan mengisi kursi anggota DPR, DPD, dan DPRD selama lima tahun ke
depan? Tak hanya itu, bagi sebagian calon, hasil pemungutan suara akan
menjadi pertaruhan masa depan karier politik mereka.
Jauh lebih luas dari nasib
perseorangan, pilihan rakyat pada 9 April ini tak hanya menjadi penentuan
bagi calon anggota legislatif, tetapi sekaligus menjadi penentuan bagi partai
politik peserta pemilu. Dengan menggunakan lokus pengisian kursi DPR, 12
parpol peserta pemilu nasional secara minimal harus mampu memenuhi ambang
batas minimal suara sah secara nasional 3,5% (parliamentary threshold). Jika batasan tersebut tak dipenuhi,
parpol peserta pemilu secara nasional akan kehilangan hak menjadi bagian
kekuatan politik di DPR.
Berkaca dari kedua kondisi
tersebut, pertautan antara pemenuhan kepentingan perseorangan dan kepentingan
parpol memberikan peluang kepada pemilih untuk memulihkan kembali daulat
rakyat dalam penyelenggaraan pemilu seperti termaktub di dalam Pasal 1 ayat
(2) UUD 1945. Sebagai sebuah agenda bernegara yang hadir berkala sekali lima
tahun, seharusnya momentum pemilu dijadikan pemegang daulat rakyat untuk
membuat perhitungan dengan calon anggota legislatif dan sekaligus perhitungan
dengan parpol.
Sebagai sarana mewujudkan
prinsip daulat rakyat, penyelenggaraan pemilu tak hanya menjadi sarana
`menegur', tetapi juga momentum mengembalikan kesadaran politikus dan parpol
bahwa mereka tidak boleh dan tidak seharusnya berjarak dengan rakyat.
Karenanya, dalam konteks demokrasi, pemilu dimaksudkan untuk menghadirkan
mandat baru dan sekaligus kesempatan bagi rakyat untuk menganulir mandat yang
diberikan pada periode sebelumnya. Dengan bahasa yang lebih sederhana, agenda
pemilu menjadi waktu yang tepat bagi rakyat untuk membuat perhitungan dengan
politisi dan partai politik.
Rekam jejak
Di antara instrumen yang
memungkinkan membuat perhitungan dengan calon dan/atau parpol yang menjadi
pelaku utama dalam Pemilu Legislatif 2014 yaitu membuka dan membaca kembali
rekam jejak (track record) mereka.
Yang paling umum dilakukan ialah dengan cara melihat kinerja calon dan parpol
yang dihasilkan Pemilu 2009. Dalam masalah ini, secara umum ialah melihat
kinerja mereka selama berada di lembaga legislatif baik di pusat maupun di
daerah.
Sebagai sebuah institusi yang
diberi posisi konstitusional yang kuat, kinerja dalam melaksanakan fungsi
legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran seharusnya menjadi patokan
utama. Cara ini penting dilakukan karena dalam posisi sebagai lembaga
perwakilan, bentuk nyata mereka yang memperoleh mandat rakyat yaitu seberapa
besar kemampuan mengoptimalkan ketiga fungsi konstitusional tersebut.
Setidaknya, seberapa mampu mereka melaksanakan dan menjaga keseimbangan di
antara ketiga fungsi utama yang harus diemban sebagai wakil rakyat.
Rekam jejak soal ini perlu
menjadi salah satu pertimbangan utama dalam menilai calon anggota legislatif
dan sekaligus parpol peserta Pemilu 2014. Bagaimanapun, sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa anggota lembaga legislatif dapat dikatakan gagal
melakukan optimalisasi pelaksanaan ketiga fungsi konstitusional tersebut.
Tidak hanya itu, sejumlah bentangan empiris membuktikan bahwa pelaksanaan
ketiga fungsi utama lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan
sekaligus kepentingan parpol yang menaungi anggota legislatif. Padahal, pada
posisi sebagai wakil rakyat, mereka harusnya lebih mengedepankan kepentingan
rakyat.
Selain itu, penting pula melacak
rekam jejak mereka dalam menjalankan agenda prioritas dalam kehidupan
bernegara. Salah satu di antara pohon persoalan paling utama yang harus
dilacak yaitu bagaimana komitmen calon dan parpol terhadap agenda
pemberantasan korupsi. Cara paling sederhana membaca rekam jejak ini yaitu
dengan melihat komitmen mereka terhadap penguatan dan masa depan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak pihak percaya, jika menggunakan komitmen
atas KPK sebagai salah satu parameter utama, pemilih akan lebih mudah
menghukum calon atau parpol dalam pemungutan suara 9 April ini.
Misalnya, perilaku menolak KPK
yang paling umum dapat dikemukakan ialah berupaya melakukan politisasi
terhadap setiap upaya penegakan hukum dalam memberantas korupsi yang mengarah
kepada aktivis parpol. Atau, upaya sistematis memperlemah KPK sebagai extraordinary body dalam menguak
praktik korupsi. Terkait dengan upaya ini, upaya mempersoalkan kewenangan
penyadapan KPK dapat dijadikan bukti konkret. Bahkan, bentuk penolakan yang
paling laten yaitu selalu berpikir dan membangun opini bahwa KPK merupakan
lembaga yang bersifat sementara.
Jika masih ragu dengan parameter
di atas, cara paling sederhana dalam menelusuri rekam jejak nelusuri rekam
jejak calon dan/atau parpol peserta Pemilu Legislatif 2014 ialah dengan cara
menghitung jumlah aktivis partai yang menjadi pelaku kasus korupsi yang
ditangani KPK, rupsi yang ditangani KPK, kejaksaan, dan kepolisian.
Dengan
menggunakan parameter kuantitatif tersebut, pemilih secara terang-benderang
akan lebih mudah memilah milah calon dan/atau parpol yang ada. Bahkan,
penilaian tersebut menjadi sulit dimentahkan bila dikaitkan dengan untaian
janji antikorupsi yang pernah dirangkai selama masa kampanye Pemilu 2009.
Desentralisasi politik
Selain soal kinerja di atas,
penilaian lain yang h rusnya mulai dilakukan dalam Pemilu 2014 ini ialah
terkait 2014 ini ialah terkait dengan keinginan dan komitmen parpol untuk
melakukan desentralisasi politik. Salah satu bentuk desentral isasi ini ialah
seberapa banyak parpol memberi ruang kepada politisi yang berbasis di daerah
untuk mengisi daftar calon tetap (DCT) anggota DPR. Penilaian tersebut
menjadi keniscayaan karena sebelumnya ketika proses penyusunan DCT, lebih
dari 62% calon anggota DPR yang diusung oleh parpol berdomisili dalam wilayah
Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek).
Tersambung dengan persoalan ini,
dalam berbagai kesempatan saya acap kali mengemukakan bahwa bagi sebagian
parpol peserta pemilu, angka tersebut pasti tidak sepenuhnya dipandang
sebagai masalah serius dalam konsep representasi. Padahal penumpukan calon
yang berasal dari kawasan tertentu tentunya akan menghasilkan pula anggota
DPR yang secara faktual bukan berasal dari dan/atau mewakili daerah pemilihan
yang menjadi basis perhitungan representasi. Karenanya, bentangan empirik
yang selalu hadir setelah pelaksanaan pemilu, mayoritas anggota DPR
kehilangan keterkaitan dan ketersambungan dengan pemilih dan daerah
pemilihan.
Jika melihat gejala tersebut,
sulit untuk dibantah, sebagian parpol lebih banyak mengambil peran sebagai
pengimpor politisi ke daerah untuk mengisi posisi politik di tingkat
nasional. Padahal, sekiranya memiliki komitmen untuk melakukan desentralisasi
politik, parpol harusnya mengagregasi hadirnya politisi dengan basis politik
riil di daerah. Ketika perilaku mengimpor politisi sulit berubah, parpol
sedang bergerak ke arah pembonsaian bonsaian peran daerah. Dalam skala yang
lebih luas, parpol sepertinya gagal meninggalkan pendapat yang sudah
terbangun sejak lama; politik nasional hanya menjadi urusan orang Jakarta dan
sekitarnya (Jabodetabek).
Pertanyaan mendasar yang mesti dikemukakan: bisakah
membangun negeri ini dengan cara berpikir sentralistis?
Sebetulnya, kritik atas perilaku
sentralistik parpol ini telah lama digugat. Tidak sebatas itu, parpol harus
didorong untuk bergerak dengan paradigma baru. Alasan mendasar untuk
mengatakan bahwa parpol sebagai kunci utama tidak dapat dilepaskan dari
posisinya dalam UUD 1945. Namun, sejauh ini perubahan signifikan tak ubahnya
seperti upaya menggantang asap. Padahal, tanpa perubahan mendasar parpol,
sulit melakukan perubahan besar dalam penyelenggaraan negara. Apalagi, jamak
diketahui, setelah perubahan UUD 1945, parpol menjadi kunci pokok bergerak ke
arah perubahan.
Pisau daulat rakyat
Melacak perkembangan sejarah
pertumbuhan parpol dan bentangan empirik yang terjadi saat ini, calon dan
parpol yang telah mapan sulit berubah dengan kesadaran sendiri. Oleh ka rena
itu, sebagai pemegang kedaulatan, rakyat terutama pemilih harus mampu
memanfaatkan momentum Pemilu Legislatif 2014 sebagai strategi untuk memaksa
parpol melakukan perubahan. Caranya, pemilih harus mau dan mampu `menjewer'
calon dan/atau parpol yang telah terbukti mengkhianati rakyat.
Tanpa perlu basa-basi, daulat
rakyat harus mampu dijadikan sebagai pisau untuk membedah calon dan/atau
parpol yang ada. Tidak hanya membedah, pisau daulat rakyat harus mampu
digunakan untuk memotong atau membuang calon dan/ atau parpol yang selama ini
cenderung mengabaikan amanah rakyat. Tanpa keberanian yang utuh, daulat
rakyat tidak lagi akan dipandang sebagai alat kendali dalam membangun dan
menata kehidupan politik.
Keniscayaan menggunakan pisau
daulat rakyat dalam pemungutan suara 9 April nanti tidak hanya demi
kepentingan hasil pemilu legislatif. Namun juga dalam desain kenegaraan,
hasil pemilu legislatif akan dijadikan sebagai modal utama dalam proses
pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pasalnya, kebutuhan
itu jika gagal memulihkan daulat rakyat, praktik bernegara selama lima tahun
ke depan akan kian sulit dikendalikan. Dengan kesempatan yang tersedia,
datanglah ke tempat pemungutan suara pada 9 April untuk membuktikan bahwa
daulat rakyatlah yang paling berkuasa di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar