Selasa, 08 April 2014

Pemilu Legislatif dan Pemulihan Daulat Rakyat

Pemilu Legislatif dan Pemulihan Daulat Rakyat

Saldi Isra  ;   Guru Besar Hukum Tata Negara Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
MEDIA INDONESIA, 07 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
“Cara paling sederhana dalam menelusuri rekam jejak calon dan/atau parpol peserta Pemilu Legislatif 2014 ialah dengan menghitung jumlah aktivis partai yang menjadi pelaku kasus korupsi yang ditangani KPK, kejaksaan, dan kepolisian.”

PEMUNGUTAN suara dalam pemilihan umum (pemilu) anggota DPR, DPD, dan DPRD 2014 yang akan berlangsung pada Rabu (9/4) dapat dikatakan sebagai semacam pertaruhan berbagai kepentingan. Bagi mereka yang berada dalam posisi sebagai calon, pemungutan suara tersebut akan menjadi saat yang paling menegangkan. Paling tidak, apakah mereka memiliki kesempatan mengisi kursi anggota DPR, DPD, dan DPRD selama lima tahun ke depan? Tak hanya itu, bagi sebagian calon, hasil pemungutan suara akan menjadi pertaruhan masa depan karier politik mereka.

Jauh lebih luas dari nasib perseorangan, pilihan rakyat pada 9 April ini tak hanya menjadi penentuan bagi calon anggota legislatif, tetapi sekaligus menjadi penentuan bagi partai politik peserta pemilu. Dengan menggunakan lokus pengisian kursi DPR, 12 parpol peserta pemilu nasional secara minimal harus mampu memenuhi ambang batas minimal suara sah secara nasional 3,5% (parliamentary threshold). Jika batasan tersebut tak dipenuhi, parpol peserta pemilu secara nasional akan kehilangan hak menjadi bagian kekuatan politik di DPR.

Berkaca dari kedua kondisi tersebut, pertautan antara pemenuhan kepentingan perseorangan dan kepentingan parpol memberikan peluang kepada pemilih untuk memulihkan kembali daulat rakyat dalam penyelenggaraan pemilu seperti termaktub di dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Sebagai sebuah agenda bernegara yang hadir berkala sekali lima tahun, seharusnya momentum pemilu dijadikan pemegang daulat rakyat untuk membuat perhitungan dengan calon anggota legislatif dan sekaligus perhitungan dengan parpol.

Sebagai sarana mewujudkan prinsip daulat rakyat, penyelenggaraan pemilu tak hanya menjadi sarana `menegur', tetapi juga momentum mengembalikan kesadaran politikus dan parpol bahwa mereka tidak boleh dan tidak seharusnya berjarak dengan rakyat. Karenanya, dalam konteks demokrasi, pemilu dimaksudkan untuk menghadirkan mandat baru dan sekaligus kesempatan bagi rakyat untuk menganulir mandat yang diberikan pada periode sebelumnya. Dengan bahasa yang lebih sederhana, agenda pemilu menjadi waktu yang tepat bagi rakyat untuk membuat perhitungan dengan politisi dan partai politik.

Rekam jejak

Di antara instrumen yang memungkinkan membuat perhitungan dengan calon dan/atau parpol yang menjadi pelaku utama dalam Pemilu Legislatif 2014 yaitu membuka dan membaca kembali rekam jejak (track record) mereka. Yang paling umum dilakukan ialah dengan cara melihat kinerja calon dan parpol yang dihasilkan Pemilu 2009. Dalam masalah ini, secara umum ialah melihat kinerja mereka selama berada di lembaga legislatif baik di pusat maupun di daerah.

Sebagai sebuah institusi yang diberi posisi konstitusional yang kuat, kinerja dalam melaksanakan fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran seharusnya menjadi patokan utama. Cara ini penting dilakukan karena dalam posisi sebagai lembaga perwakilan, bentuk nyata mereka yang memperoleh mandat rakyat yaitu seberapa besar kemampuan mengoptimalkan ketiga fungsi konstitusional tersebut. Setidaknya, seberapa mampu mereka melaksanakan dan menjaga keseimbangan di antara ketiga fungsi utama yang harus diemban sebagai wakil rakyat.

Rekam jejak soal ini perlu menjadi salah satu pertimbangan utama dalam menilai calon anggota legislatif dan sekaligus parpol peserta Pemilu 2014. Bagaimanapun, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa anggota lembaga legislatif dapat dikatakan gagal melakukan optimalisasi pelaksanaan ketiga fungsi konstitusional tersebut. Tidak hanya itu, sejumlah bentangan empiris membuktikan bahwa pelaksanaan ketiga fungsi utama lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan sekaligus kepentingan parpol yang menaungi anggota legislatif. Padahal, pada posisi sebagai wakil rakyat, mereka harusnya lebih mengedepankan kepentingan rakyat.

Selain itu, penting pula melacak rekam jejak mereka dalam menjalankan agenda prioritas dalam kehidupan bernegara. Salah satu di antara pohon persoalan paling utama yang harus dilacak yaitu bagaimana komitmen calon dan parpol terhadap agenda pemberantasan korupsi. Cara paling sederhana membaca rekam jejak ini yaitu dengan melihat komitmen mereka terhadap penguatan dan masa depan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak pihak percaya, jika menggunakan komitmen atas KPK sebagai salah satu parameter utama, pemilih akan lebih mudah menghukum calon atau parpol dalam pemungutan suara 9 April ini.

Misalnya, perilaku menolak KPK yang paling umum dapat dikemukakan ialah berupaya melakukan politisasi terhadap setiap upaya penegakan hukum dalam memberantas korupsi yang mengarah kepada aktivis parpol. Atau, upaya sistematis memperlemah KPK sebagai extraordinary body dalam menguak praktik korupsi. Terkait dengan upaya ini, upaya mempersoalkan kewenangan penyadapan KPK dapat dijadikan bukti konkret. Bahkan, bentuk penolakan yang paling laten yaitu selalu berpikir dan membangun opini bahwa KPK merupakan lembaga yang bersifat sementara.

Jika masih ragu dengan parameter di atas, cara paling sederhana dalam menelusuri rekam jejak nelusuri rekam jejak calon dan/atau parpol peserta Pemilu Legislatif 2014 ialah dengan cara menghitung jumlah aktivis partai yang menjadi pelaku kasus korupsi yang ditangani KPK, rupsi yang ditangani KPK, kejaksaan, dan kepolisian. 

Dengan menggunakan parameter kuantitatif tersebut, pemilih secara terang-benderang akan lebih mudah memilah milah calon dan/atau parpol yang ada. Bahkan, penilaian tersebut menjadi sulit dimentahkan bila dikaitkan dengan untaian janji antikorupsi yang pernah dirangkai selama masa kampanye Pemilu 2009.

Desentralisasi politik

Selain soal kinerja di atas, penilaian lain yang h rusnya mulai dilakukan dalam Pemilu 2014 ini ialah terkait 2014 ini ialah terkait dengan keinginan dan komitmen parpol untuk melakukan desentralisasi politik. Salah satu bentuk desentral isasi ini ialah seberapa banyak parpol memberi ruang kepada politisi yang berbasis di daerah untuk mengisi daftar calon tetap (DCT) anggota DPR. Penilaian tersebut menjadi keniscayaan karena sebelumnya ketika proses penyusunan DCT, lebih dari 62% calon anggota DPR yang diusung oleh parpol berdomisili dalam wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek).

Tersambung dengan persoalan ini, dalam berbagai kesempatan saya acap kali mengemukakan bahwa bagi sebagian parpol peserta pemilu, angka tersebut pasti tidak sepenuhnya dipandang sebagai masalah serius dalam konsep representasi. Padahal penumpukan calon yang berasal dari kawasan tertentu tentunya akan menghasilkan pula anggota DPR yang secara faktual bukan berasal dari dan/atau mewakili daerah pemilihan yang menjadi basis perhitungan representasi. Karenanya, bentangan empirik yang selalu hadir setelah pelaksanaan pemilu, mayoritas anggota DPR kehilangan keterkaitan dan ketersambungan dengan pemilih dan daerah pemilihan.

Jika melihat gejala tersebut, sulit untuk dibantah, sebagian parpol lebih banyak mengambil peran sebagai pengimpor politisi ke daerah untuk mengisi posisi politik di tingkat nasional. Padahal, sekiranya memiliki komitmen untuk melakukan desentralisasi politik, parpol harusnya mengagregasi hadirnya politisi dengan basis politik riil di daerah. Ketika perilaku mengimpor politisi sulit berubah, parpol sedang bergerak ke arah pembonsaian bonsaian peran daerah. Dalam skala yang lebih luas, parpol sepertinya gagal meninggalkan pendapat yang sudah terbangun sejak lama; politik nasional hanya menjadi urusan orang Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek). 

Pertanyaan mendasar yang mesti dikemukakan: bisakah membangun negeri ini dengan cara berpikir sentralistis?

Sebetulnya, kritik atas perilaku sentralistik parpol ini telah lama digugat. Tidak sebatas itu, parpol harus didorong untuk bergerak dengan paradigma baru. Alasan mendasar untuk mengatakan bahwa parpol sebagai kunci utama tidak dapat dilepaskan dari posisinya dalam UUD 1945. Namun, sejauh ini perubahan signifikan tak ubahnya seperti upaya menggantang asap. Padahal, tanpa perubahan mendasar parpol, sulit melakukan perubahan besar dalam penyelenggaraan negara. Apalagi, jamak diketahui, setelah perubahan UUD 1945, parpol menjadi kunci pokok bergerak ke arah perubahan.

Pisau daulat rakyat

Melacak perkembangan sejarah pertumbuhan parpol dan bentangan empirik yang terjadi saat ini, calon dan parpol yang telah mapan sulit berubah dengan kesadaran sendiri. Oleh ka rena itu, sebagai pemegang kedaulatan, rakyat terutama pemilih harus mampu memanfaatkan momentum Pemilu Legislatif 2014 sebagai strategi untuk memaksa parpol melakukan perubahan. Caranya, pemilih harus mau dan mampu `menjewer' calon dan/atau parpol yang telah terbukti mengkhianati rakyat.

Tanpa perlu basa-basi, daulat rakyat harus mampu dijadikan sebagai pisau untuk membedah calon dan/atau parpol yang ada. Tidak hanya membedah, pisau daulat rakyat harus mampu digunakan untuk memotong atau membuang calon dan/ atau parpol yang selama ini cenderung mengabaikan amanah rakyat. Tanpa keberanian yang utuh, daulat rakyat tidak lagi akan dipandang sebagai alat kendali dalam membangun dan menata kehidupan politik.

Keniscayaan menggunakan pisau daulat rakyat dalam pemungutan suara 9 April nanti tidak hanya demi kepentingan hasil pemilu legislatif. Namun juga dalam desain kenegaraan, hasil pemilu legislatif akan dijadikan sebagai modal utama dalam proses pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pasalnya, kebutuhan itu jika gagal memulihkan daulat rakyat, praktik bernegara selama lima tahun ke depan akan kian sulit dikendalikan. Dengan kesempatan yang tersedia, datanglah ke tempat pemungutan suara pada 9 April untuk membuktikan bahwa daulat rakyatlah yang paling berkuasa di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar