Selasa, 08 April 2014

Buku Palsu, Sarjana Palsu

Buku Palsu, Sarjana Palsu

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 07 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
ADA ribuan cerita menarik di balik proses wisuda sebuah perguruan tinggi, salah satunya ialah kegemaran para wisudawan untuk berfoto saat mengenakan seragam kebesaran wisuda, berbaju toga. Dari puluhan acara wisuda yang saya hadiri, baik sebagai orangtua ketika anak diwisuda, sebagai suami juga ketika istri diwisuda, maupun sebagai tamu kehormatan karena menyampaikan orasi ilmiah, saya selalu iseng untuk me-random mewawancara para wisudawan secara informal. Beberapa mahasiswa selalu saya tanya, berapa banyak buku yang mereka selesaikan baca selama masa kuliah berlangsung? Jawaban sungguh memilukan, rata-rata para wisudawan kita mengaku hanya membaca buku rata-rata 1-2 buku dalam 4-5 tahun masa kuliah.

Ini sebuah ironi kemampuan membaca mahasiswa kita yang memang rendah atau ketidakberdayaan kampus beserta seluruh sivitas akademikanya dalam merancang program yang memungkinkan para mahasiswa menjadi pembaca buku? Perlu disurvei secara resmi data ini, dan jika perlu, ini dijadikan bagian dari proses penilaian akhir dosen dan akreditasi prodi hingga institusi sebuah perguruan tinggi.

Sebabnya tak bisa dibayangkan jika banyak mahasiswa kita yang lulus dan diwisuda tetapi dalam 4 tahun hanya membaca 1-2 buku hingga tamat dan memahami. Lebih luas dari itu, kita juga perlu membaca secara saksama skripsi para mahasiswa yang terkesan lebih banyak copy paste ketimbang mengusung ide dan gagasan baru dari penelitian yang dilakukan.

Dengan kondisi dan kemampuan membaca seperti itu, pantas jika kemudian ada beberapa pengunjung prosesi wisuda di beberapa perguruan tinggi menyebut gelar sarjana mereka palsu, sepalsu buku-buku yang dijadikan latar belakang foto-foto mahasiswa saat merayakan hari wisuda. Banyak tukang foto memasang billboard dan spanduk buku-buku seperti gambar rak-rak buku perpustakaan, dan para mahasiswa dengan bangga berfoto dengan latar belakang seolah-olah mereka mencintai buku.
Inilah bentuk nyata orientasi pendidikan yang berorientasi pada hasil, yakni gelar kesarjanaan identik hanya dengan selembar ijazah. Pendek kata, reading proficiency sebuah negara bergantung pada kemampuan para siswa dan mahasiswa dalam membaca.

Posisi Indonesia

Negara sebesar dan sekuat Amerika saja saat ini hanya berada pada urutan ke-15, bahkan di bawah Estonia dan Selandia Baru dalam hal reading proficiency. Sementara itu, Tiongkok dan Korea Selatan termasuk urutan pertama dan kedua dalam hal peningkatan tradisi membaca di kalangan pelajar, mahasiswa, dan masyarakatnya. Di manakah posisi Indonesia dalam hal tradisi membaca ini? Tak perlu ditanya dan jawabannya sangat mudah ditebak. Dari hasil Progress in International Reading Literacy Studies (PIRLS) 2011, yang dise lenggarakan The International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) dan dipublikasikan pada 2012, posisi Indonesia sama sekali jauh dari membanggakan dan menggembirakan.

Secara rata-rata, hasil PIRLS menempatkan siswa kelas empat di urutan ke-42 dari 45 negara dengan rata-rata 428. Data ini seharusnya membuat kita prihatin dan mampu menggugah kesadaran kita semua, termasuk para pengambil kebijakan di bidang pendidikan, mengenai risiko yang akan dihadapi bangsa ini bila pendidikan tidak ditangani dengan tepat. Minimnya budaya baca bangsa ini, menurut saya, salah satunya disebabkan kebijakan ujian nasional (UN). Saya menandai bahwa dalam banyak hal, tradisi membaca tak tumbuh karena dalam proses belajar-mengajar di sekolah, anak-anak kita lebih banyak diajarkan untuk menghafal, terutama jenis soal yang akan keluar dalam UN.

Selain itu, generasi pembaca juga tak tumbuh dengan baik karena belenggu kebijakan pendidikan kita memang sengaja tak menciptakan kecintaan terhadap membaca. Jika proses belajar-mengajar terus dipacu dan dipicu berdasarkan hasil akhir berupa kelulusan dan ijazah semata, jangan harap akan tumbuh budaya membaca yang sehat dan tinggi di kalangan siswa kita. Orientasi terhadap hasil akhir inilah yang justru menciptakan minim dan rendahnya minat baca siswa dan guru dalam mengarungi fantasi belajar yang menyenangkan.

Di sekolah, jangan ditanya, minat baca guru dan siswa juga setali tiga uang. Beberapa survei tak resmi menyebutkan bahwa kemampuan membaca guru dan siswa kurang dari satu jam per hari. Lagi-lagi penandanya ialah karena proses belajar-mengajar kita masih menjalankan tradisi hafalan yang lebih banyak dari tradisi membaca. Saya meyakini, jika kita tak mengubah kebijakan UN, jangan berharap akan muncul dan tumbuh budaya membaca yang tinggi di kalangan siswa sekolah. Kita perlu mengubah kebijakan ujian nasional agar tradisi membaca bisa tumbuh secara maksimal di lingkungan guru dan siswa.

Akan terkikis

Seperti di India, kita perlu membuat kebijakan semacam one nation reading together, agar ada peringatan secara nasional tentang pentingnya membaca sebagai salah satu alat mempertahankan kedaulatan Indonesia. Tanpa tradisi dan budaya baca yang baik, ketahanan nasional kita akan habis terkikis oleh tradisi teknologi informasi yang liar karena tak mengenal batas teritorial sebuah negara. Selain itu, penting juga agar setiap sekolah di Indonesia perlu menggelar agenda hari membaca (reading day) setiap minggu, yang diintegrasikan secara khusus penjadwalannya ke dalam siklus belajar-mengajar siswa.

Kita memerlukan banyak buku di sekolah dan kampus-kampus kita. Buku yang asli, bukan gambar seperti terlihat dalam parodi wisuda para sarjana kita, agar anak tak bertanya-tanya, mengapa kita harus membaca padahal buku yang harus dibaca tak disediakan sekolah. “There is no friend as loyal as a book,“ kata Ernest Hemingway. 

Tanggung jawab sekolah dan kampus ialah memberikan fasilitas buku bacaan yang cukup agar anak-anak dan mahasiswa memperoleh temanteman perjalanan mereka yang setia setiap saat. Bangsa ini terlalu besar dan kaya dengan tradisi dan budaya. Hanya tradisi membacalah yang dapat menjaga kekayaan budaya bangsa dari kepunahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar