Buku
Palsu, Sarjana Palsu
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan
Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 07 April 2014
ADA ribuan cerita menarik di
balik proses wisuda sebuah perguruan tinggi, salah satunya ialah kegemaran
para wisudawan untuk berfoto saat mengenakan seragam kebesaran wisuda,
berbaju toga. Dari puluhan acara wisuda yang saya hadiri, baik sebagai
orangtua ketika anak diwisuda, sebagai suami juga ketika istri diwisuda,
maupun sebagai tamu kehormatan karena menyampaikan orasi ilmiah, saya selalu
iseng untuk me-random mewawancara para wisudawan secara informal. Beberapa
mahasiswa selalu saya tanya, berapa banyak buku yang mereka selesaikan baca
selama masa kuliah berlangsung? Jawaban sungguh memilukan, rata-rata para
wisudawan kita mengaku hanya membaca buku rata-rata 1-2 buku dalam 4-5 tahun
masa kuliah.
Ini sebuah ironi kemampuan
membaca mahasiswa kita yang memang rendah atau ketidakberdayaan kampus
beserta seluruh sivitas akademikanya dalam merancang program yang
memungkinkan para mahasiswa menjadi pembaca buku? Perlu disurvei secara resmi
data ini, dan jika perlu, ini dijadikan bagian dari proses penilaian akhir
dosen dan akreditasi prodi hingga institusi sebuah perguruan tinggi.
Sebabnya tak bisa dibayangkan
jika banyak mahasiswa kita yang lulus dan diwisuda tetapi dalam 4 tahun hanya
membaca 1-2 buku hingga tamat dan memahami. Lebih luas dari itu, kita juga
perlu membaca secara saksama skripsi para mahasiswa yang terkesan lebih
banyak copy paste ketimbang
mengusung ide dan gagasan baru dari penelitian yang dilakukan.
Dengan kondisi dan kemampuan
membaca seperti itu, pantas jika kemudian ada beberapa pengunjung prosesi
wisuda di beberapa perguruan tinggi menyebut gelar sarjana mereka palsu,
sepalsu buku-buku yang dijadikan latar belakang foto-foto mahasiswa saat
merayakan hari wisuda. Banyak tukang foto memasang billboard dan spanduk
buku-buku seperti gambar rak-rak buku perpustakaan, dan para mahasiswa dengan
bangga berfoto dengan latar belakang seolah-olah mereka mencintai buku.
Inilah bentuk nyata orientasi
pendidikan yang berorientasi pada hasil, yakni gelar kesarjanaan identik
hanya dengan selembar ijazah. Pendek kata, reading proficiency sebuah negara
bergantung pada kemampuan para siswa dan mahasiswa dalam membaca.
Posisi Indonesia
Negara sebesar dan sekuat
Amerika saja saat ini hanya berada pada urutan ke-15, bahkan di bawah Estonia
dan Selandia Baru dalam hal reading
proficiency. Sementara itu, Tiongkok dan Korea Selatan termasuk urutan
pertama dan kedua dalam hal peningkatan tradisi membaca di kalangan pelajar,
mahasiswa, dan masyarakatnya. Di manakah posisi Indonesia dalam hal tradisi
membaca ini? Tak perlu ditanya dan jawabannya sangat mudah ditebak. Dari
hasil Progress in International Reading
Literacy Studies (PIRLS) 2011, yang dise lenggarakan The International Association for the Evaluation of Educational
Achievement (IEA) dan dipublikasikan pada 2012, posisi Indonesia sama
sekali jauh dari membanggakan dan menggembirakan.
Secara rata-rata, hasil PIRLS
menempatkan siswa kelas empat di urutan ke-42 dari 45 negara dengan rata-rata
428. Data ini seharusnya membuat kita prihatin dan mampu menggugah kesadaran
kita semua, termasuk para pengambil kebijakan di bidang pendidikan, mengenai
risiko yang akan dihadapi bangsa ini bila pendidikan tidak ditangani dengan
tepat. Minimnya budaya baca bangsa ini, menurut saya, salah satunya
disebabkan kebijakan ujian nasional (UN). Saya menandai bahwa dalam banyak
hal, tradisi membaca tak tumbuh karena dalam proses belajar-mengajar di
sekolah, anak-anak kita lebih banyak diajarkan untuk menghafal, terutama
jenis soal yang akan keluar dalam UN.
Selain itu, generasi pembaca
juga tak tumbuh dengan baik karena belenggu kebijakan pendidikan kita memang
sengaja tak menciptakan kecintaan terhadap membaca. Jika proses
belajar-mengajar terus dipacu dan dipicu berdasarkan hasil akhir berupa
kelulusan dan ijazah semata, jangan harap akan tumbuh budaya membaca yang
sehat dan tinggi di kalangan siswa kita. Orientasi terhadap hasil akhir
inilah yang justru menciptakan minim dan rendahnya minat baca siswa dan guru
dalam mengarungi fantasi belajar yang menyenangkan.
Di sekolah, jangan ditanya,
minat baca guru dan siswa juga setali tiga uang. Beberapa survei tak resmi
menyebutkan bahwa kemampuan membaca guru dan siswa kurang dari satu jam per
hari. Lagi-lagi penandanya ialah karena proses belajar-mengajar kita masih
menjalankan tradisi hafalan yang lebih banyak dari tradisi membaca. Saya
meyakini, jika kita tak mengubah kebijakan UN, jangan berharap akan muncul
dan tumbuh budaya membaca yang tinggi di kalangan siswa sekolah. Kita perlu
mengubah kebijakan ujian nasional agar tradisi membaca bisa tumbuh secara
maksimal di lingkungan guru dan siswa.
Akan terkikis
Seperti di India, kita perlu
membuat kebijakan semacam one nation
reading together, agar ada peringatan secara nasional tentang pentingnya
membaca sebagai salah satu alat mempertahankan kedaulatan Indonesia. Tanpa
tradisi dan budaya baca yang baik, ketahanan nasional kita akan habis
terkikis oleh tradisi teknologi informasi yang liar karena tak mengenal batas
teritorial sebuah negara. Selain itu, penting juga agar setiap sekolah di
Indonesia perlu menggelar agenda hari membaca (reading day) setiap minggu, yang diintegrasikan secara khusus
penjadwalannya ke dalam siklus belajar-mengajar siswa.
Kita memerlukan banyak buku di
sekolah dan kampus-kampus kita. Buku yang asli, bukan gambar seperti terlihat
dalam parodi wisuda para sarjana kita, agar anak tak bertanya-tanya, mengapa
kita harus membaca padahal buku yang harus dibaca tak disediakan sekolah. “There is no friend as loyal as a book,“
kata Ernest Hemingway.
Tanggung jawab sekolah dan kampus ialah memberikan fasilitas
buku bacaan yang cukup agar anak-anak dan mahasiswa memperoleh temanteman
perjalanan mereka yang setia setiap saat. Bangsa ini terlalu besar dan kaya
dengan tradisi dan budaya. Hanya tradisi membacalah yang dapat menjaga
kekayaan budaya bangsa dari kepunahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar