Pemimpin
Bukan Pemimpi
Herry Tjahjono ; Terapis Budaya Perusahaan, Jakarta
|
KOMPAS,
19 April 2014
AKHIR
Maret 2014 majalah terkemuka Fortune mengeluarkan daftar 50 pemimpin terbesar
di dunia. Paus Fransiskus dinobatkan sebagai yang nomor satu atau pemimpin
terbesar dunia saat ini. Pada 5 April 2014, di hadapan 120 politisi di
Italia, Paus menegaskan, politisi adalah mediator publik yang wajib mengerti
kebutuhan masyarakat yang diwakilinya. Dalam konteks penobatan
kepemimpinannya, terminologi politisi itu lebih tepat diganti menjadi
pemimpin.
Maka,
seorang pemimpin wajib jadi mediator rakyat atau masyarakat, dan menyambung
penegasan Paus Fransiskus: bukan sebagai makelar yang mengambil untung dari
kebutuhan masyarakatnya. Tentu dalam konteks ini adalah makelar yang tak
profesional, yang menjembatani kepentingan dua pihak dengan mencari untung
sendiri serta mengorbankan kepentingan salah satu pihak. Makelar yang
profesional benar-benar menjembatani kepentingan pihak yang dihubungkan serta
dapat dipertanggungjawabkan.
Model kepemimpinan
Memotret
ajang kompetisi akbar kepemimpinan nasional sesaat lagi, pemilihan presiden
dan wakilnya, ungkapan Paus Fransiskus itu pemicu sekaligus pintu masuk ke
wilayah pembahasan wacana kepemimpinan yang perlu dipersiapkan
sebaik-baiknya. Sesuai dengan konteks kebutuhan bangsa ini akan pemimpin
nasional, becermin dari karut- marutnya (model dan praktik) kepemimpinan
nasional sejak era Reformasi, pilihan model kepemimpinan berikut perlu
dipertimbangkan.
Ada tiga
tingkat fungsi yang perlu dipenuhi seorang pemimpin agar rakyat
mengalami transformasi kehidupan yang
istimewa. Transformasi kehidupan dari kepemimpinan yang keluarannya bersifat perifer-sensasional (tak menyentuh
pemenuhan kebutuhan utama mayoritas rakyat di bidang fisikal, emosional,
spiritual, dan cenderung berorientasi pada kampanye verbal semata) menuju keluaran kepemimpinan yang bersifat
elementer-faktual (memenuhi kebutuhan utama dan mendasar seluruh rakyat
fisikal, emosional, spiritual, serta berorientasi pada kebenaran
obyektif kehidupan). Ketiga fungsi
dimaksud seharusnya mendasari model (dan praktik) kepemimpinan nasional bagi
bangsa ini.
Pertama,
tetap merujuk kepada Paus Fransiskus, pemimpin punya fungsi sebagai mediator
yang mampu mempertemukan kepentingan pihak-pihak dalam masyarakat, termasuk
misalnya kepentingan mayoritas atau minoritas (dalam segenap dimensinya).
Sebagai contoh, seperti selama ini terjadi, pemimpin hanya bertindak bak
makelar (yang tidak profesional) dengan mencari dan mencuri keuntungan
(minimal popularitas dan rasa aman) dengan mengorbankan sebagian kepentingan
kaum minoritas yang dianggap sensitif.
Seperti
kata Paus, pemimpin yang menjadi mediator akan mendedikasikan diri mencari berbagai solusi yang memenuhi
kebutuhan (segenap unsur) dalam masyarakat. Dia akan menjembatani dan
mempertemukan berbagai sumber daya, sistem, dan lainnya dalam masyarakat agar
terjadi solusi dan perpaduan berbagai kepentingan yang merebak. Fungsi
mediator ini disebut sebagai fungsi birokratik.
Kedua, fungsi pemimpin sebagai integrator. Fungsi
kepemimpinan ini bertujuan menyelaraskan berbagai kepentingan, kebutuhan,
serta aspirasi masyarakat hingga
mempersatukan semuanya itu dan
pada gilirannya mencapai sinergi bersama. Untuk bisa menjalankan
fungsi ini, seorang pemimpin wajib punya integritas (ke)pribadi(an) yang
relatif sempurna karena integritas
pribadi inilah yang akan membuat seorang
pemimpin selalu mengedepankan kepentingan lebih besar (baca: rakyat,
bangsa, negara) di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan partai.
Namun,
becermin pada dinamika perpolitikan (baca: kepemimpinan) nasional
pasca-pemilu legislatif baru lalu, terlihat jelas bahwa mayoritas para (calon)
pemimpin negeri ini tak punya kapasitas memenuhi fungsi sebagai integrator.
Kasatmata tampak jelas mereka tidak memiliki integritas kepribadian yang
dipersyaratkan. Ada pemimpin yang dengan mudah ”mengorbankan” ikon-ikon atau
para ujung tombak partainya dalam mendulang suara (yang relatif sukses) demi
ambisi pribadi untuk naik lebih tinggi ke pentas kepemimpinan nasional. Atau
yang tetap ngotot maju sebagai calon pemimpin meski masih meninggalkan banyak
masalah bagi rakyat.
Contoh integrator
Salah satu
contoh konkret integritas dalam konteks fungsi kepemimpinan sebagai
integrator ini adalah sikap Ketua Umum
PBNU KH Said Aqil Siroj yang menolak koalisi partai Islam. Singkatnya, dia
menegaskan, kepentingan bangsa harus lebih didahulukan sebab kalau negara
maju, umat Islam sebagai mayoritas juga akan maju. Itu sebabnya, fungsi
integrator juga disebut sebagai fungsi patriotik.
Ketiga, fungsi pemimpin sebagai
transformator. Fungsi kepemimpinan ini bukan hanya untuk memenuhi kepentingan
dan kebutuhan rakyat elementer, faktual, mediasi solutif, serta mencapai
sinergi bersama, tetapi sudah sampai pada tanggung jawab pemimpin dalam membawa kehidupan rakyat ke tataran
lebih tinggi: menjadi lebih manusiawi.
Tugas
pokok pemimpin sesungguhnya bermuara pada fungsi ini, membawa rakyat atau
pengikutnya (selalu) lebih manusiawi setiap saat. Manusiawi, singkatnya pemenuhan rakyat akan
harkat dan martabat sebagai manusia sedemikian rupa hingga pada saatnya
bahkan mencapai puncak kemanusiaan sebagai rakyat.
Untuk memenuhi
fungsi ini, seorang pemimpin wajib punya kebesaran dan kematangan jiwa tinggi
sehingga siap mengorbankan dan mempersembahkan dirinya bagi organisasi
(Indonesia) dan semua yang dipimpinnya (rakyat). Fungsi transformatif disebut
juga fungsi altruistik. Seperti tecermin pada
ungkapan bijak Lao Tzu, seorang
pemimpin terbaik adalah ketika ia mampu membuat pengikut atau rakyatnya
menyadari keberadaan dirinya, ketika mereka berkesempatan bekerja dengan
baik, memenuhi tujuan hidupnya, dan pada akhirnya ketika mereka bisa berkata,
”kita telah melakukannya sendiri”.
Ungkapan
Lao Tzu itu bermuara pada harkat dan martabat manusia (rakyat). Melihat
kelakuan para (calon) pemimpin
pasca-pemilu legislatif, betapa miskin kita akan stok pemimpin nasional
dengan kapasitas model kepemimpinan dimaksud. Bahkan untuk memenuhi fungsi
mediator sekalipun. Itu tak berarti tidak ada sama sekali. Jadi, bagi para
(calon) pemimpin nasional, tolong segera berkaca. Jangan hanya bermodalkan
syahwat kekuasaan semata sebab pemimpin
bukan sekadar pemimpi (di siang bolong). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar