Sabtu, 19 April 2014

Mewaspadai Monster Pedofilia

Mewaspadai Monster Pedofilia

Bagong Suyanto  ;   Dosen Sosiologi FISIP Unair, Menulis buku Masalah Sosial Anak
JAWA POS, 19 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Kisah tindak kekerasan terhadap anak, terutama sexual abuse, niscaya selalu mengejutkan karena kita terkecoh pada profil pelaku dan tempat kejadian yang tidak terduga. Kekerasan seksual yang menimpa salah satu siswa TK Jakarta International School (JIS) belum lama ini adalah kasus ke sekian kali yang terjadi di tanah air ini. Siapa yang mengira, di institusi sekolah yang disebut-sebut sebagai rumah kedua paling aman bagi anak-anak ternyata di sana justru terjadi tindak kejahatan yang mengerikan. Siapa pula yang mengira, petugas cleaning service yang sehari-hari tampak lugu ternyata tega melakukan sodomi kepada seorang bocah berusia 6 tahun yang polos.

Memang, tindak kekerasan yang terjadi di sekolah internasional yang terkenal di Jakarta itu mungkin tidak sedramatis kasus "Robot Gedek" yang telah menyodomi dan membunuh sejumlah anak laki-laki di Jakarta beberapa tahun silam. Tidak pula menggerikan seperti kisah Baequni alias Babeh (48 tahun) yang selain seorang pedofil juga seorang necrofil, yakni seseorang yang senang berhubungan seks dengan mayat. Tetapi, kasus sodomi yang dialami siswa TK JIS ini bagaimana pun tetap saja memiriskan hati para orang tua (Jawa Pos, 17 April 2014).

Bisa dibayangkan, bagaimana hati para orang tua yang selama ini telah memercayakan pendidikan anak-anaknya di sekolah dan di bawah bimbingan guru yang profesional ketika di sana ternyata justru marabahaya tengah mengancam. Zona tidak aman yang semula dipersepsi orang tua hanya mungkin terjadi di jalan-jalan sepi, di tempat-tempat gelap, atau di kawasan marginal ternyata keliru. Sebab, di sekolah dengan pengamanan yang ketat pun tidak tertutup kemungkinan terjadinya tindak kekerasan yang mengancam keselamatan dan masa depan anak-anak.

Di Indonesia kasus pedofilia sesungguhnya adalah salah satu dari tindak kekerasan terhadap anak yang makin lama makin mencemaskan. Meski secara statistik anak-anak korban sodomi tidak sebanyak jumlah anak yang menjadi korban tindak kekerasan yang lain, ada indikasi persoalan ini adalah fenomena "gunung es".

Sekitar 10 tahun lalu, menurut laporan Child Wise, sebuah kelompok advokasi hak anak di Australia, tercatat paling-tidak 80 anak laki-laki di daerah Karangasem telah menjadi korban keganasan para pedofil. Mereka diculik, dianiaya secara seksual, kemudian dibunuh, dan mayat mereka disembunyikan di sebuah gua.

Sementara itu, di Forth Worth, Texas, Amerika, pada tahun 2001 pernah terbongkar situs porno anak-anak yang dikelola oleh Thomas Reedy yang bekerja sama dengan orang Indonesia.

Sebelumnya, penelitian yang dilakukan Rohman dan Adria Rosy S. (1999) di Kuta dan Legian, Bali, juga menemukan bahwa sebagian anak jalanan di sana telah menjadi objek seksual para pedofil dari mancanegara. Anak-anak yang secara ekonomi rentan biasanya dengan mudah menjadi korban bujuk-rayu para pedofil yang menawarkan iming-iming uang dan kemewahan. Pada awalnya, anak-anak itu umumnya tidak sadar bahwa mereka telah masuk pada perangkap sindikat pedofil yang berbahaya. Bah­kan, kalaupun suatu ketika mereka sadar bahwa dirinya telah menjadi korban pedofilia, tidak sedikit dari mereka ujung-ujungnya hanya bisa bersikap pasrah karena adanya ketergantungan yang dengan sengaja diciptakan oleh para pedofil untuk menjerat mangsanya.

Dalam kasus sodomi yang terjadi di JIS, diketahui bahwa pelaku adalah orang lokal dan secara sosial boleh dikata adalah dari kelompok masyarakat yang marginal. Kasus ini membuktikan bahwa kasus-kasus pedofilia bukan sekadar imbas perkembangan sektor pariwisata dan kejahatan lintas negara. Kasus ini merupakan masalah sosial di sekitar kita.

Berbeda dengan kasus-kasus pedofilia yang kebanyakan korbannya adalah anak-anak miskin yang mudah terpedaya dan ditipu dengan pemberian fasilitas kemewahan, kasus pedofilia yang terjadi di JIS dialami oleh anak yang secara ekonomi berasal dari masyarakat yang mapan. Tetapi, terlepas dari asal kelas sosial anak-anak itu, siapa pun anak-anak yang menjadi korban sexual abuse tentu akan sama-sama menderita: mengalami trauma yang panjang, bahkan bukan tidak mungkin akan terganggu proses tumbuh-kembang mereka sepanjang hidup.

Menghukum pelaku sodomi pada anak-anak seberat-beratnya dari segi hukum memang sudah selayaknya dilakukan untuk memberikan sanksi yang setimpal kepada para pedofil yang telah merusak masa depan anak-anak yang tidak berdosa. Tetapi, bagi anak-anak yang telah menjadi korban, proses rehabilitasi untuk memulihkan trauma psikologis yang mereka alami sungguh bukanlah hal yang mudah.

Perkembangan jiwa seorang anak lelaki yang menjadi korban tindak pedofilia dan sexual abuse yang menyimpang niscaya akan terganggu. Bukan tidak mungkin anak-anak korban pedofilia akan mengalami masa-masa pertumbuhan jiwa yang kontradiktif, traumatik, dan bahkan yang ironis sebagian akan menjadi korban ketika mereka tak kunjung lepas dari penderitaannya. Mereka pun kemudian tumbuh dengan gaya hidup dan persepsi yang keliru tentang seks. Di Thailand, konon katanya, anak-anak korban pedofil, jika mereka tidak terbunuh, ketika tumbuh dewasa umumnya mereka kemudian terperosok menjadi gigolo profesional.

Penanganan kasus pedofilia seyogianya tidak didekati sekadar hanya sebagai persoalan hukum dan psikologis. Kasus pedofilia adalah tindak kejahatan kemanusiaan yang melanggar hak-hak anak dan sangat berpotensi menghancurkan masa depan anak. Untuk memastikan agar kelangsungan hidup dan masa depan anak-anak kita tidak terjerumus dalam trauma yang berkepanjangan, langkah yang paling baik adalah bersikap lebih peka dan secara bersama-sama memiliki kepedulian serta kepekaan untuk mencegah anak-anak menjadi korban tindakan child abuse dalam bentuk apa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar