Koalisi
Berisi dan Bersih
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
19 April 2014
PESTA
telah usai. Tetamu telah pulang. Kursi dan meja-meja sudah dibereskan.
Tetapi, panggung resepsi tak lengang juga. Padahal, semua kontestan sudah
mengantongi bagian masing-masing. Ternyata kekuatan partai politik tak
terpaut jauh. Tidak ada dominasi parpol. Tidak ada suara mayoritas. Pemilu
2014 yang digelar pada 9 April lalu berlangsung aman dan lancar. Ternyata
lagi, rakyat benar-benar dewasa dalam berdemokrasi.
Hasil
hitung cepat sejumlah lembaga survei, suara rakyat terdistribusi ke semua
parpol. PDI-P yang diprediksi akan melonjak ternyata hanya mampu mengumpulkan
suara 19,24 persen, sebagaimana hasil hitung cepat Kompas. Ada dua ”parpol
besar” lain yang suaranya di 10 persen, yakni Partai Golkar (15,01 persen)
dan Partai Gerindra (11,77 persen). Lalu, Partai Demokrat meraih 9,43 persen,
PKB (9,12 persen), PAN (7,51 persen), PKS (6,99 persen), Partai Nasdem (6,71
persen), PPP (6,68 persen), Partai Hanura (5,1 persen), PBB (1,5 persen), dan
PKPI (0,95) persen. Angka pastinya tunggu saja hasil hitungan Komisi
Pemilihan Umum.
Ternyata
tidak ada satu parpol pun yang bisa langsung mengusung jagonya sebagai calon
presiden untuk pemilu presiden pada 9 Juli mendatang. Untuk bisa mengusung
jagonya, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden menegaskan bahwa hanya parpol atau gabungan parpol yang punya minimal
20 persen kursi DPR atau minimal 25 persen suara (popular vote) nasional dalam pemilu legislatif. PDI-P yang sudah
memutuskan mengusung Joko Widodo (Jokowi), atau Golkar yang memutuskan
Aburizal Bakrie, atau Gerindra yang menjagokan Prabowo, harus menahan syahwat
politiknya untuk merebut kursi presiden yang ditinggalkan Susilo Bambang
Yudhoyono (Partai Demokrat).
Maka,
setelah pemilu lalu, perilaku parpol-parpol makin berisik. Mereka harus
lincah bergerak, bahkan secepat kilat dan mungkin selicin belut. Hari-hari
belakangan, ”silaturahim” antarparpol bakal makin intensif. Jika melihat
hasil perolehan suara berdasarkan hitung cepat, kelihatannya poros koalisi
akan berada di seputar PDI-P, Golkar, dan Gerindra. Perang urat saraf
terutama antara PDI-P dan Gerindra bahkan terjadi sebelum pemilu, mulai
mengutak-atik kesepakatan masa lalu hingga tuduhan presiden boneka.
Menyusun
puzzle koalisi memang tak mudah,
chemistry-nya harus pas. Jika tidak cepat, PDI-P bisa kesulitan. Mungkin bisa
bernasib seperti tahun 1999 ketika menang pemilu, tetapi gagal di pilpres.
Partai Nasdem sejauh ini terlihat bakal berbaris di belakang PDI-P. PKB yang
lagi melejit perolehan suaranya langsung ingin memperbaiki posisi tawar.
Secepat itu pula PKB menyodorkan empat calon wakil presidennya, yaitu Mahfud
MD, Jusuf Kalla, Rhoma Irama, dan Muhaimin Iskandar. Golkar, seperti biasa,
selalu bermain cantik. Partai ini merupakan partai yang selalu punya
kekuasaan (ikut di kabinet) walaupun pernah jatuh bangun saat awal reformasi
dulu.
Gerindra
bergerak lebih lincah. Komunikasi telah dibangun dengan PAN, PKB, PPP, PKS,
Golkar, dan Demokrat. Selama ini Prabowo dan Susilo Bambang Yudhoyono
beberapa kali bertemu. Apalagi sama-sama satu angkatan di militer. Gerindra
punya jurus menarik agar parpol anggota koalisi merasa punya peran. Gerindra
menegaskan bahwa penentuan cawapres akan diputuskan bersama parpol anggota
koalisi.
Koalisi
memang menjadi agenda penting menjelang pilpres ini. Namun, jangan mengulangi
model Sekretariat Gabungan Koalisi Parpol Pendukung Pemerintahan
SBY-Boediono. Walaupun mengantongi suara 60,8 persen dalam Pilpres 2009,
kabinet justru terlihat tidak kuat. Banyak kebijakan pemerintah justru tak
jalan gara-gara terus-terusan ”digoyang” DPR. Parahnya lagi, yang ikut menggoyang
adalah parpol yang justru berkoalisi dengan Demokrat. PKS kerap menjadi ”anak
nakal” di koalisi. Politisi Golkar juga suka mengganggu pemerintah.
Selama
ini, koalisi terlalu berisik, yang membuat panggung politik terus gaduh.
Elite ribut dengan dirinya sendiri. Dalam naungan koalisi, elite justru lebih
banyak berkonflik ketimbang memperlihatkan kedewasaan berdemokrasi. Tahun
1950-an, kritik ahli sosiologi-politik C Wright Mills (1916-1962) menyadarkan
kita bahwa Amerika Serikat sebetulnya tidak demokratis karena dikuasai
sekelompok elite yang justru memonopoli kekuasaan. Jadi, bentuklah koalisi berisi dan bersih. Demi rakyat, bukan semata untuk
kepentingan parpol. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar