Rabu, 09 April 2014

Pemilu di “Taman Firdaus”

Pemilu di “Taman Firdaus”

Winarta Adisubrata  ;   Wartawan Senior
SINAR HARAPAN, 08 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Di “hari tenang”, ketika poster, spanduk, dan tanda gambar belasan partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 telah dicopot dari pandangan mata, kita terkenang kembali di “musim panas” pada ujung tahun 1970, menyaksikan pemilihan di Wellington, ibu kota Selandia Baru, betapa aman, tenteram, damai, serta sejuknya ketika itu.

Musim panas ibarat di Taman Firdaus, sang surya mencorong menebarkan panas di belahan bumi selatan di kawasan subtropika pada Desember nan sejuk itu. Negeri “Nun di Bawah Sana” (The Down Under) jauhnya puluhan ribu mil dari Inggris, negeri leluhur mereka.

Menamakan Selandia Baru ibarat Taman Firdaus, antara lain ditandai kotak-kotak koran eceran pagi yang mereka kenal sebagai The Honesty Box, yang bentuk dan rupanya tepat seperti kotak sabun berkaki yang menganga terbuka, dengan lubang untuk memasukkan mata uang receh bagi mereka yang mau membeli dan membayar.

Secara gurau, jika Anda mencomot satu atau dua eksemplar, tidak ada yang mengontrol. Bahkan jika sang “pembeli” tidak membayar pun, silakan saja! Itu sebabnya kotak koran eceran itu tanpa penjaga, dikenal sebagai honesty box.

Di Roxburg, hampir di ujung selatan dari The South Island alias Pulau Selatan, di kawasan kebun-kebun buah tempat meja-meja penjaja buah-buahan dengan keranjang jeruk, persik atau buah apa pun yang ditanam di sana.

Hanya dengan tulisan satu atau dua dolar harga per keranjangnya, tanpa seorang penjual menunggui. Cuma ada sebuah peti kecil penyimpan uang tunai yang berlubang untuk diisi dengan mata uang receh atau uang kertas yang menjadi penunggu meja penjual buah-buahan itu.

Ketenteraman dan suasana aman seperti dicontohkan di atas dilengkapi hal lain. Ada yang nyaris kebalikan dari yang Taman Firdaus Nusantara ribuan tahun lalu, sebagian wilayahnya di zaman ketika pujangga Valmiki dalam ciptaan Ramayananya dinamakan “Suwarnadipa”, yang makna harfiahnya adalah kepulauan emas .

Melalui perenungan sesaat dan sekilas ini, kita menjadi sempat kebingungan, walau tidak amat sangat. Mana yang lebih tepat dinamakan Taman Firdaus? Nusantara yang hingga abad ke-21 sekarang masih dibanggakan dunia sebagai “surga yang hilang”, seperti ditulis Prof Arysio Nunes dalam bukunya berjudul Atlantis, yang juga diyakini Stephen Oppenheimer seperti digambarkannya dalam bukunya berjudul Eden in the East.

Berdasar survei pembaca majalah mingguan Time, selama belasan tahun berturut-turut tanpa absen dan tanpa tergeser Pulau Bali tercatat sebagai pulau resort wisata nomor satu dunia! Padahal, Sulawesi Utara dengan Bunakennya atau Sumatera Utara dengan Pulau Samosir dan Danau Tobanya semakin dikenal sebagai surga tandingan di Nusantara.

Siapa pun yang mengaku bangsa Indonesia tidak ada yang mampu menolak kenyataan akan kepulauan Nusantara yang digambarkan Multatuli melalui karyanya Max Havelaar sebagai “rangkaian zamrud di khatulistiwa”.

Siapa pula yang mampu menolak kebenaran dan kenyataan rahmat Ilahi bahwa Indonesia memang bagian dunia yang sungguh indah. Sejak ribuan tahun tak termungkiri, penduduknya ramah, cinta damai dan sesama.

Kekayaan alam serta seni budayanya pun tak tertandingi sejak ribuan tahun, telah turut mendudukkan harkat dan martabat umat manusia.

Sejarah Mencatat

Sejarah Indonesia mencatat, bahkan jika kita “penggal” dari sejak zaman kemerdekaan pada pertengahan abad ke-20 hingga sekarang, betapa Indonesia bersama sesama bangsa Asia dan Afrika sejak Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 telah mengubah jalannya sejarah umat manusia sedunia.

Jika penulis kembali ke kenangan dari 1970 ketika menyaksikan pemilu di Selandia Baru, tercuat ironi yang sungguh manusiawi.

Jika orang-orang Kiwi alias bangsa Selandia yang begitu memesona kedamaian dan ketenteraman negeri dan bangsa ini hingga tercuat pujian tulus menamakan Negeri Kiwi adalah Taman Firdaus, kenapa mereka tidak bisa memungkiri Indonesia, terutama Bali, adalah surga dunia yang setiap saat, nyaris sepanjang tahun, menggoda mereka. Sampai ada yang mengatakan, “Sebelum mati datanglah ke Bali.”

Hal yang belum mewujud di Indonesia adalah kesejahteraan sosial yang sudah mereka miliki pada 44 tahun lalu. Ketika itu, tidak ada satu apotek pun di Selandia yang mewajibkan siapa pun membawa resep dokter untuk membayar sebagai pengganti obat yang mereka tebus.

Bahkan ketika itu, beberapa sekolah terpaksa ditutup karena “ditinggalkan” para muridnya. Para mahasiswa yang kuliah bisa masuk ruang kuliah dengan sandal jepit. Buku apa pun yang harus mereka beli secara otomatis mendapat potongan 50 persen.

Sebegitulah pelayanan diberikan kepada mereka, yang bahkan uang kuliah pun tidak harus dibayar alias gratis. Kecuali kesejahteraan sosial yang diberikan kepada setiap warga negara sejak belum lahir hingga usia jompo, bahkan untuk menonton bioskop para senior citizen karcisnya setengah harga.

Kalau Anda menumpang kereta api dari stasiun keberangkatan, ketika membeli karcis langsung Anda dipersilakan memilih di gerbong mana mau duduk dan tempat duduk mana yang Anda pilih, di dekat jendela atau di mana saja.

Inilah sekadar catatan segar ketika sempat belajar sebentar di Taman Firdaus Selandia. Pertanyaan sederhana, kapan mimpi bersahaja seperti kita nikmati puluhan tahun lalu di Tanah Kiwi ini terwujud di Indonesia? Namun, “sayang disayang”, hanya 15 tahun kemudian, pada 1985, “Taman Firdaus di Bawah Sana” sudah tidak lagi semenggiurkan seperti pada 1970.

Sekarang, Anda musti membawa uang kalau ingin menebus resep di apotek. Jadi, ternyata di mana pun tidak ada yang langgeng di dunia. Hal yang abadi adalah (adanya) perubahan itu sendiri.

Selamat mencoblos demi mewujudkan Firdaus di Bumi Nusantara ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar