Pemilu
di “Taman Firdaus”
Winarta Adisubrata ; Wartawan Senior
|
SINAR
HARAPAN, 08 April 2014
Di “hari tenang”, ketika poster, spanduk, dan tanda gambar
belasan partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 telah dicopot dari
pandangan mata, kita terkenang kembali di “musim panas” pada ujung tahun
1970, menyaksikan pemilihan di Wellington, ibu kota Selandia Baru, betapa
aman, tenteram, damai, serta sejuknya ketika itu.
Musim panas ibarat di Taman Firdaus, sang surya mencorong
menebarkan panas di belahan bumi selatan di kawasan subtropika pada Desember
nan sejuk itu. Negeri “Nun di Bawah Sana” (The Down Under) jauhnya puluhan ribu mil dari Inggris, negeri
leluhur mereka.
Menamakan Selandia Baru ibarat Taman Firdaus, antara lain
ditandai kotak-kotak koran eceran pagi yang mereka kenal sebagai The Honesty Box, yang bentuk dan
rupanya tepat seperti kotak sabun berkaki yang menganga terbuka, dengan
lubang untuk memasukkan mata uang receh bagi mereka yang mau membeli dan
membayar.
Secara gurau, jika Anda mencomot satu atau dua eksemplar, tidak
ada yang mengontrol. Bahkan jika sang “pembeli” tidak membayar pun, silakan
saja! Itu sebabnya kotak koran eceran itu tanpa penjaga, dikenal sebagai honesty box.
Di Roxburg, hampir di ujung selatan dari The South Island alias Pulau Selatan, di kawasan kebun-kebun buah
tempat meja-meja penjaja buah-buahan dengan keranjang jeruk, persik atau buah
apa pun yang ditanam di sana.
Hanya dengan tulisan satu atau dua dolar harga per keranjangnya,
tanpa seorang penjual menunggui. Cuma ada sebuah peti kecil penyimpan uang
tunai yang berlubang untuk diisi dengan mata uang receh atau uang kertas yang
menjadi penunggu meja penjual buah-buahan itu.
Ketenteraman dan suasana aman seperti dicontohkan di atas
dilengkapi hal lain. Ada yang nyaris kebalikan dari yang Taman Firdaus
Nusantara ribuan tahun lalu, sebagian wilayahnya di zaman ketika pujangga
Valmiki dalam ciptaan Ramayananya dinamakan “Suwarnadipa”, yang makna
harfiahnya adalah kepulauan emas .
Melalui perenungan sesaat dan sekilas ini, kita menjadi sempat
kebingungan, walau tidak amat sangat. Mana yang lebih tepat dinamakan Taman
Firdaus? Nusantara yang hingga abad ke-21 sekarang masih dibanggakan dunia
sebagai “surga yang hilang”, seperti ditulis Prof Arysio Nunes dalam bukunya
berjudul Atlantis, yang juga diyakini Stephen Oppenheimer seperti
digambarkannya dalam bukunya berjudul Eden
in the East.
Berdasar survei pembaca majalah mingguan Time, selama belasan
tahun berturut-turut tanpa absen dan tanpa tergeser Pulau Bali tercatat
sebagai pulau resort wisata nomor satu dunia! Padahal, Sulawesi Utara dengan
Bunakennya atau Sumatera Utara dengan Pulau Samosir dan Danau Tobanya semakin
dikenal sebagai surga tandingan di Nusantara.
Siapa pun yang mengaku bangsa Indonesia tidak ada yang mampu
menolak kenyataan akan kepulauan Nusantara yang digambarkan Multatuli melalui
karyanya Max Havelaar sebagai “rangkaian
zamrud di khatulistiwa”.
Siapa pula yang mampu menolak kebenaran dan kenyataan rahmat
Ilahi bahwa Indonesia memang bagian dunia yang sungguh indah. Sejak ribuan
tahun tak termungkiri, penduduknya ramah, cinta damai dan sesama.
Kekayaan alam serta seni budayanya pun tak tertandingi sejak
ribuan tahun, telah turut mendudukkan harkat dan martabat umat manusia.
Sejarah Mencatat
Sejarah Indonesia mencatat, bahkan jika kita “penggal” dari
sejak zaman kemerdekaan pada pertengahan abad ke-20 hingga sekarang, betapa
Indonesia bersama sesama bangsa Asia dan Afrika sejak Konferensi Asia Afrika
di Bandung pada 1955 telah mengubah jalannya sejarah umat manusia sedunia.
Jika penulis kembali ke kenangan dari 1970 ketika menyaksikan
pemilu di Selandia Baru, tercuat ironi yang sungguh manusiawi.
Jika orang-orang Kiwi alias bangsa Selandia yang begitu memesona
kedamaian dan ketenteraman negeri dan bangsa ini hingga tercuat pujian tulus
menamakan Negeri Kiwi adalah Taman Firdaus, kenapa mereka tidak bisa
memungkiri Indonesia, terutama Bali, adalah surga dunia yang setiap saat,
nyaris sepanjang tahun, menggoda mereka. Sampai ada yang mengatakan, “Sebelum mati datanglah ke Bali.”
Hal yang belum mewujud di Indonesia adalah kesejahteraan sosial
yang sudah mereka miliki pada 44 tahun lalu. Ketika itu, tidak ada satu
apotek pun di Selandia yang mewajibkan siapa pun membawa resep dokter untuk
membayar sebagai pengganti obat yang mereka tebus.
Bahkan ketika itu, beberapa sekolah terpaksa ditutup karena
“ditinggalkan” para muridnya. Para mahasiswa yang kuliah bisa masuk ruang
kuliah dengan sandal jepit. Buku apa pun yang harus mereka beli secara
otomatis mendapat potongan 50 persen.
Sebegitulah pelayanan diberikan kepada mereka, yang bahkan uang
kuliah pun tidak harus dibayar alias gratis. Kecuali kesejahteraan sosial
yang diberikan kepada setiap warga negara sejak belum lahir hingga usia
jompo, bahkan untuk menonton bioskop para senior citizen karcisnya setengah
harga.
Kalau Anda menumpang kereta api dari stasiun keberangkatan,
ketika membeli karcis langsung Anda dipersilakan memilih di gerbong mana mau
duduk dan tempat duduk mana yang Anda pilih, di dekat jendela atau di mana
saja.
Inilah sekadar catatan segar ketika sempat belajar sebentar di
Taman Firdaus Selandia. Pertanyaan sederhana, kapan mimpi bersahaja seperti
kita nikmati puluhan tahun lalu di Tanah Kiwi ini terwujud di Indonesia?
Namun, “sayang disayang”, hanya 15 tahun kemudian, pada 1985, “Taman Firdaus
di Bawah Sana” sudah tidak lagi semenggiurkan seperti pada 1970.
Sekarang, Anda musti membawa uang kalau ingin menebus resep di
apotek. Jadi, ternyata di mana pun tidak ada yang langgeng di dunia. Hal yang
abadi adalah (adanya) perubahan itu sendiri.
Selamat mencoblos demi
mewujudkan Firdaus di Bumi Nusantara ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar