Caleg
Telah Berbuat Apa?
S Sagala Tua Saragih ; Dosen Prodi
Jurnalistik, Fikom Unpad
|
SINAR
HARAPAN, 08 April 2014
Besok, 6.608 calon anggota legislatif (caleg) akan bertarung
sengit memperebutkan 560 kursi DPR. Hampir 200.000 caleg lainnya pun akan
bertarung keras memperebutkan 2.112 kursi DPRD di 34 provinsi dan 16.895
kursi DPRD di 413 kabupaten dan di 92 kota.
Nasib mereka ditentukan kesediaan atau keikhlasan 186.569.233
warga negara republik ini, yang secara hukum berhak memilih. Pemilih tersebut
terdiri atas 93.418.119 laki-laki dan 93.151.087 perempuan.
Sebesar 30 persen dari total pemilih ini tergolong pemilih
pemula. Para pencoblos tersebar di 77 daerah pemilihan (dapil) DPR, 34 dapil
DPD, 259 dapil DPRD provinsi, dan 2.102 dapil DPRD kabupaten serta kota, baik
yang berada dalam negeri maupun yang berada di lebih 90 negara di luar
Indonesia.
Menjelang dan selama masa kampanye pemilihan legislatif (pileg),
kini mereka berlomba mengampanyekan
diri masing-masing dengan berbagai cara, termasuk melanggar hukum pemilihan
umum (pemilu) dan hukum lainnya.
Di berbagai tempat, termasuk tubuh angkutan kota (angkot),
mereka memamerkan nama dan “segudang” gelar akademik, plus gelar raden dan
haji di depan dan belakang nama mereka. Kita tak mengetahui dengan pasti,
apakah gelar akademik yang sangat banyak itu palsu, aspal (asli tapi palsu),
atau gelar sungguhan.
Berbagai media telah sering memberitakan, menjelang pendaftaran
caleg, “pabrik” ijazah sarjana diburu banyak orang. Harga selembar ijazah
sarjana Rp 15-30 juta. Gelar S-2 dan S-3 tentu jauh lebih mahal. Mereka
mengira, dengan dipajangnya banyak gelar, kita tertarik memilih mereka.
Padahal, kita (pemilih) tak membutuhkan gelar apa pun. Hal yang
sangat kita butuhkan adalah kontribusi (andil) mereka di tengah masyarakat
selama ini, bukan hanya menjelang pemilu.
Setiap caleg mengeluarkan biaya yang sangat besar, dari puluhan
juta hingga Rp 5 miliar. Luar biasa. Akan tetapi, apakah warga masyarakat
merasakan uang mereka? Artinya, apakah uang sebanyak itu selama ini mereka
pakai membangun atau memberdayakan warga, terutama di dapil masing-masing?
Apakah selama ini mereka membantu orang miskin yang tak sanggup melanjutkan
sekolah? Apakah mereka pernah menyelamatkan para tenaga kerja wanita (TKW)
alias para pembantu rumah tangga yang divonis hukuman mati di berbagai
negara? Apakah mereka pernah berjuang untuk kaum perempuan yang
didiskriminasikan hukum negara, hukum agama, hukum adat (budaya), dan
sebagainya? Apakah mereka pernah berjuang keras untuk kebersihan, kesehatan,
dan kelestarian lingkungan alam? Apakah mereka pernah berjuang mencegah
korupsi dan membongkar korupsi?
Apakah mereka pernah berjuang bagi masyarakat yang dilarang
beribadah dan mendirikan rumah ibadah? Apakah mereka pernah memperjuangkan
hak-hak konsumen? Apakah pernah mereka memperjuangkan nasib rakyat yang
dipinggirkan, dimiskinkan, dibodoh-bodohi, ditindas, dan diperlakukan tak
adil? Apakah mereka pernah mengurusi kaum gelandangan dan anak-anak telantar
yang setiap hari mengemis di tepi jalan? Apakah mereka pernah mendesak
pemerintah menghentikan ekspor TKW?
Pernahkah mereka memperjuangkan nasib petani kita dengan
mendesak pemerintah segera menghentikan impor produk-produk pertanian?
Pernahkah mereka berjuang keras dengan mendesak DPR dan presiden (pemerintah)
menasionalkan perusahaan-perusahaan pertambangan asing? Apa yang telah mereka
perbuat bagi rakyat selama ini sehingga berani mencalonkan diri sebagai caleg
di tingkat nasional/daerah?
Andai selama ini telah melakukan berbagai hal besar dan sangat
bermanfaat, pastilah mereka sering diberitakan media massa dan media sosial
sehingga kita mengenal mereka. Akan tetapi, kini dalam era informasi modern,
kita bagaikan hendak membeli kucing dalam karung.
Berbagai hasil survei membuktikan, hampir semua calon pemilih
tak mengenal para caleg. Bahkan mereka tak mengenal ke-12 partai politik
(parpol) nasional peserta pemilu.
Jangankan para pemilih
pemula yang berusia 17-21 tahun, penulis saja yang telah mencoblos sejak
pemilu pertama pada era rezim Orde Baru (1971) sama sekali tak mengenal para
caleg sekarang, baik caleg DPR dan DPD yang berdapilkan Kota Bandung, maupun
caleg di DPRD Jawa Barat dan DPRD Kota Bandung.
Simaklah hasil dua survei berikut ini. Pertama, hasil survei Centre for Strategic and International
Studies (CSIS) Jakarta pada 13-20 November 3012 membuktikan, mayoritas
mutlak responden (total respondennya 1.180 orang dari 33 provinsi) tidak
mengenal ke-12 parpol nasional peserta Pemilu 2014.
Kedua, hasil survei “Peta Politik Indonesia” yang
diselenggarakan Tempo dan Indikator Politik Indonesia pada 28 Februari-10
Maret 2014 di semua (34) provinsi menunjukkan, Pileg 2014 minus informasi.
Hampir separuh dari 2.050 responden menyatakan, sama sekali
tidak mengenal caleg di dapil masing-masing. Sebanyak 40 persen responden
hannya mengetahui sebagian kecil caleg. Hanya 6,7 persen responden yang
mengenal semua atau sebagian besar caleg di dapil masing-masing (Tempo, 24-30
Maret).
Untunglah ada satu hal dalam hasil survei ini yang
menggembirakan hati. Ternyata, 79,6 persen responden menyatakan pasti
menggunakan hak suara masing-masing pada pileg, Rabu (9/4) dan pilpres pada 9
Juli 2014.
Masih ingatkah Anda (yang terhormat) betapa sangat besarnya
angka golput pada Pemilu 2009? Tidak tanggung-tanggung, 39,1 persen. Ini
angka golput terbesar selama Indonesia menyelenggarakan pemilu.
Angka golput ini selalu menghantui para caleg dan KPU (Komisi
Pemilihan Umum) pusat dan daerah karena mereka dianggap gagal memasyarakatkan
pemilu dan membujuk seluruh rakyat yang berhak memilih guna mencoblos gambar
caleg/parpol.
Sebagai perbandingan, pada Pemilu 2004, jumlah golput 23,34
persen. Pada Pemilu 1999 (pemilu pertama dalam era Reformasi), golput hanya
10,21 persen. Bahkan dalam pemilu terakhir rezim Orde Baru (1997), jumlah
golput hanya 9,42 persen.
Memang kita telah berkali-kali dikecewakan hasil pileg dan
pilpres. Artinya, para wakil rakyat di DPR dan DPRD serta presiden tidak
sungguh mengaktualisasikan aspirasi kita.
Akan tetapi, bila kita menggunakan kata buruk, tidak mencoblos
alias golput lebih buruk daripada mencoblos. Bila kita memakai kata baik,
mencoblos lebih baik daripada tidak mencoblos. Tentu Anda boleh berbeda
pendapat dengan saya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar