Pasal
Sapu Jagad pada UU Perbankan
Yunus Husein ; Kepala PPATK
2002-201, Dosen Hukum Perbankan FHUI
|
KORAN
SINDO, 02 April 2014
Usaha
perbankan mengandung banyak risiko, antara lain kredit, pasar, operasional,
likuiditas, strategis, reputasi, hukum, dan risiko kepatuhan. Untuk bank
syariah ada dua risiko lagi, yaitu risiko investasi dan risiko bagi hasil.
Untuk
Indonesia, bank juga menghadapi risiko politik, karena perilaku para politisi
yang kadang kala merugikan bank. Risiko kepatuhan adalah risiko yang dihadapi
bank karena tidak patuh pada peraturan perundangundangan sesuai dengan
perintah otoritas perbankan setelah ditemui adanya penyimpangan oleh bank.
Risiko kepatuhan ini dapat berupa sanksi administratif dan sanksi pidana
sebagaimana diatur undang-undang perbankan. Tulisan ini membahas sanksi pidana
kepada komisaris, direksi, dan pegawai bank yang tidak patuh pada perintah otoritas
perbankan Bank Indonesia.
Sanksi
pidana ini diatur dalam ketentuan pidana yang bersifat ”sapu jagat” yang
diatur dalam pasal 49 ayat (2) huruf b Undang- Undang Perbankan No 7 Tahun
1992 tentang Perbankan (Konvensional) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) dan Pasal 63 ayat (2)huruf b UU
No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariahyang subjeknya komisaris, direksi,
dan pegawai bank.
Ketentuan
yang sama juga berlaku untuk pihak terafiliasi dan pemegang saham. Penerapan
ketentuan pidana tersebut sering diterapkan secara membabi buta, sehingga
menimbulkan banyak korban tak berdosa di kalangan perbankan. Bagaimanakah
sebenarnya penerapan ketentuan tersebut secara adil dan memberikan kepastian
hukum sehingga tidak menimbulkan korban yang tidak berdosa?
Ketentuan yang Berlaku
Pasal 49
ayat (2) b UU Perbankan Konvensional berbunyi: anggota dewan komisaris atau
pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam
undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8
(delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit lima miliar rupiah dan paling
banyak 100 miliar rupiah.
Ketentuan
UU Perbankan konvensional ternyata lebih luas (lebih sapu jagat) dari pada
ketentuan UU Perbankan Syariah. UU Perbankan syariah hanya mengaitkan
pelanggaran dengan UU Perbankan syariah, sementara UU Perbankan Konvensional
mengaitkan dengan pelanggaran UU Perbankan (Konvensional) dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Administrative Penal Law dan
Ultimum Remedium
Administrative Penal Law (APL)
adalah semua undang-undang dalam lingkup administrasi negara yang memiliki
sanksi pidana misalnya Undangundang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan
Undangundang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang No 10 Tahun 1998. UU Perbankan bersifat administratif yang
diperkuat dengan sanksi pidana, sehingga disebut juga dengan admistrative penal law. Di samping
itu, ketentuan dalam UU perbankan menganut azas ultimum remedium. Artinya
hukum pidana sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum.
Kalau
suatu kasus dapat diselesaikan dengan cara lain seperti tindakan
administratif, penyelesaian dengan menerapkan hukum pidana tidak diperlukan.
Dalam hal ini, ketentuan pidana yang ada dalam UU Perbankan tidak langsung
diterapkan apabila terjadi tindak pidana. Sebelum penerapan ketentuan pidana,
dilakukan upaya-upaya administratif. Hal ini harus dinyatakan dengan tegas
dalam Undang-undang, misalnya dalam Pasal 100 UU No 32 Tahun 2009 tentang
Lingkungan Hidup. Sifat administrative
penal ini tidak diatur secara jelas pada batang tubuh dan tidak juga
dalam penjelasan UU Perbankan, sehingga banyak tidak dimengerti oleh pencari
keadilan.
Bahkan,
tidak semua orang yang mengerti sistem pengawasan dan pembinaan bank juga
mengerti penerapan administrative penal
pada UU Perbankan berdasarkan asas ultimum
remedium. Dalam hal ini, ketentuan pidana dalam UU Perbankan bersifat ultimum remedium, penerapan ketentuan
pidana dilakukan setelah berbagai upaya administrasi dilakukan terlebih
dahulu. Sebaliknya, ketentuan pidana perbankan, bukan bersifat premium remedium yang langsung
diterapkan tanpa menunggu tindakan administratif terlebih dahulu.
UU
Perbankan menggunakan perumusan ”tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank”
yang bersifat umum dan luas yang sering disalahtafsirkan, bahwa yang dimaksud
dengan ”langkah-langkah” adalah sistem
operating procedures (SOP) yang dimiliki bank. Kalau diartikan demikian,
setiap pelanggaran SOP atau ketentuan perbankan yang bersifat administratif
akan dianggapsebagai pelanggaran pidana. Misalnya bank melanggar ketentuan
Giro Wajib Minimum, Posisi Devisa Neto atau tidak atau terlambat menyampaikan
laporan kepada otoritas perbankan/Bank Indonesia.
Penafsiran
ini membahayakan, karena setiap pelanggaran SOP walaupun tidak bersifat
ketentuan internal dan tidak signifikan tetap dianggap pelanggaran pidana,
sehingga pegawai bank mudah sekali dikriminalisasi. Seharusnya
”langkah-langkah” diartikan dengan ”langkah-langkah yang harus dilakukan atau
tidak dilakukan bank”, untuk memperbaiki penyimpangan yang terjadi dalam
rangka pembinaan bank.
”Langkah-langkah”
ini dicantumkan pada ”action plan”, ”surat pembinaan” atau risalah rapat
pertemuan antara otoritas dan bank yang selama ini dikenal dengan nama Cease and Desist Order. Jadi ”langkah-langkah” ini bersifat
spesifik, karena adanya pelanggaran yang harus diperbaiki dan bukan
langkah-langkah standar yang ada dalam SOP.
Subjek Pidana Terbatas
Salah
satu keterbatasan ketentuan pidana Pasal 49 ayat (2) huruf b Pasal UU
Perbankan adalah subjek hukumnya terbatas, yaitu komisaris, direksi, dan
pegawai bank. Sehingga kalau ada pihak di luar bank yang terlibat (penyertaan
dalam tindak pidana) tidak bisa dituntut dengan pasal ini. Subjek tindak
pidana yang terbatas ini dapat merugikan komisaris, direksi dan pegawai bank.
Juga merugikan penegakan hukum.
Keterbatasan
subjek tindak pidana ini juga merupakan salah satu ciri ketentuan perbankan
yang bersifat lex specialis. Jadi
ketentuan pasal ini hanya dapat diterapkan terhadap komisaris, direksi dan
pegawai bank saja. Dengan alasan ini pulalah para penegak hukum terutama jaksa
penuntut umum cenderung menjerat komisaris, direksi dan pegawai bank dan
bukan pelaku lain dari luar bank. Di samping itu, subjek tindak pidana yang
terbatas ini mengakibatkan penegak hukum, menggunakan Undang-undang yang
lebih umum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Yurisprudensi
Ada
beberapa yurisprudensi sebagai implementasi Pasal 49 ayat (2) huruf b. Ada
yurisprudensi yang menerapkan ketentuan tersebut dengan benar, ada juga yang
salah. Penerapan yang benar terlihat dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Barat No. 001/PID/B/1998/PN.JKT.BAR ,13 April 1998 dengan terhukum Ahmad
Febby Fadhillah, komisaris PT Bank Citra dan Chandra W, direktur Bank Citra.
Majelis
yang dipimpin oleh Andar Purba SH menghukum kedua terdakwa dengan hukuman
penjara masing-masing tiga bulan dan denda empat puluh juta rupiah karena
tidak melakukan langkah-langkah yang diminta secara tertulis oleh Bank
Indonesia sebagai pengawas dan pembina bank untuk memperbaiki penyimpangan
yang dilakukannya.
Penyimpangan
yangdilakukan adalah tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperintahkan
oleh Bank Indonesia melalui empat surat selama tahun 1997 untuk memperbaiki
pelanggaran yang terjadi, misalnya membeli obligasi atas nama bank tetapi,
obligasinya tidak tercatat di bank, menggunakan uang PT Bank Citra untuk
perusahaan terdakwa. Di lain pihak, ada putusan pengadilan yang menerapkan
Pasal 49 ayat (2) huruf b secara kurang tepat,
seperti
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menghukum pidana penjara
selama tiga tahun dan denda lima miliar rupiah untuk tiga orang pegawai Bank
Rakyat Indonesia yang tidak menerapkan SOP sepenuhnya pada waktu menerima
emas sebagai jaminan gadai atas pinjaman yang diberikan kepada nasabahnya.
Kemudian, emas yang digadaikan itu ternyata palsu tanpa dilakukan pengecekan yang
seksama sebelumnya.
Solusi
Penerapan
ketentuan perbankan yang bersifat ultimum remedium tersebut memang ruang
lingkupnya luas, tetapi penerapannya tidak sertamerta. Sebelum penerapan
ketentuan pidana perbankan, seharusnya dilakukan tindakan administratif oleh
otoritas untuk meminta komitmen bank untuk melakukan perbaikan dalam rangka
menaati ketentuan yang berlaku. Kalau bank tidak menaati komitmennya, barulah
ketentuan pidana itu dapat diterapkan.
Selanjutnya untuk mencegah terjadi korban lebih banyak lagi, otoritas
perbankan dan industri perbankan untuk melakukan penyamaan persepsi dengan
para penegak hukum dan akademisi dan pihak lainnya, sehingga tidak terjadi
penerapan hukum yang keliru. Untuk jangka panjang Undang-Undang Perbankan
perlu direvisi, sehingga menjadi lebih jelas pengaturan tentang asas ultimum remedium dalam UU tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar