Mengurangi
Golput dalam Pemilu
Dinna Wisnu ; Co-Founder &
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 02 April 2014
Golongan
putih atau golput adalah istilah yang populer dikampanyekan pada saat
pemerintahan Orde Baru. Istilah ini terutama dipopulerkan oleh gerakan
mahasiswa kepada masyarakat untuk tidak terlibat dalam pemilihan politik yang
diselenggarakan di bawah pemerintahan Orde Baru karena ketiga partai yang
terlibat pemilu saat itu––Golkar,
Partai
Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia–– adalah partai boneka
dari kepentingan Soeharto sebagai presiden. Meski demikian, angka golput
dalam masa itu ternyata lebih rendah daripada angka golput di masa kini.Angka
golput paling tinggi di masa rezim Orde Baru terjadi pada tahun 1999. Menurut
data Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada tahun itu 10,2% penduduk yang tercatat
sebagai pemilih tidak menggunakan haknya. Kegembiraan masyarakat akan ruang
politik yang lebih terbuka dan demokratis pascakeruntuhan rezim Orde Baru dan
mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan tidak lantas membuat partisipasi
masyarakat dalam pemilu naik.
Kebebasan
untuk menyatakan pendapat dan menjamin warganya untuk bebas mengidentifikasi
diri dengan afiliasi politik mana pun ternyata tak mampu mendorong warga
untuk menggunakan hak suaranya untuk memilih pemimpin yang menentukan hidup
mereka dalam lima tahun ke depan. Angka golput di Indonesia justru bertambah
dua kali lipat dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden pada tahun 2004,
yaitu 23% dan 21%. Angka ini terus naik di dalam pemilu legislatif dan pemilu
presiden pada 2009, yaitu 29% dan 29,1%. Bahkan hal ini terjadi juga dalam pilkada.
Angka
golput juga tidak menurun dalam beberapa pemilihan umum kepala daerah yang
terjadi di dalam tiga tahun terakhir. Banyak pihak yang menyatakan
peningkatan angka golput dari tahun ke tahun disebabkan kualitas partai dan
calon legislator atau calon presiden yang tidak baik. Keadaan tersebut membuat
warga tidak antusias untuk memberikan suaranya. Namun apa kemudian
penjelasannya jika kita melihat Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada
2012? Pilgub Jakarta tak dapat disangkal merupakan salah satu proses
pemilihan kepala daerah yang paling berkualitas karena menyajikan tokoh-tokoh
nasional dengan jam terbang politik yang baik dan dengan program-program
pembangunan Jakarta yang cukup jelas dikomunikasikan,
tetapi
angka golput ternyata tidak menurun, bahkan di atas angka rata-rata nasional.
KPU Jakarta mencatat bahwa dalam pemilihan Gubernur DKI putaran pertama,
angka golput mencapai 36,3% dan dalam putaran kedua mencapai 33,2%. Kondisi
serupa terjadi dalam pemilihan kepala daerah di Jawa Barat pada 2013.
Masyarakat Jawa Barat yang tidak menggunakan hak pilihnya tercatat 36,15%
atau 11,8 juta orang. Angka ini jauh lebih tinggi daripada pemilihan
sebelumnya di tahun 2008 yang ”hanya” mencapai 32,6%. Gambaran yang lebih
ironis bahkan terjadi dalam pemilihan kepala daerah di Jawa Timur di mana
perolehan pemenang pertama, pasangan KarSa, mencapai 47,2% tetapi di
peringkat kedua ada golput sebanyak 41%!
Merujuk
pada gambaran dan data di atas, muncul wacana untuk mewajibkan warga
menggunakan hak pilihnya. Beberapa KPU daerah bahkan telah
menginterpretasikan Pasal 292 dan 308 dalam UU No 8 Tahun 2012 sebagai dasar
untuk menindak pidana mereka yang menyebabkan pihak lain kehilangan hak
pilihnya, termasuk dengan ikut golput. Walaupun KPU pusat belum memutuskan
untuk mendiskusikan pasal itu lebih dalam, wacana untuk mewajibkan warga memilih
sudah berkembang. Di sini saya ingin menarik fenomena golput ini dalam
konteks demokrasi di tingkat global.
Kewajiban
untuk menggunakan hak pilih dengan paksaan bukanlah barang asing dalam alam
demokrasi. Di dunia ada 31 negara yang mewajibkan warga negaranya untuk
datang tempat pemilihan suara. Menurut Elliott Frankal (2005), Belgia adalah
salah satu negara yang telah lama menerapkan kebijakan ini sejak tahun 1892
untuk laki-laki dan 1949 untuk perempuan. Ada denda ringan, tetapi bila sudah
setidaknya 4 kali tidak ikut pemilu ia akan kehilangan hak suara selama 10
tahun kemudian dan dipersulit dalam mendapatkan pekerjaan di sektor publik.
Beberapa
negara bahkan memberikan sanksi tegas bila warganegaranya tidak dapat
membuktikan bahwa dia telah berpartisipasi dalam pemilu, seperti misalnya
denda dan penjara di Australia, sulit membuat paspor dan surat izin mengemudi
di Yunani, dilarang mengambil gaji dari Bank di Bolivia atau bagi si miskin
di Peru akan kesulitan mendapat bantuan sosial. Sejauh mana kewajiban dan
sanksi macam itu dapat meningkatkan partisipasi dan kualitas demokrasi masih
diperdebatkan. Jika kita menilik data IDEA, di Eropa sulit dikatakan ada efek
positifnya karena sepanjang tahun tren keikutsertaan dalam pemilu terus
menurun.
Tapi
kalau kita lihat data dari Amerika Selatan, keikutsertaan pemilih dalam
pemilu tergolong stabil dan termasuk di atas rata-rata global. Di sisi lain,
Amerika Serikat yang tidak menerapkan sanksi golput mengalami penurunan
keikutsertaan pemilih yang mencengangkan. Hal ini terlepas dari insentif
seperti pengadaan pemilu di hari libur, political
canvassing (alias ajakan dari pintu ke pintu untuk ikut memilih pada hari
pemilu), bahkan pilihan memilih dini (alias absentee voting). Tentu saja lain
padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
Kasus
golput di Indonesia perlu dipelajari dengan lebih sistematis sebelum kita
dapat mengambil simpulan tegas tentang alasan mengapa para pemilih enggan
menggunakan hak pilihnya. Namun dalam ruang wacana saat ini, perlu kiranya
dilontarkan di sini sejumlah pandangan dan temuan yang berkembang selama ini
terkait golput. Ada dua hal yang berbeda bila bicara tentang ”pengajak
golput” dan ”individu yang golput”. Ajakan golput mengindikasikan suatu
gerakan yang sistematis ingin menjegal atau menghambat pemilu; ini wajib
dibereskan oleh pihak berwenang. Tapi bila tidak ditemukan hal yang
sistematis, perlu dipertimbangkan faktor-faktor berikut ini.
Pertama,
dorongan memilih tidak hanya ditentukan oleh satu dimensi kemauan untuk
memilih, tetapi ada juga dimensi pengetahuan tentang apa itu pemilu, siapa
yang dipilih, dan apa konsekuensi dari pilihan pemilih. Faktor edukasi,
persuasi, pendidikan pemilih, bahkan harapan bahwa satu suara pun ikut
menentukan hasil pemilu menjadi penting untuk diperhatikan. Apakah halhal itu
cukup tersedia? Kedua, dorongan memilih ditentukan juga oleh kemudahan dalam
menjalani hak pilih tersebut.
Faktor
keterjangkauan TPS serta bantuan bagi yang sakit/ hamil/lanjut usia menjadi
faktor yang perlu dijembatani. Ketiga, kelompok pemilih muda punya perilaku
pemilih yang cenderung tidak bisa disamaratakan dengan perilaku pemilih
terdahulu. Dalam sejumlah studi mereka punya kecenderungan untuk lebih kritis
dan tak mustahil pula apatis. Artinya perilaku mereka bukan disebabkan
keengganan atau ketidakmampuan memilih seperti kategori 1 dan 2 yang
disebutkan di atas, tetapi justru karena mereka ingin menunjukkan warna
berbeda untuk generasi pemilih yang baru.
Itu
sebabnya sejumlah besar partai politik di dunia selalu memberi tempat khusus
bagi para pemilih muda untuk aktif dalam kegiatan partai dan pengumpulan
suara karena hanya orang muda yang bisa memberi persuasi meyakinkan pada pemuda
lainnya. Di Amerika Serikat, para pemilih muda disinyalir skeptis memilih
karena sistem pemilu dan sistem partai politik yang tidak memungkinkan ada
perubahan berarti dalam pembuatan kebijakan, terlepas betapapun indahnya
janji politik selama kampanye. Padahal dalam demokrasi, kestabilan sistem
pemilu dan sistem partai bukanlah indikasi buruk dari berjalannya demokrasi.
Pada
akhirnya, kita juga perlu menempatkan pemilu dalam porsinya sebagai ruang
bagi masyarakat menggunakan hak pilih. Hak adalah hak sehingga ia tidak bisa
dengan semena-mena dicabut hanya karena alasan-alasan yang belum tentu tepat
terbaca oleh negara. Untuk itulah para ilmuwan bidang sosial dan politik di
negara yang ingin menguatkan demokrasinya, seperti Indonesia, perlu mengalokasikan
lebih banyak waktu untuk mempelajari perilaku pemilih di negerinya. Tidak ada
resep jitu yang tunggal bagi seluruh demokrasi sehingga ini isyarat bagi
Indonesia untuk secara bertahap memperbaiki layanan bagi pemilih beserta
aturan pemilu dan cara komunikasi soal pemilu. Lebih baik tidak tergesa-gesa
menghukum warganegara karenahalitujustru bisa jadi bumerang bagi demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar