Cepot
Bagja Hidayat ; Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
02 April 2014
ASEP
Sunandar Sunarya meninggal di usia 58, Senin lalu. Dalam dunia wayang golek,
dia seperti Srimulat bagi para pelawak. Asep menjadi pionir dan kiblat
mendalang di zaman modern. Inovasi panggungnya sangat terkenal: cepot berkaki
satu dengan kepala bisa mengangguk, Gareng sebagai tambahan punakawan, buta
copot kepala hingga wayang bisa memuntahkan mi.
Dan
bukan hanya karena itu Asep dikenang banyak orang. Ia menghibur karena
memenuhi daya khayal penonton akan dunia lain yang disediakan pewayangan.
Kita datang ke pertunjukan Asep tak hanya untuk menonton nayaga dan panggung
Giri Harja III yang megah, tapi juga menyimak "dunia lain" yang
dimodifikasi Asep dari kisah Ramayana dan Mahabharata dengan sangat lokal dan
kontekstual.
Di
antara sekian banyak tokoh wayang yang berkarakter karena suaranya
berbeda-beda, agaknya Asep identik atau mengidentikkan diri dengan Cepot.
Inovasinya mendalang sangat bertumpu pada tokoh ini. Asep menciptakan kaki
dan kepala Cepot bisa mengangguk, yang membuatnya terkenal ke seluruh dunia.
Dan Cepot komplet sebagai tokoh. Meski memanggil Semar dengan
"ayah", Cepot bukan anaknya. Ia bayangannya sehingga selalu ada di
sisi Semar tiap kali tampil.
Astrajingga
bermuka merah karena ia gampang naik darah. Ia pemarah yang lucu. Muka merah
itu berkombinasi dengan hidung minimalis dan bibir menyeringai tertawa lebar
menunjukkan satu gigi. Ia punakawan paling lucu dan pintar sekaligus paling
filosofis. Ada satu cerita Cepot patah hati serius karena cintanya ditolak
seorang putri dan kemarahannya membuat Tumaritis dan Hastinapura guncang.
Tentu
saja Cepot tak ada dalam cerita asli Ramayana atau Mahabharata. Cepot kreasi
asli dalang-dalang di Jawa Barat untuk dua epos besar India itu. Dan dalang
yang berhasil adalah dalang yang bisa memainkan Cepot dengan sempurna: lucu,
gampang marah, cerdas, sekaligus omongannya penuh renungan. Sebab, dengan
sifat yang witty seperti itu, Cepot
ditunggu penonton.
Dalam
sebuah jeda perang Ayodya dan Alengka memperebutkan Dewi Shinta, Cepot tampil
dengan pikirannya yang unik. Ia berdebat dengan seorang kesatria tentang
perlunya berdoa di zaman perang "konyol" itu. Kesatria itu
menyergah bahwa doa tak diperlukan manusia karena Tuhan telah menggariskan
nasib dan Ia mahatahu apa yang ada dalam hati dan pikiran kita. Dengan gaya
humornya, Cepot sampai pada jawaban-jawaban filosofis yang masuk akal dan
membumi.
Bagi
Cepot, berdoa tak semata meminta dan memohon pertolongan dari sesuatu di luar
akal manusia, kekuatan yang tak teraba pancaindra. Bagi dia, berdoa adalah
cara bersyukur dan mendekat kepada Tuhan. Pada momen berdoa, kata Cepot, ada
pengalaman individual yang transenden dan kejujuran pengakuan sebagai makhluk
yang dhaif. Dan itulah iman, sesuatu yang membedakan manusia di mata Tuhan.
Dengan
cara berpikir seperti itu, Astrajingga sesungguhnya tokoh sentral dalam
wayang golek. Ia tak melulu arif seperti Semar, tak selamanya bijak seperti
Kresna, atau selalu melucu layaknya Gareng. Astrajingga paduan itu semua. Ia
mengingatkan pada Nasruddin Hoja atau Abu Nuwas, filsuf yang berpikir dari
sisi humor. Asep Sunandar mentransformasikannya dalam kesenian yang amat
digemari di Jawa Barat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar