Orientasi
Kejuangan Kartini
Paulus Mujiran ; Penulis
|
TEMPO.CO,
21 April 2014
Melalui
Keputusan Presiden Pertama RI Ir Sukarno Nomor 108 tanggal 2 Mei 1964,
Kartini ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan. Sejak masih hidup, Kartini
telah menarik perhatian, terutama dari bangsa Belanda. Melalui aktivitas
korespondensi terekam keresahan mendalam tentang emansipasi dan hak kaum
perempuan pada zamannya. Buku kumpulan tulisannya yang berjudul Door
Duisternis Tot, yang diterjemahkan oleh sastrawan Armijn Pane
menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, mencatat orientasi kejuangan Kartini.
Orang
boleh saja sinis dan menganggap Kartini sebagai anak birokrat yang kesepian
pada masanya. Namun melalui aktivitas surat-menyuratnya justru membuka
pemikiran, termasuk orang Belanda, dengan tulisan, "Bukan kepada pria kami melancarkan peperangan, tetapi terhadap
anggapan kuno, adat, yang tidak lagi mendatangkan kebajikan bagi orang Jawa
kami di kemudian hari." Masa gelap bagi Kartini adalah keadaan
ketika rakyat pribumi sama sekali tidak menikmati kemajuan.
Kolonialisme
Belanda menyebabkan rakyat terbelenggu dalam kemiskinan dan kebodohan. Sarana
untuk membebaskan kondisi muram itu hanyalah dengan pendidikan. Dalam surat
kepada sahabatnya, Stelle Zeenhandelaar, Kartini menulis, "Pemberian pengajaran yang baik
kepada rakyat sama halnya dengan pemerintah memberikan obor ke dalam
tangannya, agar ia menemukan sendiri jalan yang benar menuju tempat nasi itu
berada." Kartini sangat menyadari, selama kebodohan dan kemiskinan
membelenggu, kebebasan tidak akan diraih.
Karena
itu, ia memandang kesetaraan tidak sebatas perkara gender. Pramoedya Ananta
Toer dalam novel Panggil Aku Kartini
Saja menulis, "Dialah yang
menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang ada di Indonesia pertama kali
timbul di Demak, Kudus, Jepara sejak pertengahan kedua abad yang lalu. Di
tangannya, kemajuan itu dirumuskan, diperincinya, dan diperjuangkannya untuk
kemudian menjadi milik nasion Indonesia."
Gagasan
besar Kartini pada masanya terbilang maju dibanding generasi sezamannya yang
menerima saja perlakuan jahat penjajahan. Di sinilah sebenarnya relevansi
mengemukakan kembali orientasi kejuangan Kartini.
Kungkungan
feodalisme dan budaya adat keraton yang ketat tidak menyurutkan niatnya
sebarisan dengan kebanyakan pribumi yang menderita karena dijajah. Pengakuan
ketokohan Kartini tertulis dalam novel Toety Heraty Selendang Pelangi-Tujuh Belas Penyair Perempuan Indonesia,
gerakan perempuan mendunia telah menggugah kesadaran perempuan secara meluas.
Gelombang pertama menemukan gemanya di Tanah Air lewat tokoh seperti RA
Kartini pada awal abad ke-20.
Pramoedya
Ananta Toer dalam Jejak Langkah
(2009) menulis pernyataan Kartini kepada Ang San Mei, "Tanpa kebebasan berarti juga tanpa ada apa-apa bisa dicapai.
Sedang di Priangan sana, katanya lagi, ada seorang wanita muda sudah berhasil
mendirikan taman pendidikan seperti yang selama ini ia impikan. Dewi Sartika
namanya (halaman 148)." Penggalan itu melukiskan ketidakbebasan
Kartini. Meski dibelenggu, Kartini tetap dapat melakukan banyak hal. Sadar
akan hal itu, peringatan Hari Kartini semestinya
diberi muka baru. Orientasi perjuangan perempuan pada masa kini tidak
pertama-tama melawan kaum laki-laki, melainkan memberikan akses atau
kesempatan yang sama kepada semua perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar