Gabo
Anton Kurnia ; Penulis
Cerpen dan Esai
|
TEMPO.CO,
21 April 2014
Pertengahan
Mei dua tahun lalu, jagat media sosial Twitter dihebohkan kabar yang tersiar
dari akun pengarang terkemuka Italia, Umberto Eco: "Gabriel García Márquez dies. I received the news now from New
York."
Kabar
mengagetkan itu segera diklarifikasi oleh kerabat dekat sastrawan terpopuler
Amerika Latin dan pemenang Hadiah Nobel Sastra 1982 itu. Gabo-panggilan
akrabnya-masih segar-bugar dan berada di ibu kota Kolombia, negeri
kelahirannya. Entah dari mana kabar burung itu bersumber dan tak jelas pula apa
maksud si penyebar. Selain Gabo, sejumlah selebritas lain pernah digosipkan
meninggal dunia lewat Twitter, termasuk Fidel Castro-pemimpin revolusi Kuba
yang juga sahabat dekat Gabo selama puluhan tahun.
Namun
kali ini kabar yang beredar bukan lagi isapan jempol. Sang maestro tutup usia
dengan tenang pada 18 April 2014, sekitar sebulan setelah ulang tahunnya yang
ke-86, 6 Maret lalu.
Sejak
dua tahun terakhir Gabo telah melemah dirundung demensia. Kaburnya ingatan
dan penurunan fungsi otak yang merupakan efek samping pengobatan kanker limpa
yang dideritanya sejak 1999 telah merenggut bakat besar dan imajinasi liarnya
yang legendaris. Sang pengarang agung terlibas
ironi: dikutuk terpenjara dalam "kesunyian" di ujung hidupnya
bagaikan tema utama novel-novelnya yang kerap berkisah tentang kesunyian
manusia.
Dalam
peta sastra dunia, Gabo dianggap salah seorang pelopor aliran realisme magis
dan empu dalam sastra berbahasa Spanyol setelah Miguel de Cervantes, sang
penulis novel klasik Don Quixote. Karya-karya Gabo telah diterjemahkan ke
dalam lebih dari 30 bahasa di seluruh dunia, termasuk bahasa Indonesia.
Cien años de soledad (1967,
diindonesiakan sebagai Seratus Tahun
Kesunyian), magnum opus-nya,
adalah novel terkemuka di pentas sastra modern. Novel menakjubkan tentang
empat generasi keluarga Kolonel Buendia yang berlatar kampung imajiner
bernama Macondo itu membaurkan kenyataan dengan imajinasi liar di mana
manusia dan hantu berbaur dan kejadian-kejadian fantastis bermunculan,
diwarnai humor segar, konflik politik, intrik asmara, dan ironi kehidupan.
Tak pelak, novel itu melejitkan Gabo ke puncak langit sastra dunia dan
dianggap sebagai salah satu novel terbaik yang lahir pada abad ke-20 oleh
majalah internasional berpengaruh Time.
Pada
1982, Gabo dianugerahi Hadiah Nobel Sastra. Dalam pidato penerimaan hadiah
tersebut, Gabo, yang seumur hidupnya selalu bersimpati pada perjuangan kaum
kiri di berbagai belahan dunia, mengingatkan hadirin akan sebuah kenyataan Amerika Latin: belantara "dunia ketiga" yang
seakan-akan didominasi oleh kekerasan, junta militer, pertentangan ideologi,
kemiskinan, dan keterbelakangan.
Dengan
caranya sendiri, Gabo menolak stigma semacam itu. Lewat novel-novelnya yang
penuh ironi dan membaurkan realitas dengan nuansa magis, ia menegaskan
kesungguhan perlawanannya terhadap kekuasaan yang menindas, yang merampas
ingatan secara paksa, dan tega melontarkan peluru panas untuk sebuah tuntutan
kesejahteraan. "Kita bisa memiliki
apa yang kita inginkan," ujarnya suatu kali, "tetapi kita harus memperjuangkannya agar bisa menikmatinya
dengan layak."
Kini,
Gabo telah tiada. Namun dunia akan selalu mengenang karya-karya besarnya. Selamat jalan, El Maestro! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar