Kuda
Troya dalam Politik
Seno Gumira Ajidarma ; Wartawan
|
TEMPO.CO,
21 April 2014
Musim
koalisi telah tiba, para pemimpin partai besar yang kini mutlak membutuhkan
sekutu, harus waspada terhadap politik Kuda Troya.
Sebetulnya
strategi Kuda Troya adalah bentuk tipu daya klasik yang teracu pada mitologi
Yunani tentang perebutan Kota Troya. Jauh sebelum dikisah-ulangkan penulis
Romawi, Virgil, para penulis tragedi Yunani, seperti Sophocles dan Euripides,
telah menuliskan kisah yang sama 400 tahun sebelumnya, pada abad ke-5 di
Yunani, dengan penafsiran berbeda. Itulah kisah tentang dikepungnya Kota
Troya selama sepuluh tahun oleh balatentara Yunani dan tak kunjung menyerah
juga. Bahkan dengan tewasnya para pahlawan Yunani, lebih masuk akal bagi
balatentara Yunani untuk mengundurkan diri-kecuali jika bisa menyerang dengan
unsur kejutan.
Maka,
atas akal Odysseus, dibangunlah patung kuda kayu raksasa yang di dalamnya berongga dan bisa diisi sepasukan
tentara. Pada pagi hari orang-orang Troya melihat perkemahan yang kosong, dan
mengira Yunani telah menyerah. Mereka hanya melihat patung kuda raksasa itu,
dan ketika masih terbengong-bengong tampak pula Sinon, warga Yunani yang ditinggal
dengan cerita karangan: bahwa atas petunjuk ahli nujum, dirinya adalah calon
korban bagi Athena yang marah karena Palladium dicuri. Kemarahan yang hanya
bisa ditawar dengan darah. Menurut Sinon, dialah yang akan dikorbankan, tapi
melarikan diri pada malam hari, dan tak ingin lagi menjadi orang Yunani.
Orang-orang
Troya yang percaya saja, lantas bertanya untuk apa patung kuda raksasa itu.
Sinon, yang memang pembicara fasih, berkisah bahwa orang Yunani berharap
persembahan untuk Athena itu akan dibakar pihak Troya, sehingga kemarahan
dewa Athena akan terarah kepada Troya. Mendengar itu, orang-orang Troya
mengangkut kuda raksasa beroda tersebut ke dalam kota, dan bermaksud
merawatnya agar terhindar dari murka Athena.
Ketika
semua penduduk sudah terlelap dengan perasaan aman pada malam hari, pasukan
Yunani keluar dari dalam patung, membuka pintu gerbang kota, dan balatentara
Yunani yang ternyata hanya bersembunyi di sebuah pulau, mengalir masuk ke
dalam kota. Malam itu kota dibakar, penduduknya dibantai, dan Troya dihapus
dari muka bumi [Hamilton, 1961 (1940): 193-9].
Dalam
strategi politik, yang diberlakukan sebagai perang, wacana Kuda Troya sering
disebut, dalam penafsiran yang terus-menerus berkembang. Adapun saya mencatat
beberapa hal:
Pertama,
tentang takhayul: kita dapat mengandaikan bahwa baik orang Yunani maupun
Troya berada dalam wacana ideologis yang sama, yakni percaya kepada kekuatan
supranatural teridentifikasi yang berkuasa atas nasib. Namun orang Yunani
pada waktu yang bersamaan memperlakukannya sebagai bagian dari instrumen tipu
daya, yang justru menunjuk kemampuan untuk berjarak, demi kepentingan
duniawi-artinya juga kepentingan politik.
Kedua,
tentang penyusupan: Kuda Troya menjelaskan betapa pertempuran bukanlah melulu
pertarungan frontal berhadapan, seperti pertarungan di arena, tapi juga
pertarungan taktik dan manuver, antara lain dengan mengaburkan posisi
keberhadapan itu, melalui peranan Sinon, sehingga pihak lawan tidak merasa
seperti menghadapi lawan.
Ketiga,
suatu serangan gelap dari dalam jauh lebih berbahaya dan mematikan daripada
suatu pertarungan yang jujur, sebagai akibat dari kesempatan yang terbuka
bagi penyusupan tersebut. Sinon adalah bentuk penyusupan awal, yang lebih
berbahaya daripada masuknya pasukan yang bersembunyi di garba kuda raksasa,
tetapi peranan pasukan pembuka gerbang inilah yang menentukan jatuhnya Troya.
Keempat,
dalam mitologi ini bukan tak terdapat kewaspadaan Troya. "Aku takut kepada orang Yunani, meskipun ketika mereka memberi
hadiah," ujar pendeta Laocoon dari pihak Troya, yang menganjurkan
agar Kuda Troya itu dihancurkan saja. Pernyataan yang juga pernah disampaikan
Cassandra, bahkan sebelum Sinon tiba. Ini menjelaskan tabu ideologis, yang
tidak membenarkan kompromi dengan keuntungan apa pun, dan bahwa peringatan
orang dalam lebih dari layak diperhatikan.
Dalam
koalisi akan berlangsung kemungkinan kohabitasi alias "kumpul kebo" politik, di antara berbagai partai yang
ideologinya belum tentu sejalan. Hal pertama justru menunjukkan bahwa
kesamaan takhayul ideologis dapat melindungi manuver lawan; hal kedua dan
ketiga, penyusupan dan serangan gelap, tidak akan terjadi jika hal keempat,
tabu ideologis, diperhatikan-yang ketika dipadankan dengan hal pertama,
membuat politik terbukti lebih rumit daripada gamblang, karena kesamaan
ideologis tak menjamin ketulusan.
Betapa
pun, nilai etis prinsip kemenangan adalah segalanya, jelas lebih rendah
nilainya daripada sikap terhormat dalam kekalahan. Dalam hal sama-sama kalah,
lebih baik kalah terhormat saja! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar