Selasa, 22 April 2014

Kuda Troya dalam Politik

Kuda Troya dalam Politik

Seno Gumira Ajidarma ;   Wartawan
TEMPO.CO, 21 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Musim koalisi telah tiba, para pemimpin partai besar yang kini mutlak membutuhkan sekutu, harus waspada terhadap politik Kuda Troya.

Sebetulnya strategi Kuda Troya adalah bentuk tipu daya klasik yang teracu pada mitologi Yunani tentang perebutan Kota Troya. Jauh sebelum dikisah-ulangkan penulis Romawi, Virgil, para penulis tragedi Yunani, seperti Sophocles dan Euripides, telah menuliskan kisah yang sama 400 tahun sebelumnya, pada abad ke-5 di Yunani, dengan penafsiran berbeda. Itulah kisah tentang dikepungnya Kota Troya selama sepuluh tahun oleh balatentara Yunani dan tak kunjung menyerah juga. Bahkan dengan tewasnya para pahlawan Yunani, lebih masuk akal bagi balatentara Yunani untuk mengundurkan diri-kecuali jika bisa menyerang dengan unsur kejutan.

Maka, atas akal Odysseus, dibangunlah patung kuda kayu raksasa yang di   dalamnya berongga dan bisa diisi sepasukan tentara. Pada pagi hari orang-orang Troya melihat perkemahan yang kosong, dan mengira Yunani telah menyerah. Mereka hanya melihat patung kuda raksasa itu, dan ketika masih terbengong-bengong tampak pula Sinon, warga Yunani yang ditinggal dengan cerita karangan: bahwa atas petunjuk ahli nujum, dirinya adalah calon korban bagi Athena yang marah karena Palladium dicuri. Kemarahan yang hanya bisa ditawar dengan darah. Menurut Sinon, dialah yang akan dikorbankan, tapi melarikan diri pada malam hari, dan tak ingin lagi menjadi orang Yunani.

Orang-orang Troya yang percaya saja, lantas bertanya untuk apa patung kuda raksasa itu. Sinon, yang memang pembicara fasih, berkisah bahwa orang Yunani berharap persembahan untuk Athena itu akan dibakar pihak Troya, sehingga kemarahan dewa Athena akan terarah kepada Troya. Mendengar itu, orang-orang Troya mengangkut kuda raksasa beroda tersebut ke dalam kota, dan bermaksud merawatnya agar terhindar dari murka Athena.

Ketika semua penduduk sudah terlelap dengan perasaan aman pada malam hari, pasukan Yunani keluar dari dalam patung, membuka pintu gerbang kota, dan balatentara Yunani yang ternyata hanya bersembunyi di sebuah pulau, mengalir masuk ke dalam kota. Malam itu kota dibakar, penduduknya dibantai, dan Troya dihapus dari muka bumi [Hamilton, 1961 (1940): 193-9].

Dalam strategi politik, yang diberlakukan sebagai perang, wacana Kuda Troya sering disebut, dalam penafsiran yang terus-menerus berkembang. Adapun saya mencatat beberapa hal:

Pertama, tentang takhayul: kita dapat mengandaikan bahwa baik orang Yunani maupun Troya berada dalam wacana ideologis yang sama, yakni percaya kepada kekuatan supranatural teridentifikasi yang berkuasa atas nasib. Namun orang Yunani pada waktu yang bersamaan memperlakukannya sebagai bagian dari instrumen tipu daya, yang justru menunjuk kemampuan untuk berjarak, demi kepentingan duniawi-artinya juga kepentingan politik.

Kedua, tentang penyusupan: Kuda Troya menjelaskan betapa pertempuran bukanlah melulu pertarungan frontal berhadapan, seperti pertarungan di arena, tapi juga pertarungan taktik dan manuver, antara lain dengan mengaburkan posisi keberhadapan itu, melalui peranan Sinon, sehingga pihak lawan tidak merasa seperti menghadapi lawan.

Ketiga, suatu serangan gelap dari dalam jauh lebih berbahaya dan mematikan daripada suatu pertarungan yang jujur, sebagai akibat dari kesempatan yang terbuka bagi penyusupan tersebut. Sinon adalah bentuk penyusupan awal, yang lebih berbahaya daripada masuknya pasukan yang bersembunyi di garba kuda raksasa, tetapi peranan pasukan pembuka gerbang inilah yang menentukan jatuhnya Troya.

Keempat, dalam mitologi ini bukan tak terdapat kewaspadaan Troya. "Aku takut kepada orang Yunani, meskipun ketika mereka memberi hadiah," ujar pendeta Laocoon dari pihak Troya, yang menganjurkan agar Kuda Troya itu dihancurkan saja. Pernyataan yang juga pernah disampaikan Cassandra, bahkan sebelum Sinon tiba. Ini menjelaskan tabu ideologis, yang tidak membenarkan kompromi dengan keuntungan apa pun, dan bahwa peringatan orang dalam lebih dari layak diperhatikan.

Dalam koalisi akan berlangsung kemungkinan kohabitasi alias "kumpul kebo" politik, di antara berbagai partai yang ideologinya belum tentu sejalan. Hal pertama justru menunjukkan bahwa kesamaan takhayul ideologis dapat melindungi manuver lawan; hal kedua dan ketiga, penyusupan dan serangan gelap, tidak akan terjadi jika hal keempat, tabu ideologis, diperhatikan-yang ketika dipadankan dengan hal pertama, membuat politik terbukti lebih rumit daripada gamblang, karena kesamaan ideologis tak menjamin ketulusan.

Betapa pun, nilai etis prinsip kemenangan adalah segalanya, jelas lebih rendah nilainya daripada sikap terhormat dalam kekalahan. Dalam hal sama-sama kalah, lebih baik kalah terhormat saja!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar