Menyelamatkan
TKI dari Hukuman Qisas
Hasibullah Satrawi ; Alumnus Al-Azhar,
Kairo, Mesir;
Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida), Jakarta
|
JAWA
POS, 04 April 2014
RENCANA
pelaksanaan hukuman qisas terhadap salah seorang tenaga kerja asal Indonesia
(TKI), Satinah binti Jumadi, di Arab Saudi kembali menuai kecaman di dalam
negeri. Mengingat, kasus seperti itu tidak hanya kali ini terjadi, melainkan
sudah berkali-kali.
Sangat
ironis, sejauh ini belum ada pihak yang bisa memastikan kasus seperti itu
tidak akan terulang pada masa-masa mendatang, termasuk pemerintah.
Pembentukan Satgas Hukuman Mati bagi TKI (Satgas TKI) belum membuahkan hasil
optimal. Bangsa ini pun terasa sangat melemah dan tidak berdaya untuk
melindungi warganya, khususnya yang bekerja di luar negeri.
Perjanjian Ekstradisi
Menurut
penulis, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk
menyelamatkan para anak bangsa dari ancaman hukuman qisas seperti yang
berlaku di Saudi. Pertama, kerja sama hukum antara Indonesia dan Saudi atau
yang biasa dikenal dengan perjanjian ekstradisi.
Perbedaannya,
Saudi menggunakan hukum Islam sebagai undang-undang dan menyebut diri sebagai
negara Islam (walaupun putusan hukum dan kebijakannya tidak selamanya sejalan
dengan nilai-nilai dasar Islam). Sementara itu, Indonesia menggunakan hukum
positif sebagai undang-undang dan tidak menyebut diri sebagai negara Islam
(walaupun putusan hukum dan kebijakannya tidak selalu berlawanan dengan
nilai-nilai dasar Islam).
Melalui
perjanjian ekstradisi, para warga kedua negara yang melanggar ketentuan hukum
bisa dipulangkan ke negara asal untuk menjalani hukuman sesuai dengan
ketentuan di negaranya. Sejauh ini telah ada kerja sama ekstradisi antara
Indonesia dan beberapa negara Arab lain seperti Uni Emirat Arab.
Perjanjian
ekstradisi mempunyai pijakan yang sangat kuat. Tidak semata-mata mengacu pada
praktik internasional mutakhir, melainkan juga kepada hukum Islam. Dari
perspektif hukum Islam, kerja sama hukum antara dua negara yang sama-sama
berpenduduk mayoritas muslim (seperti Indonesia dan Saudi) sangat mungkin
dilakukan.
Memanfaatkan Ketatnya Qisas
Kedua,
memanfaatkan ketatnya hukuman qisas. Menyadari adanya kekejaman di dalam
hukuman qisas, para ulama Islam memberikan sejumlah ketentuan yang sangat
ketat sebelum hukuman yang juga pernah diturunkan (oleh Allah) kepada
orang-orang Yahudi itu diberlakukan. Sejumlah ketentuan ketat bagi
pemberlakuan qisas tentu bukan karangan mereka sendiri, melainkan sesuai
dengan keteladanan Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang juga termaktub dalam
Alquran.
Salah
satu ketentuan ketat tersebut adalah akurasi hukuman/vonis (sesuai kejahatan
yang dilakukan) yang sampai pada tahap tidak boleh ada kemungkinan salah
sedikit pun (syubhat). Bila ada
kemungkinan salah sedikit pun dalam vonis hukuman, qisas tidak bisa
ditegakkan.
Mengapa
pemberlakuan qisas yang akan menghilangkan nyawa justru disebut mengandung
unsur kehidupan oleh Alquran? Para ahli menjawab, kehidupan yang dimaksud
adalah kehidupan manusia lain yang tidak berani melakukan tindak pidana
pembunuhan karena takut dikenai qisas.
Dengan
demikian, secara eksplisit, Alquran menegaskan bahwa qisas justru untuk
kehidupan, bukan untuk kematian. Sebagaimana hukum-hukum yang lain, qisas
dimaksudkan Alquran untuk manusia, bukan manusia untuk dihukum atau diqisas.
Tapi, manusia kerap memperlakukan qisas untuk kematian.
Alasan
lain ketentuan ketat pemberlakuan qisas, tidak ada apa pun yang bisa
dijadikan pengganti seandainya putusan keliru, baik qisas dalam arti hukuman
nyawa dibalas nyawa maupun qisas dalam arti anggota tubuh dibalas dengan
anggota tubuh. Tidak mungkin nyawa yang sudah melayang bisa dikembalikan
hakim karena menyadari adanya kesalahan dalam vonisnya. Demikian pula dengan
anggota tubuh seperti tangan, mata, hidung, telinga, dan yang lain.
Faktor Niat
Dari
yang telah disampaikan, para pahlawan devisa yang menghadapi persoalan hukum
di Saudi atau negara lain yang memberlakukan hukuman qisas sesungguhnya
mempunyai celah yang cukup besar untuk dibebaskan. Setidak-tidaknya, mereka
datang ke negara-negara tersebut tidak dengan niat untuk menjadi pembunuh
atau kriminal-kriminal lainnya. Melainkan, mereka datang untuk sebuah niat
yang tulus dan suci. Yaitu, membantu perekonomian keluarga atau bahkan
negara.
Dalam
hukum Islam, niat mempunyai posisi yang sangat sentral. Sebab, niat bisa
menjadi tolok ukur baik atau buruknya sebuah perbuatan. Bahkan, niat bisa
menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah.
Hal itu
sesuai dengan hadis Nabi Muhammad SAW yang sangat kesohor: innamal a'mâlu bi
an-niyât (segala sesuatu bergantung niatnya). Melihat posisi dan peran niat
yang sangat sentral dalam Islam, para ahli hukum Islam menjadikan niat sebagai
salah satu kaidah hukum yang dikenal dengan istilah al-umûr bi maqâshidihâ
(segala sesuatu bergantung tujuannya).
Sekali
lagi, para pahlawan devisa datang ke mancanegara tidak demi tujuan buruk dan
terlebih bersifat kriminal, termasuk untuk tujuan membunuh warga pribumi.
Sejatinya semua itu lebih dari cukup dijadikan dalih untuk membebaskan mereka
dari jeratan hukuman qisas.
Hal itu
tentu saja hanya bisa dilakukan manakala para penegak hukuman qisas di
negara-negara tersebut menjiwai semangat kemanusiaan dan penghormatan atas
kehidupan di balik hukuman itu sebagaimana kandungan ayat Alquran tersebut.
Bila tidak, qisas hanya akan menjadi praktik sadisme yang dilakukan atas nama
agama dan tidak menimbulkan efek jera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar