Politik
Kenangan
Ahmad Khotim Muzakka ; Peneliti
|
TEMPO.CO,
04 April 2014
Apa yang
bisa dimanfaatkan dari masa lalu? Dalam konteks politik 2014, masa lalu bisa
menjadi amunisi. Ingatan akan masa lalu bisa dijadikan amunisi untuk merebut
simpati. Politik kenangan itu, akhir-akhir ini, juga kita temui di papan
reklame dan poster. Salah satu yang populer diperbincangkan, dan suatu saat
juga berubah candaan, adalah poster bergambar mantan presiden Soeharto. Di
sana, dibumbui tulisan: "Piye,
ijeh penak zamanku tho?"
Kalimat
yang memiliki arti "gimana, masih
enak zamanku, kan?" itu mendapatkan berbagai respons beragam.
Orang-orang yang dulu merasa bahwa segala sesuatu lebih enak di zaman dulu
memperbandingkan masa kini. Masa lalu, dalam konteks politik, berubah wajah
laiknya cermin bagi bangsa.
Apakah
politik kenangan bisa melejitkan prestasi kekinian? Sejarawan David Reeve,
dalam bukunya, Golkar, Sejarah yang
Hilang (2013), memperlihatkan kedigdayaan partai berlambang beringin.
Sebanyak 62,8 persen suara diperoleh partai kuning tersebut pada pemilu 3
Juli 1971. Angka tersebut terpaut jauh dibanding perolehan angka dari NU 18,7
persen, serta PNI dan Parmusi, yang masing-masing hanya puas dengan angka 6,9
persen dan 5,4 persen. Prestasi yang membanggakan, bukan?
Namun
sayangnya, prestasi itu dicederai oleh intrik. Menurut David Reeve, pencapaian
tersebut tak lepas dari campur tangan pemerintahan Orde Baru. Intrik
tersebut, di antaranya, sebagaimana ditulis Reeve, "serangan terhadap
dampak-dampak
yang diklaim merusak persaingan ideologi partai; melemahkan perlawanan sipil
terorganisasi; memasukkan semua pegawai negeri, termasuk pegawai
perusahaan-perusahaan negara, ke dalam "Korps Karyawan" yang sangat
besar; pembentukan "pemerintahan hierarkis, berjenjang dan
terpusat".
Penjelasan
itu menyembulkan kecurigaan, mungkinkah tanpa semua itu pencapaian gemilang
di kursi DPR bisa mencapai angka semaksimal itu? Tentu saja, dua jawaban
kemungkinan. Pertama, hal itu bisa saja terjadi. Sebab, toh, dalam fakta
sejarahnya memang telah menunjukkan yang demikian. Namun persetujuan tersebut
sekaligus menutup fakta-fakta lain. Kemungkinan kedua, tentunya, angka 62,8
persen tersebut tidak bisa dipenuhi jika cara-cara tidak sportif di atas
tidak dilakukan.
Politik
kenangan juga coba dipakai oleh pemerintahan dewasa ini. Di banyak iklan yang
disebar, Presiden SBY mengajak masyarakat untuk mengingat prestasi yang telah
berhasil dibubuhkan dalam rentang 10 tahun terakhir. Kenangan yang baru
kemarin sore itu "diputar-ulang" terkesan untuk mengalihkan dari
isu tak sedap partai berlambang bintang segitiga itu.
Politik
kenangan ini masih harus diuji oleh sejarah. Maka itu, kiranya, bagi para
politikus yang sedang bertarung di Pemilu 2014 tidak cukup hanya membekali
dirinya dengan pencapaian masa lalu. Apalagi jika bukti-bukti yang dipaparkan
berjarak terlalu jauh dengan fakta sekarang.
Sebenarnya
apa yang sebaiknya ditawarkan oleh suatu partai? Apakah hanya
"menjual" pencapaian masa lalu? Ataukah lewat pencapaian masa kini
dan para politikusnya yang sedang berupaya keras berjuang? Jangan-jangan,
yang diobrolkan hanya klangenan saja. Apa kata dunia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar