Bonus
Demografi dan Generasi Melek Bahasa
Yune Anggraini ; Pengajar di Madrasah
Ibtida'iyah (MI) Muhammadiyah Basin, Klaten, Jateng
|
JAWA
POS, 04 April 2014
AKHIR -
AKHIR ini kita sering membaca dan mendengar kata "bonus demografi".
Wacana tentang bonus demografi hangat didiskusikan di forum ilmiah, seminar,
lokakarya, dan sebagainya. Definisi tentang bonus demografi merupakan
keuntungan secara ekonomis yang disebabkan penurunan proporsi penduduk muda
yang mengurangi besarnya biaya investasi untuk pemenuhan kebutuhannya
sehingga kegunaan sumber daya dialihkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan.
Bagi
Indonesia ada rentang waktu 7-17 tahun lagi untuk mempersiapkan modal manusia
agar bisa memanfaatkan peluang emas periode 2020-2030. Caranya, menanamkan
investasi modal manusia. Indonesia akan memasuki fase emas yang disebut bonus
demografi selama 10 tahun yang diprediksi akan terjadi pada periode 2020-2030
dengan angka dependency ratio 0,4-0,5. Artinya, 100 orang usia produktif
hanya menanggung 40-50 orang usia tidak produktif.
Menurut
guru besar demografi Universitas Indonesia Prof Dr Sri Moertiningsih
Adioetomo, Indonesia sudah mendapat bonus demografi mulai 2010 dan akan
mencapai puncaknya sekitar tahun 2020 hingga tahun 2030. Ada tiga fase yang
terjadi dengan hadirnya bonus demogrfi di Indonesia. Fase pertama, angka
kelahiran dan kematian melaju dengan sangat tinggi. Fase kedua, meningkatnya
kebutuhan hidup rakyat Indonesia sehingga angka kematian menjadi menurun dan
angka kelahiran menjadi bertambah. Fase ketiga, angka kematian rendah
disebabkan oleh gaya hidup (life style) sehingga membuat angka kelahiran
menjadi turun. Inilah fase yang disebut sebagai window of opportunity
(jendela kesempatan) saat jumlah penduduk produktif yang banyak itu dapat
diakumulasikan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi angka
kemiskinan .
Generasi Melek Bahasa
Sebagaimana
kita ketahui bersama, sistem pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan bangsa. Prof Dr Emil Salim dalam artikelnya yang berjudul
Peta Menuju Negara Maju (2014) mengatakan bahwa untuk mencapai sasaran
peningkatan kesejahteraan sebagai dampak bonus demografi perlu dikembangkan
knowledge based society. Ilmu yang perlu dikembangkan adalah sains,
teknologi, engineering, dan matematika yang dibalut ilmu humaniora, sosial,
dan budaya sebagai penggerak daya pembangunan bangsa 2014-2030.
Dalam
konteks pembentukan generasi emas yang akan menguasai beberapa cabang
keilmuan tersebut, salah satu pendidikan dasar yang sangat penting adalah
bahasa. Bahasa menjadi salah satu fondasi untuk membangun generasi yang
kompetitif. Bahasa yang harus mereka kuasai adalah bahasa ibu (baca:
Indonesia) dan bahasa internasional (baca: Inggris). Keduanya menjadi syarat
mutlak. Bahasa ibu berkaitan dengan dimensi affektif, membentuk karakter
bangsa.
Sebenarnya,
mata pelajaran bahasa Inggris telah diajarkan di sekolah dasar (SD) sampai
perguruan tinggi (PT). Sebagian taman kanak-kanak (TK) pun mengajarkannya. Di
sekolah menengah, bahasa ini bahkan diujikan sebagai syarat kelulusan. Yang
menjadi pertanyaan, apakah para siswa telah mampu berbahasa Inggris secara
aktif?
Bahasa
Inggris yang diposisikan sebagai bahasa asing menjadi salah satu faktor
penyebabnya. Di samping kurikulum sendiri juga tak mampu mendukung ke arah
siswa mampu berbahasa Inggris dengan baik dan benar. Di Indonesia, bahasa
Inggris dipelajari di sekolah, namun tidak dipakai dalam kehidupan
sehari-hari. Hanya dipelajari sebatas teori dan ilmu.
Seorang
anak yang tahu banyak ekspresi bahasa Inggris belum tentu bisa menggunakan
dengan tepat. Di negara tetangga kita, Malaysia dan Singapura, bahasa Inggris
dipergunakan di dalam keseharian di samping bahasa resmi (official language). Karena itu, perlu
diwacanakan penggunaan bahasa Inggris dipraktikkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Dengan begitu, bahasa Inggris menjadi bagian dari alat
komunikasi dalam berinteraksi. Misalnya, pada hari-hari tertentu dalam
seminggu diwajibkan untuk berbahasa Inggris.
Kalau
kita amati, mayoritas anak-anak yang menguasai bahasa Inggris adalah mereka
yang tinggal di perkotaan dan orang tuanya memiliki kemampuan secara
finansial. Mereka bisa mengasah kemampuan dari sekolah yang memiliki
fasilitas, melalui lembaga kursus, atau mengikuti les privat. Lalu, bagaimana
para siswa yang tinggal di daerah dan tidak mampu? Inilah yang mendorong
pemikiran kita bersama untuk menciptakan metode pembelajaran yang lebih baik
agar mereka bisa menguasai bahasa Inggris dari bangku sekolah.
Entitas
pendidikan mesti menyadari bahwa kurikulum pendidikan yang dilaksanakan
selama ini telah cukup memberikan pelajaran yang berarti tentang berbagai
kesalahan sekaligus kebaikannya. Demi menciptakan generasi yang tangguh,
belum terlambat berbenah. Semoga bonus demografi benar-benar menjadi rahmat
bagi bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar