Mengatasi
Masalah Sosial di Jakarta
Sabam Sirait ; Politikus Senior
|
MEDIA
INDONESIA, 02 April 2014
“Memang
setiap kebijakan politik pastilah tidak bisa menguntungkan atau mengenakkan
semua pihak.”
SUDAH beberapa kali bacali saya
di media massa, Jokowi-Ahok mengeluhkan soal susahnya mengatasi berbagai
masalah sosial di Jakarta, seperti permukiman liar di bantaran sungai atau di
pinggir waduk, pedagang kaki lima yang berdagangan di sembarang tempat,
masalah pengemis dan gelandangan, kriminalitas, dan lain-lain.
Hal ini
sebenarnya bukanlah soal baru. Pertengahan 1950-an, masalah-masalah sosial
itu juga telah terjadi di ibu kota negara ini. Saya masih ingat beberapa kali
melintasi kawasan permukiman kumuh di Sawah Besar, Jelambar, dan Tanah Abang.
Berdasarkan catatan pemerintah Kota Jakarta, pada 1957 sekitar 275 ribu warga
tinggal di rumah-rumah tidak sehat dan 80 ribu orang di antaranya tinggal
dalam kondisi yang sangat padat.
Di kampung-kampung kumuh dan
padat penduduk tersebut, warga setempat juga masih memasak menggunakan kayu
bakar. Karena kurang hati-hati sering kali terjadi kebakaran hebat. Pada
1952, misalnya, di Kampung Krekot Bunder di Jakarta Pusat kebakaran besar memusnahkan
600 rumah dan mengakibatkan sekitar 10 ribu orang kehilangan tempat tinggal. Beberapa
tahun kemudian terjadi pula kebakaran besar di Kelurahan Tanah Tinggi. Pada
1962, dalam sebuah koran, secara resmi dilaporkan terjadi 183 kebakaran yang
melalap 5 ribu lebih rumah dan mengakibatkan sekitar 45 ribu orang kehilangan
tempat tinggal.
Penyebab utama meledaknya
berbagai masalah sosial ini adalah pesatnya pertambahan penduduk Jakarta.
Pada 1948, penduduk Ja karta tercatat 823 ribu jiwa. Empat tahun kemudian
meningkat dua kali lipat lebih menjadi 1,782 juta. Kemudian meningkat lagi
menjadi 3,813 juta jiwa pada 1965. Pada 1980, hasil sensus penduduk
menunjukkan warga Jakarta sudah 6,5 juta. Berdasarkan data Biro Pusat
Statistik (BPS) pada 2011, jumlah penduduk Jakarta adalah 10.187.595 jiwa.
Namun, pada siang hari, angka tersebut bertambah seiring hadirnya para
pekerja dari Bekasi, Tangerang, Bogor, dan Depok.
Sulit beradaptasi
Penyebab pertumbuhan penduduk
Jakarta tersebut adalah urbanisasi. Gelombang urbanisasi itu memberi tekanan
yang teramat berat terhadap fasilitas-fasilitas kota yang kurang dipersiapkan
dengan terencana. Sebagian besar populasi yang bertambah adalah penduduk
miskin yang tidak mampu beradaptasi dengan kehidupan metropolitan. Kemudian,
masalah yang paling terasa lagi-lagi adalah kekurangan perumahan atau
permukiman. Karena itu, semakin banyak kawasan permukiman liar, terutama di
sepanjang bantaran sungai, di pinggiran rel kereta api, dan di sekitar
pasar-pasar tradisional.
Gubernur-gubernur Jakarta di
masa Orde Lama kurang berhasil menangani atau mengelola masalah pertambahan
populasi penduduk tersebut. Barulah ketika Ali Sadikin menjadi gubernur DKI
Jakarta masalah sosial ini ditangani dengan serius dan sistematis. Bang Ali
memulainya dengan mempromosikan program keluarga berencana untuk mengurangi
tingkat kelahiran. Namun, program itu kurang disukai masyarakat Jakarta.
Kemudian Bang Ali mencoba kebijakan lain, yaitu transmigrasi. Namun, program
ini pun gagal. Selama enam tahun (1971-1977) jumlah penduduk yang menjadi
transmigran tercatat tak sampai 3.000 orang.
Solusi yang lebih menggemparkan
adalah kebijakan Bang Ali yang menyatakan Jakarta sebagai `kota tertutup'
bagi para pendatang. Pada 1970, Gubernur Jakarta itu mengumumkan, semua warga
Jakarta harus membawa kartu tanda penduduk (KTP), dan hanya mereka yang dapat
membuktikan identitasnya sebagai penduduk tetap yang diizinkan tinggal di
Jakarta. Meski pada awalnya kebijakan ini cukup ditakuti, terbukti kemudian
kebijakan tersebut tidak terlalu berdampak. Praktik pemalsuan KTP menjadi
marak dan banyak penduduk Jakarta yang menampung para pendatang baru--yang
kebanyakan adalah sanak-keluarga mereka sendiri (Blackburn: 2011).
Akhirnya, Gubernur Ali Sadikin
tidak lagi berusaha menghalangi para pendatang, tetapi menerapkan kebijakan
untuk mengatasi masalah permukiman. Ia pun menerapkan kebijakan yang
mengombinasikan perbaikan kampung dan pengurangan elemen-elemen yang tidak
diinginkan dari sektor informal. Program perbaikan kampung--yang kemudian
dikenal luas sebagai Proyek MHT (Muhamad Husni Thamrin) itu terbilang sukses
mengatasi sebagian masalah permukiman di Jakarta, termasuk membangun sejumlah
perumahan siap huni (perumnas) di pinggiran kota.
Butuh ketegasan
Di sisi lain, Bang Ali juga
bersikap tegas dalam mengatasi berbagai masalah sosial di Jakarta.
Rumah-rumah liar di bantaran sungai dan bantaran rel kereta api, satu per
satu, digusur paksa. Ia juga melarang becak--yang dianggap sebagai biang
kemacetan di Jakarta--sebagai alat transportasi di perkotaan. Razia pedagang
kaki lima, gelandangan, dan pengemis juga kerap dilancarkan untuk menertibkan
kawasan publik di Jakarta.
Ketika itu, sebagai seorang politikus,
saya kadang berseberangan dengan kebijakan Gubernur Ali Sadikin. Terutama
dalam kasus kasus pembebasan lahan atau penggusuran yang memakai cara-cara
kekerasan. Dalam hal pelarangan becak, tidaklah bisa dilakukan secara
serentak, tapi mestinya harus secara bertahap. Karena saat itu, di Jakarta,
setidaknya ada 150 ribu becak. Kalau dikayuh untuk dua shift sehari, becak
itu menyediakan pekerjaan untuk sekitar 300 ribu orang. Jika seorang tukang
becak menghidupi rata-rata tiga anggota keluarga, ada 1,2 juta orang yang
bergantung pada keberadaan becak.
Sikap serupa juga sering saya sampaikan
kepada Gubernur Jokowi dan Wagub Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Boleh-boleh
saja bersikap tegas dalam menghadapi para pemukim liar ataupun pedagang kaki
lima, tetapi sedapat mungkin jangan memakai cara-cara kekerasan. Memang
setiap kebijakan politik pastilah tidak bisa menguntungkan atau mengenakkan
semua pihak. Saya lihat, kebijakan yang diambil Jokowi-Ahok sampai saat ini
masih dalam jalur yang benar alias on
the track. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar